Potret Pendidikan Sekuler, Menghasilkan Generasi Minim Akhlak


Oleh Susci 
(Komunitas Sahabat Hijrah Balut-Sulteng)

Kasus bullying kembali terjadi. Kali ini dilakukan bukan antar sesama teman, melainkan kepada seorang lansia. Mirisnya, aksi bullying atau perundungan terjadi di lingkungan pendidikan SMP Baiturrahman, Kota Bandung.

Aksi perundungan tersebut terekam dalam sebuah video viral di media sosial melalui unggahan akun twitter @DoniLaksono. Di dalam video tersebut tampak seorang siswa memasang helm pada korban. Kemudian, pelaku menendang kepala korban hingga terjatuh. (kumparan.com, 20/11/2022)

Sungguh memprihatinkan kondisi pelajar yang kian mengalami kerusakan akhlak dan moral, menjadi dinamika kehidupan yang jauh dari titik terang. Sikap yang ditunjukan tampak belum mencerminkan keberhasilan pendidikan.

Bullying bukanlah kasus yang baru terjadi, melainkan menjadi kasus berulang yang belum menampakkan titik keselesaian, bahkan cenderung marak terjadi. Sehingga, kerusakan akhlak dan moral pelajar hari ini menjadi tanggung jawab bersama khususnya negara dalam mencetak generasi muda yang bertakwa dan berakhlak moral. Sebab, negaralah yang memiliki kekuasaan penuh dalam menunjang keberhasilan pendidikan bagi generasi muda. 

Kenakalan remaja dalam kasus bullying menjadi potret buram pendidikan sekuler yang diterapkan negara hari ini. Pendidikan hanya dijadikan sebagai ranah transfer ilmu dan peluang terciptanya materi sebanyak-banyaknya. Maka tak heran, jika generasi muda banyak yang bertingkah aneh hanya untuk mendapatkan materi dan tak sedikit yang menjadikan pendidikan sebagai tempat menampilkan eksistensi diri dan ajang memperkaya diri.

Masyarakat diberikan gambaran bahwa pendidikan mampu menjamin terciptanya kehidupan yang berfinansial tinggi dengan memanfaatkan gelar pendidikan yang diperoleh. Alhasil, masyarakat yang telah dimasukan asupan negatif tersebut menjadi apatis dan merasa bahwa pendidikan hanya sebatas wadah eksis dan memperkaya diri. Setiap pelajar berlomba-lomba mengikuti berbagai ajang kompetensi hanya dapat bersaing di dalam pasar modal.

Selain itu, pendidikan sekuler menciptakan kurikulum yang jauh dari pembentukan akidah para pelajar. Akibatnya, akhlak dan moral para pelajar tidak terbaiki. Mereka tak takut lagi dengan perbuatan halal dan haram, suasana telah dikondisikan dengan sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Ajaran agama tidak lagi dianggap penting. Sekalipun tercantum pembelajaran agama, namun materinya tak lebih hanya sebatas ibadah ritual semata tanpa menyentuh ajaran menyeluruh dalam aspek kehidupan. 

Parahnya, hilangnya kontrol negara dalam bidang pendidikan generasi menjadi pemicu kenakalan remaja. Negara tak begitu memperhatikan perkembangan media sosial dan tontonan yang beredar di dalam negeri. Sebab, generasi remaja tak dapat melakukan tindak kenakalan tanpa adanya panutan maupun peluang. Apalagi banyak kasus bullying yang tidak terjerat hukuman jera. Negara yang tidak memberikan batasan akses tontonan bagi generasi dan tidak menerapkan sistem hukum jera, maka kasus tersebut akan terus berulang.

Tak hanya itu, penerapan kapitalisme sekularisme mampu melumpuhkan peran keluarga dalam mendidik generasi muda khususnya bagi seorang ibu. Sebab, ibu merupakan masdrasah madrasah ula bagi anak-anaknya. Keberhasilan seorang anak juga ditentukan dari peran seorang ibu. Ibu akan menjadi contoh bagi anaknya.

Namun sayangnya, peran ibu kini dibajak oleh tuntutan ekonomi yang memaksa untuk bekerja di luar rumah. Jika tidak bekerja, maka akan susah memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi gaji suami tak mencukupi kebutuhan. 

Inilah gambaran paradigma penerapan kapitalisme sekularisme dalam mengelola ekonomi. Ketidaksetaraan keluarga mengharuskan seorang ibu keluar mencari nafkah hingga mengabaikan peran sebagai pendidik generasi. Alhasil, anak diserahkan kepada pengasuh dengan dalih yang penting sudah memenuhi kebutuhannya.

Pendidikan Dalam Islam

Dalam Islam, keluarga merupakan instansi urgen dalam menciptakan generasi yang berakidah kokoh, berakhlak dan bermoral yang baik. Islam memuliakan ibu dengan gelar mulia sebagai madrasah ula (pendidik pertama) bagi anak-anaknya. Ibu akan dibekali ilmu dalam memelihara keluarga dan mendidik generasi. Islam tidak akan membiarkan kemulian seorang ibu sebagai madrasah ula dengan mudah dibajak oleh keadaan ekonomi.

Islam dalam peraturan hidup memberikan tugas bagi suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Islam memberikan penyediaan lapangan kerja yang layak dengan gaji yang mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup masing-masing keluarga. Dengan begitu, seorang ibu tidak akan terjun sebagai tenaga kerja, melainkan fokus mendidik generasi dengan ilmu akidah yang telah dimiliki. Sebab, Islam memahami bahwa pembentukan mental lemah bagi anak juga disebabkan karena rapuhnya instansi keluarga, sehingga menciptakan minus pengajaran dan pengontrolan.

Selain itu, Islam pula memahami bahwa peran pendidikan keluarga tidak mampu menghasilan generasi berakidah kokoh, berakhlak dan bermoral baik, tanpa adanya dukungan dari negara.

Negara memiliki peran penting dalam menjaga akidah, akhlak, dan moral para generasi. Semisal, negara akan menyusun kurikulum pendidikan terhadap instansi sekolah sesuai dengan akidah Islam. Segala standar kehidupan akan dikembalikan kepada halal dan haram. Generasi akan takut melakukan tindakan kenakalan, apalagi bullying terhadap seorang lansia.

Pendidikan dalam Islam, tidak hanya sebatas proses transfer ilmu maupun ajang memperkaya diri, melainkan proses perbaikan akidah, akhlak, dan moral generasi muda. Skala keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan terletak pada pencapaian gelar, eksistensi, maupun kekayaan, melainkan ketundukannya terhadap syariat Islam secara totalitas serta menciptakan kemanfaatan bagi orang banyak.

Islam pula memiliki wewenang dalam mengatur dan mengontrol dimensi perputaran media informasi. Tak dapat dimungkiri, perkembangan teknologi hari ini juga memberikan dampak negatif bagi generasi muda. Tontonan-tontonan kenakalan yang mengajar menjadi arus informasi yang mudah diakses generasi. Islam akan memerintahkan negara untuk mencegah segala macam peredaran informasi yang negatif baik secara verbal maupun media sosial.

Maka tak heran, pada masa pemerintah Islam mampu mencetak generasi cendikia yang berakidah dan berakhlak moral. Seperti, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Abbas bin Firnas, Fatimah Al-Fihri dan Al-Batani.

Oleh karena itu, sudah seharusnya umat menjadikan Islam sebagai solusi terhadap permasalahan kehidupan, khususnya dalam menciptakan pendidikan yang mampu mencetak generasi cerdas dan berakhlak mulia. Sebab, Islam diturunkan bukan hanya sebatas ibadah spritual semata, melainkan sebagai agama sekaligus peraturan hidup yang bersumber dari Allah Swt.

Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post