Kasus perundungan (bullying) anak kian hari kian marak, terus bermunculan. Bak sirine yang terus mengingatkan kita, bahwa generasi muda saat ini tidak sedang baik-baik saja. Generasi kita dalam kondisi memprihatinkan. Catatan KPAI pada 2020 lalu menunjukkan sebanyak 119 kasus perundungan pada anak. Kasus ini terus meningkat sekitar 30-60 dari tahun ke tahun. Dan di tahun 2022 ini tercatat 226 kasus perundungan dalam bentuk fisik dan psikis terjadi.
Dari data Programme for International Student Assessment (PISA) anak dan remaja Indonesia alami intimidasi sebanyak 15%, alami penghinaan 22%, dikucilkan 19%, diancam 14%, alami pemukulan dan didorong teman 18% dan 20% di isukan rumor buruk (Chatnewsid 22/11/22). Kondisi ini sangat memprihatinkan tentunya, menempatkan Indonesia diperingkat kelima terbanyak Asia kasus perundungan.
Fenomena kerusakan generasi sangat nampak dari betapa mengerikannya kasus perundungan yang terjadi di kalangan pelajar. Para pelakunya bukan lagi usia baligh, bahkan usia prabaligh sudah menjadi pelaku dengan beragam kasus, dari mulai skala ringan hingga berat bahkan tak sedikit yang berujung kematian. Sebut saja kasus yang masih lekat dalam ingatan, kejadian di Tasikmalaya yang menimpa siswa SD korban perundungan hingga menewaskannya. Korban dipaksa teman-temannya bersetubuh dengan kucing dan direkam menggunakan ponsel, ia pun depresi hingga meninggal dalam perawatan di RS.
Beberapa waktu lalu juga terjadi di kota Bandung Jawa Barat, yang banyak menyita perhatian dimana seorang siswa SMP Plus Baiturrahman mengalami perundungan dari teman sekelasnya. Mula-mula korban dipakaikan helm kemudian kepalanya dipukul dan ditendang berkali-kali oleh salah satu siswa hingga korban jatuh tersungkur. Kasus ini pun ditangani pihak berwajib namun lagi-lagi berujung damai setelah dilakukan mediasi terhadap keluarga pelaku dan korban oleh pihak kepolisian. Menurut Kapolsek Ujungberu, Kompol Karyaman orang tua korban dan pelaku sepakat saling memaafkan.
Kejadian demi kejadian perundungan di kalangan pelajar yang kian marak memunculkan tanya di benak kita, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri anak-anak? Mereka seakan tak lagi memiliki nurani. Adakah yang salah dari orang tua, hingga membentuk anak-anak sebrutal dan sempit hati begitu? Ada apa pula dengan negara, hingga tak mampu melahirkan generasi berkepribadian mulia?
Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara Maret 2015, Riauskina, Djuwita dan Soesetio menjelaskan school bullying adalah perilaku agresif sekelompok atau seorang pelajar yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan berulang-ulang kepada pelajar lain yang dianggap lemah dengan maksud menyakiti baik fisik, verbal ataupun tidak langsung.
Perundungan fisik seperti, menonjok, mendorong, memukul, menggigit atau menendang. Adapun perbuatan seperti menyindir, mengolok-olok, mengancam dan sejenisnya termasuk perundungan verbal. Sedangkan perundungan tidak langsung misal menyebarkan isu buruk, mengabaikan, meminta orang lain untuk menyakiti.
Menilik maraknya kasus perundungan di dunia pendidikan, ada tiga faktor besar yang menjadi rantai masalahnya. Pertama keluarga, elemen utama dan pertama yang membentuk kepribadian anak adalah pola asuh keluarga. Penguatan akidah Islam, adab, serta ketaatan pada Allah mestinya ada dalam pola asuh keluarga. Mengajarkan anak bahwa kecintaan terhadap agama jauh lebih penting dibanding segala sesuatu yang bersifat duniawi atau materi. Namun di sistem sekularisme seperti saat ini pola asuh orang tua pada anak-anaknya di buat lalai terhadap unsur utama tersebut.
Alhasil anak-anak jauh dari visi misi Islam, melenceng dari tujuan penciptaannya sebagai hamba Allah Azza WA Jalla. Anak-anak tumbuh dan berkembang sebagai generasi miskin adab yang mati rasa iman dan nuraninya. Tergerus akidah sekuler yang kian mengakar dalam dirinya.
Kedua, lingkungan sekolah dan masyarakat. Kerusakan lingkungan yang banyak terjadi merupakan tantangan bagi dunia pendidikan saat ini. Termasuk diantaranya kasus perundungan yang bisa terjadi dimana saja sekalipun sekolah tersebut berbasis agama (Islam).
Di sistem yang mengagungkan kebebasan, sangat absurd dapat mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi anak. Di tengah gempuran media dan tontonan yang semakin mengarahkan hidup kita menjadi hedonis dan liberal, visi misi sekolah pun tercampur dengan kepentingan bisnis serta sikap masyarakat yang acuh pada kemaksiatan, menganggap maksiat hal biasa, dan individualistis masyarakat yang begitu tinggi.
Tidak sedikit pihak sekolah menyembunyikan kasus perundungan bahkan cenderung melakukan pembelaan agar tidak dipersalahkan atas kasusnya, hanya demi menjaga citra baiknya sebagai sekolah ramah anak. Kasus pun selalu berujung perdamaian karena kedua pihak orang tua dan korban tidak memperpanjang masalah, hanya ditutup dengan permintaan maaf.
Faktor besar yang ketiga adalah negara, sebagaimana tugas negara yang bertanggung jawab besar membentuk kepribadian generasi menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Sebetulnya pemerintah telah membuat program sekolah ramah anak, namun karena program ini diterapkan diatas fondasi sistem sekularisme, program ini seakan sebatas jargon belaka nihil esensi yang jelas. Jika pemikiran, kaidah serta nilai sekuler terus dijejalkan dalam kehidupan anak-anak apakah mungkin lingkungan ramah anak dapat terwujud? Sedangkan kerusakan generasi saat ini tak lain buah dari penerapan ideologi sekuler kapitalisme.
Pandangan dan solusi Islam
Perundungan adalah perbuatan tercela yang dilarang dalam Islam, apapun jenisnya. Sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Al Qur'an di surat Al Hujurat ayat 11, bahwa Allah melarang orang-orang beriman mengolok-olok kaum lain, karena boleh jadi yang diolok-olok lebih baik darinya. Allah juga melarang mereka saling mencela. Memanggil saudaranya dengan panggilan yang buruk. Allah sebut mereka sebagai orang zalim bagi yang tidak bertobat.
Dari segi hukum positif , perundungan diatur dalam UU 23/2002 yang telah di ganti dengan UU 35/2014 perihal Perlindungan Anak, yaitu di pasal 76 C yang bunyinya adalah “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Ancaman hukuman bagi yang melanggar pasal ini adalah pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000 (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah)”.
Faktanya meski telah diatur dalam Undang-undang, kasus perundungan masih saja terjadi bahkan kian merebak. Artinya adanya UU dan sanksi tidak cukup efektif menghambat laju munculnya kasus perundungan. Mengapa?
Dalam Islam, saat anak sudah baligh maka segala resiko taklif hukum syariat Islam telah menjadi tanggung jawab baginya. Jika ia melanggar syariat, ada sanksi yang harus ditanggungnya, tidak ada istilah anak di bawah umur. Berbeda dengan pandangan sekularisme, anak di bawah usia 18 tahun meski telah baligh, masih tetap diperlakukan seperti anak kecil. Pola pikir semacam ini akhirnya membuat anak kurang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pribadinya tidak mencerminkan kedewasaan. Tak heran jika pada akhirnya generasi yang terbentuk saat ini menjadi nir empati, suul adab dan kekanak-kanakan. Dengan kondisi generasi semacam ini, adalah suatu keniscayaan untuk bisa menciptakan lingkungan ramah anak dalam sistem pendidikan sekuler. Karena sistem sekuler tidak mampu membentuk dan mencetak generasi mulia dan beradab.
Generasi harus segera diselamatkan. Perlu adanya perbaikan menyeluruh, mengubah paradigma sekuler menjadi pendidikan berbasis akidah Islam, yang di dukung pula adanya penerapan sistem politik ekonomi Islam yang sesuai syariat Islam. Karena hanya dengannya negara mampu membangun sarana dan fasilitas yang memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Dan tidak boleh ada kepentingan bisnis dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Karena mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas adalah hak bagi setiap anak.
Adanya kontrol dan pengawasan masyarakat melalui dakwah amar makruf nahi mungkar juga sangat dibutuhkan. Pembiasaan untuk saling menasihati dan saling peduli dari masyarakat akan mampu mencegah kemaksiatan atau pelanggaran yang di toleransi.
Upaya penyelamatan generasi dari kerusakan yang paling utama terletak pada peran negara. Sebagaimana fungsi negara sebagai penjaga dan pelindung seluruh rakyatnya dari kerusakan, termasuk generasi. Maka segala hal yang merusak seperti tontonan berbau maksiat, sekuler dan liberal, serta media porno harusnya dilarang beredar. Dan negara berhak memberlakukan sanksi sesuai syariat Islam jika terjadi pelanggaran.
Hanya dengan Islam kita bisa menjadi umat terbaik. Tanpa Islam kita hina. Tidak ada alasan bagi kita bertahan di sistem yang merusak seperti saat ini. Masa keemasan Islam selama 1400 tahun menguasai dunia, yang mampu melahirkan generasi cerdas berkualitas serta berakhlak karimah menjadi bukti kuat untuk kita beralih dari sistem kufur saat ini. Kembali membangun generasi menjadi pilar penegak peradaban Islam.
Post a Comment