Polusi Udara Akibat Negri Dieksploitasi Kapitalisme


Oleh ; Mentari
Aktivis muslimah ngaji

Menjaga kebersihan udara sebagaimana perintah Allah adalah amanah/mandat penciptaan. Tidak semestinya Indonesia merana terdampak polusi udara akibat eksploitasi besar-besaran kapitalisme.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan kualitas udara terburuk di dunia. Menurut ranking IQAir pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-17 sebagai negara paling berpolusi di antara 117 negara dunia. IQAir sendiri adalah perusahaan swasta yang bergerak pada penelitian kualitas udara di seluruh dunia. (Detik, 27/06/2022).

Penilaian kualitas udara tersebut ditentukan berdasarkan PM2.5 atau Partikulat (PM2.5) yang berarti partikel udara dengan ukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Kemudian ada Nilai Ambang Batas (NAB) yang tidak lain adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara, yaitu NAB PM2.5 = 65 µgram/m³.
IQAir mengategorikan kualitas udara dengan angka di atas 35,5 adalah tidak sehat untuk kelompok sensitif, tingkatan antara 55,5 dan 150,4 tidak sehat untuk semua, tingkatan 150,5—250,4 adalah sangat tidak sehat, dan tingkatan 250,5 atau lebih tinggi adalah berbahaya.

Polusi udara telah terbukti berkontribusi pada masalah kesehatan, termasuk masalah pernapasan, asma yang memburuk, bahkan cacat bawaan. Menurut laporan Institut Kebijakan Energi Universitas Chicago, polusi udara telah memangkas lebih dari dua tahun harapan hidup rata-rata global, dibandingkan efek alkohol, rokok, terorisme, dan konflik.

Sedangkan menurut Pure Earth, polusi beracun adalah salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular secara global. Penyakit tidak menular menyumbang 72% dari semua kematian, 16% di antaranya disebabkan oleh polusi beracun. Polusi beracun bertanggung jawab atas 22% dari semua penyakit kardiovaskular, 25% kematian akibat stroke, 40% kematian akibat kanker paru-paru, dan 53% kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik.

Hal ini juga sejalan dengan data World Health Organization (WHO) yang menunjukkan bahwa polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini setiap tahun. Padahal, sebanyak 91-99% populasi dunia tinggal di tempat yang kualitas udaranya melebihi batas maksimal yang direkomendasikan WHO (0-10 g/m³).

Udara Terpolusi, Stigma terhadap Bahan Bakar Fosil. Memang benar, faktor utama penyebab polusi udara adalah pembakaran bahan bakar fosil. Kontributor terbesarnya antara lain adalah kendaraan berbahan bakar fosil seperti mobil, truk, pesawat terbang, kapal laut dan lain sebagainya. Ada juga polusi udara yang disebabkan pembangkit listrik dan pabrik berbahan bakar batu bara atau minyak (Detik.com; 20/06/2022).

Namun demikian, hal ini semestinya memantik daya kritis kita, karena isunya muncul di tengah ramainya transisi dunia menuju EBT (energi baru terbarukan). Sementara, salah satu isu prioritas di konvensi internasional G20 yang Indonesia sedang memegang mandat presidensinya adalah transisi energi berkelanjutan. Juga terpilihnya selebritas muda Cinta Laura sebagai komisaris di PT Protech Mitra Perkasa Tbk (OASA) yang bergerak di bidang industri EBT, layak menimbulkan pertanyaan, meski benar ia adalah pemerhati lingkungan.

Kita juga tahu bahwa akhir 2021 lalu telah terlaksana KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, yang membahas tentang rencana pengurangan emisi karbon dunia dengan cara mengurangi kenaikan suhu global. Padahal, saat para pemimpin dunia bertemu COP26 itu, total jejak emisi karbon dari 1% orang-orang superkaya dunia sesungguhnya berada di angka 30 kali lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menghentikan pemanasan global di atas 1,5 derajat Celsius. Sementara itu, emisi dari 50% penduduk termiskin dunia masih jauh di bawah kebutuhan meskipun mereka adalah kelompok yang paling parah terdampak perubahan iklim.

Tumbal Industrialisasi

Industri, tentu jamak kita ketahui sebagai penyumbang besar bagi polusi udara. Kita pun tidak bisa menutup mata terhadap pembangunan kawasan industri yang terbilang ugal-ugalan di sejumlah provinsi di Indonesia. Provinsi-provinsi tersebut menjadi incaran para investor, bahkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan global. Ini karena pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakannya sendiri menempatkan sejumlah provinsi sebagai lokasi investasi unggulan, tidak terkecuali investasi asing.

Terjadinya industrialisasi di Indonesia tidak terlepas dari sejumlah faktor. Adanya fasilitas ekspor-impor, konektivitas darat dan laut, serta jalan tol yang menghubungkan kota-kota ekonomi penting, juga menjadi faktor penyebab maraknya pembangunan kawasan industri.

Di antara perusahaan multinasional yang baru-baru ini tertarik berinvestasi di kawasan industri yang makin banyak di Indonesia adalah Nestle. Selain itu, ada perusahaan otomotif terbesar di Amerika Serikat (AS) Tesla Inc, perusahaan LG Energy Solution, dan Foxconn.

Inilah akibatnya ketika pembangunan industri bernaung dalam kacamata kapitalisme. Atas nama asas kemanfaatan ekonomi, kapitalisme merestui industrialisasi kendati statusnya sudah ugal-ugalan. Tidak heran, krisis demi krisis bergantian terjadi. Lingkungan makin rusak, polusi udara pun menjadi tumbal industrialisasi. Realitas ironis di Indonesia tidak hanya soal polusi udara. Wajar polusi udara menjadi masalah, karena hutan hujan tropis Indonesia yang selama bertahun-tahun menjadi paru-paru dunia, kini terancam deforestasi.

Laju deforestasi di dunia telah memasuki kategori “mengkhawatirkan”. Selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan hilang setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo adalah negara-negara yang mengalami deforestasi terburuk di dunia, sekaligus terdampak paling parah.

Indonesia sendiri adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektare hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Meski sudah ada beberapa upaya reboisasi, melalui pertumbuhan alami atau penanaman, tetapi pohon perlu waktu bertahun-tahun sebelum dapat menyerap CO2 sepenuhnya.

Lebih parahnya lagi, faktor utama terjadinya deforestasi (sebesar 80%) adalah pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pada 2016, rekor 929.000 hektare hutan musnah. Pada 2019, Presiden Jokowi mengeluarkan moratorium tiga tahun pembukaan hutan baru, yang mencakup sekitar 66 juta hektare hutan primer dan lahan gambut. Namun moratorium tersebut berakhir pada 19 September 2021.

Sayangnya, di tengah ketakpastian kelanjutan moratorium ini, Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah telanjur berlaku sejak 2020. Masalahnya, kandungan UU Cipta Kerja sangat memberikan peluang tergenjotnya deforestasi.

Mencermati semua ini, sungguh ini tidak ubahnya frasa bahwa polusi udara beralamat pada stigma terhadap bahan bakar fosil. Dengan kata lain, kapitalisme selalu mencari alasan agar bisa beralih ke EBT, meski harus tambal-menambal boroknya sendiri. Industrialisasi dan deforestasi adalah sebagian borok itu.

Keduanya juga menjadi tersangka utama buruknya kualitas udara di negeri kita. Andai benar nanti sudah terjadi peralihan pada EBT, penggunanya pun bukan rakyat kita sendiri. Adanya COP26 dan G20 menegaskan bahwa pihak yang membutuhkan EBT adalah negara-negara maju. Amerika Serikat bahkan menjadi negara yang paling cepat di dunia dalam bersiap menuju transisi EBT. Meski demikian, AS juga belum menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

Negara berkembang seperti Indonesia hanyalah ibarat pelayan penyedia sumber daya untuk dieksploitasi demi kepentingan negara-negara maju tersebut. Klaim global bahwa Indonesia adalah adidaya iklim nyatanya hanya omong kosong kapitalisme untuk menipu dunia, sementara Indonesia sebagai bonekanya. Semua itu untuk menutupi borok rakusnya kapitalisme agar tetap dapat menggerogoti kekayaan sumber daya alam di negara-negara miskin dan berkembang.

Islam Mendatangkan Berkah

Dengan demikian, sangat penting untuk memposisikan fungsi penanggulangan polusi udara sebagai wujud pemeliharaan karunia-Nya. Allah Swt. berfirman, 

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(29) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’.” (QS Al-Baqarah : 29—30)

Menjaga kebersihan udara sebagaimana perintah Allah adalah amanah/mandat penciptaan. Tidak semestinya Indonesia merana terdampak polusi udara akibat eksploitasi besar-besaran kapitalisme.
Dalam ayat yang lain, Allah Swt. berfirman, 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum : 41)

Dalam hal ini, penguasa memang harus berperan aktif sebagai pengayom dan pengatur urusan umat. Rasulullah saw. bersabda, 

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi polusi udara tentunya berlepas diri dari konvensi-konvensi internasional. Indonesia harus punya sikap politik mandiri. Kepedulian kapitalisme terhadap lingkungan toh kamuflase penjajahan ekonomi bagi negeri kita ini. Di samping itu, penting untuk menyeimbangkan faktor industrialisasi dengan konversi lahan agar tidak menyebabkan kerusakan hutan besar-besaran. Urgen sekali menjaga hutan sehingga tetap pada fungsinya sebagai paru-paru dunia. Berikutnya, tidak semestinya menyerahkan lahan sumber daya alam milik publik kepada kapitalis swasta yang hanya fokus pada profit.

Buruknya kualitas udara telah terbukti sebagai dampak penjajahan ekonomi kapitalisme. Konferensi-konferensi internasional bidang lingkungan pun ajang kapitalisme untuk menjadi pahlawan kesiangan. Seolah berkontribusi positif pada dunia, padahal borok yang mereka buat jauh lebih buruk dan busuk. Jangan biarkan rakyat makin merana. Kebijakan politik negeri muslim terbesar di dunia ini tidak boleh membebek pada tawaran kapitalisme karena pasti membawa kemudaratan.

Post a Comment

Previous Post Next Post