Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, mengonsumsi makanan dan minuman halal adalah harapan serta kewajiban bagi setiap muslim. Sertifikat halal pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi jaminan keamanan bagi setiap muslim dalam mengonsumsi produk makanan.
Program Pemerintah lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menetapkan label halal yang berlaku secara nasional.
Produk-produk yang tidak mengantongi sertifikat halal bakal terkena sanksi pada tahun 2024 mendatang.
BPJH menegaskan bakal memberikan sanksi kepada para pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal untuk produk-produknya pada 2024.
"Oleh karena itu, sebelum kewajiban sertifikasi halal tersebut diterapkan, kami mengimbau seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal produknya," ujar Kepala BPJPH Kemenag Aqil Irham di Jakarta, Beritasatu.com, (7/1/2023).
Diantaranya tiga produk itu yakni; makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan minuman; serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, CNNIndonesia.(8/1/2023)
Mengapa pemerintah demikian tergesa-gesa memutuskan masalah yang krusial bagi masyarakat, jika bukan pertimbangan bisnis semata? Padahal masalah halal-haram itu prinsip bagi kaum muslimin, bukan sekadar sertifikat atau label saja.
Sering kita melihat label halal asli hanya tertera pada komoditas tertentu. Tidak semua produk tersertifikasi halal, termasuk produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang seharusnya juga memiliki label halal di setiap produknya. Belum lagi akibat berbagai administrasi yang harus dipenuhi demi mendapatkan label halal tersebut, unit usaha yang notabene bermodal kecil dipastikan mengalami kesusahan memperoleh sertifikasi label halal.
Saat ini, sertifikasi halal yang dijalankan MUI dinilai beberapa kalangan sebagai ladang bisnis dalam bentuk monopoli label halal. Pengelolaan dana hasil sertifikasi halal yang dikelola MUI dinilai tidak transparan.
Pelaku usaha besar juga ada yang mengeluhkan biaya sertifikasi yang terbilang mahal. Tak dimungkiri, produk pangan halal saat ini menjelma menjadi ladang bisnis yang menguntungkan.
Sertifikasi halal ini dibuat karena permintaan (desakan) masyarakat atas keperluan mereka. Apalagi di era kebebasan seperti saat ini, tanpa label halal masyarakat lebih sangsi akan kehalalan produk yang mereka konsumsi. Mereka akan mencari produk-produk yang terjamin halal karena ajaran agama mengajarkan demikian. Sehingga, mau tidak mau, pemerintah harus menuruti permintaan ini. Sayangnya, tuntutan jaminan kehalalan sebuah produk sangat bertentangan dengan tujuan negara sekuler. Negara sekuler akan mementingkan hasil (pendapatan) yang banyak dari sekadar sertifikat halal. Bagi mereka, bagaimana cara mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk pendapatan sebanyak-banyaknya. Negara seperti ini juga tidak akan menjadikan agama sebagai standar membuat kebijakan, terkhusus masalah sertifikasi kehalalan ini.
Nah, disinilah letak rawannya terjadi manipulasi demi meraih kepentingan materialistis. Tanpa adanya jaminan halal di produsen dan distribusi, peluang kecurangan bisa saja terjadi. Apalagi jika tidak ada aturan standar yang jelas.
Oleh karena itu, sudah tidak layak kita menggunakan sistem sekuler seperti saat ini. Yang hanya menyandarkan aturan pada buah pikiran manusia. Yang hanya menimbang untung rugi dari materi saja. Apalagi sistem ini juga tidak cocok dengan kebutuhan kita. Berlawanan sekali dengan ajaran agama Islam.
Satu-satunya sistem yang mampu memenuhi hak kaum muslimin adalah sistem Islam. Islam memberikan periayahan yang lengkap. Islam menjadikan ajaran agama menjadi landasan dalam membuat aturan. Tak terkecuali masalah jaminan sertifikasi halal. Dalam Islam, jaminan kehalalan sebuah produk akan ditentukan dari awal. Mulai proses pembuatan bahan, proses produksi, hingga distribusi akan senantiasa diawasi. Pengawasan ini untuk memastikan seluruh produk dalam kondisi aman. Bahkan Islam akan mensterilkan bahan-bahan haram dari pasar. Agar masyarakat tak lagi bingung dalam membedakan halal dan haram.
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 88) Islam memerintahkan makan makanan halal lagi thayyib dan tidak berlebihan mengonsumsinya. Artinya, Islam melarang rakus dalam menyantap makanan. Budaya bermewah-mewah dan konsumtif terhadap makanan tidak diajarkan dalam Islam. Selain itu, masalah menentukan halal-haram bukan sebatas label atau sertifikat saja. Namun, itu bagian dari wujud keimanan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Post a Comment