Potret Buram Pemuda: Diperkosa Bergilir Sampai Terjangkiti HIV


Oleh: Karlina Asri Ayuningtyas, S.Pd (Aktivis Pendidikan- Kepala MI Trubus Iman Tanah Grogot Kab. Paser. Kalimantan Timur)_

Kasus pemerkosaan terhadap anak kembali terjadi. Menurut sumber berita setempat, korban kali ini adalah seorang anak perempuan berusia 12 tahun (inisial J) di Medan, Sumatera Utara. Mirisnya lagi, korban terindikasi tertular penyakit HIV! Usut punya usut, korban dilecehkan secara bergilir, oleh pacar ibunya, adik laki-laki neneknya, dan kerap dibawa mucikari untuk melayani sejumlah lelaki. Tak lama setelah itu, korban sakit-sakitan dan tak kunjung sembuh. Barulah diketahui ternyata korban terjangkiti HIV.

Sungguh sangat malang sekali nasib anak tersebut. Karena di usianya yang masih muda, ia sudah harus merasakan perlakuan biadab dari orang-orang terdekatnya. Orang dewasa yang seharusnya menjadi figur teladan bagi anak-anak justru menjadi pihak paling menakutkan dan menyakiti anak. Rumah bukan lagi tempat yang aman dan nyaman, tapi menjadi tempat penuh ancaman.

Pertanyaannya adalah Mengapa orang dewasa hari ini jadi semakin rusak dan merusak? Apa jadinya generasi mendatang bila sejak usia dini sudah dikejar-kejar predator seksual?

Untuk mencari akar masalah dari maraknya perbuatan asusila yang mengintai anak-anak, kita harus melihat kasus-kasus tersebut secara jeli dan holistik. Sebab hal yang terjadi ini bukanlah perkara baru, karena sudah banyak korban berjatuhan. Di sisi lain kasusnya terus-menerus berulang.

Rupanya, upaya pemerintah untuk meminimalisir tindak asusila ini juga belum cukup mencegah agar hal ini tidak terulang kembali. Ini berarti, ada kesalahan dalam merumuskan akar masalahnya, sehingga solusi yang diberikan gagal menyelesaikan kasus pemerkosaan pada anak.

Apabila kita amati secara mendetail, terjadinya kekerasan seksual terhadap anak adalah efek penerapan sistem sekulerisme-liberal yang berlaku di tengah-tengah masyarakat kita. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dipakai sebatas ibadah ritual. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, lebih memilih untuk berperilaku berdasarkan akal dan kepuasan jasmaninya. 

Akibatnya, setiap elemen baik negara, masyarakat, hingga keluarga tidak memahami kewajibannya. Tata pergaulan dalam masyarakat pun cenderung bebas. Maka, yang terjadi adalah: kerusakan dimana-mana, sebab nafsu lebih diunggulkan daripada ketakutan akan pertanggungjawaban kelak.

Gaya  hidup sekulerisme-liberal hari ini, membuat pertemuan antara laki-laki dan perempuan menjadi hal yang bebas dilakukan tanpa batasan apapun, terlebih batasan agama. Pacaran dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, berdandan serta berpakaian buka-bukaan dengan tujuan menarik lawan jenis justru dibudayakan. Hal inilah yang secara tak langsung memicu niat jahat para predator untuk berbuat nekat. Para pelaku ini tidak akan berpikir kembali siapakah korbannya, yang dipikirkan hanyalah nafsunya terpuaskan. Tanpa memikiran dosa sama sekali. 

Belum lagi, media hari ini juga turut berkontribusi untuk merusak mindset generasi. Konten-konten pornografi dan pornoaksi mudah ditemui di mana-mana. Mulai dari webtoon, wattpad, youtube, game, dsb. Hampir semuanya selalu diselipkan romantisme hubungan laki-laki dan perempuan. Bukankah hal ini justru membuat orang semakin menggebu-gebu nafsu-nya? Sudahlah tidak memiliki bekal ilmu agama, lalu kemudian dipancing dengan berbagai tayangan merusak, bukankah ini sama saja membiarkan merajalelanya kasus pemerkosaan?

Jika sudah demikian, mungkinkah kasus kekerasan seksual dapat dihentikan bila sistem kehidupan yang menaunginya, yakni sekulerisme-liberal masih tetap eksis?

Dibutuhkan beberapa upaya, guna menghapuskan kasus kekerasan seksual tersebut: 

Pertama, upaya edukatif. Negara akan mendidik generasi dengan sistem pendidikan yang tujuan pendidikannya yaitu untuk membentuk generasi berkepribadian mulia, menguasai tsaqafah dan iptek. Tentunya dengan memperkuat pendidikan akhlak melalui pelajaran agama (bukan justru mengurangi jam pelajaran agama di kurikulum sekolah).
Dengan begitu, generasi akan benar-benar memahami tujuan hidupnya adalah untuk beribadah kepada Tuhan. Mereka akan berhati-hati dalam beraktivitas, selalu berusaha taat dan meninggalkan maksiat. Maka, setiap individu akan memiliki kontrol internal, yang mampu menghalanginya untuk berperilaku liar seperti melakukan pemerkosaan.

Kedua, upaya preventif. Negara akan menegakkan aturan terkait pergaulan. Dalam kehidupan di ruang publik, perempuan akan diwajibkan untuk memakai pakaian sempurna (yang menutup aurat). Lalu, akan ditegakkan aturan yang mengatur pertemuan laki-laki dan perempuan di ruang publik, menerapkan larangan berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan resmi (menikah), larangan berdandan berlebihan, dan larangan mendekati zina (pacaran, hts, ttm, dsb).

Selain itu, Negara juga mengatur peredaran media. Media digunakan sebagai sarana pendidikan dan meningkatkan ketakwaan. Konten-konten yang merusak seperti pornografi dan pornoaksi sama sekali tidak boleh ada. 

Ketiga, upaya kuratif. Negara akan menegakkan sistem sanksi yang mana bila ada yang melanggar peraturan diatas. Dalam pemerkosaan seperti kasus tadi, maka pelaku yang memperkosa akan diberi sanksi hukuman yang benar-benar memberi efek jera.

Apabila ketiga langkah-langkah diatas mampu diterapkan secara sempurna oleh Negara, maka pasti kerusakan generasi ini tidak akan terjadi lagi.

Post a Comment

Previous Post Next Post