Pandemic Fund, Mampukah Mengatasi Pandemi?



Oleh Diana Wijayanti
(Pegiat Literasi)

Dengan bangga, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meresmikan peluncuran pandemic fund atau dana pandemi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali (13/11/2022). Pandemic fund diharapkan akan menjadi instrumen penting dalam mengatasi pandemi kelak di kemudian hari.

Dilansir dari  CNN Indonesia, (16/11/2022), pandemic fund sendiri sudah mulai berjalan sejak 8 September 2022 dan telah terkumpul dana 1,5 miliar dolar AS atau setara Rp 23,4 triliun. Sementara kebutuhan dana pertahun diperkirakan WHO sebesar 31, 1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 481 triliun.  Jelas masih kurang dana banyak untuk memenuhi kebutuhan penanganan pandemi tiap tahunnya.

Lantas, benarkah pandemi bisa diatasi dengan adanya pandemic fund ini? Atau ada cara lain yang lebih mumpuni mengatasi pandemi?

Sungguh, munculnya pandemi tahun 2020 merupakan pukulan telak bagi sistem kapitalisme liberal yang diterapkan oleh hampir seluruh negara di dunia saat ini. Pasalnya bukan hanya negara miskin yang kalangan kabut menghadapinya namun juga negara maju.

Paradigma kapitalisme yang cenderung mengutamakan materi tak berdaya menghadapi pandemi, korban jiwa berjatuhan. Akhirnya kebijakan "lockdown' total diambil untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi. Namun dampaknya sektor ekonomi terpukul hingga terjadi resesi yang hebat. Kebijakan fiskal maupun moneter tidak memberikan pengaruh berarti.

Resesi global yang terus terjadi membuat kebijakan baru harus segera diambil yaitu 'new normal'. Tujuannya adalah agar ekonomi kembali bangkit, faktor kesehatan menjadi prioritas kedua  Akibatnya korban kembali berjatuhan dan kondisi ini sengaja dibiarkan hingga mencapai 'hert imunity' atau muncul kekebalan tubuh alami setelah berperang dengan wabah. Berapa pun jumlah korban atas penerapan kebijakan ini tidak diambil pusing oleh penguasa. Semua demi meningkatkan ekonomi.

Seiring dengan itu perjanjian GATS oleh WTO telah ditetapkan, dimana menjadikan 12 sektor jasa salah satunya jasa kesehatan termasuk jalan dibukanya kran investasi dan liberalisasi pada tahun 1995. Akibatnya di tengah kesulitan rakyat mendapatkan layanan kesehatan dan  obat, penguasa dan pengusaha memanfaatkan kesempatan ini untuk kapitalisasi vaksin. Sebagaimana untung beliung yang diperoleh produsen vaksin Astra Zaneca. Keuntungan mereka sebesar 37, 4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 536 triliun. 

Juga ketetapan PCR yang diputuskan oleh penguasa  ternyata juga telah dimanfaatkan oleh pengusaha  untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini jelas-jelas kebatilan dan kezaliman secara nyata.

Begitulah watak asli sistem kapitalisme, yang tidak manusiawi. Keuntungan materi menjadi pijakan dalam mengurus rakyat. Maka wajar jika 'gap' antara si kaya dan si miskin semakin menganga lebar. Kemiskinan sistemik rakyat  terus diproduksi oleh para penguasa bekerja sama dengan pengusaha atau dikenal sebagai negara korporatokrasi.

Sungguh kapitalisasi kesehatan seperti yang terjadi saat ini telah di haramkan oleh Allah Subhanahu wata'ala, Sang Pencipta alam semesta. Syariat Islam telah Allah turunkan untuk mencabut penderitaan akibat kerakusan segelintir umat manusia. Baginda Muhammad saw. diutus untuk memberikan teladan bagaimana negara wajib menanggung pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan atas seluruh warga negara.

Tatkala Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjadi kepala ngara Islam di Madinah Al Munawwarah beliau melihat ada salah satu sahabat yang menderita sakit yaitu Ubay. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan seorang tabib atau dokter yang merupakan hadiah dari Raja Muqauqis untuk mengobati sahabat tersebut hingga sembuh. Tabib ini kemudian dipakai jasanya untuk mengobati seluruh warga yang menderita penyakit. Rakyat tidak harus membayar sang tabib, gajinya diambil dari uang kas negara atau dikenal dengan nama baitul maal.

Adapun sumber pemasukan negara yang bisa dialokasikan untuk kesehatan adalah dari harta yang diperoleh dari pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang berbagai macam SDA yang jumlahnya melimpah. Sementara itu untuk gaji para nakes bisa diambil dari pos harta negara yang berasal dari ghanimah, kharaj, jiziyah, usyr, harta ghulul dan lain sebagainya. Besarnya harta di Baitul maal inilah yang menopang pembiayaan kebutuhan fasilitas kesehatan bagi rakaat. Sehingga rakyat bisa merasakan baiknya pelayanan, cepat dan gratis.

Dengan demikian negara tidak perlu patungan sebagaiman 'pandemic fund' meminta sumbangan kepada masyarakat atau negara lain untuk memenuhi seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan bagi warganya. Tentu saja hanya dengan mewujudkan kembali negara Islam yaitu khilafah masalah kesehatan bisa tuntas terselesaikan.

Wallahu a'lam bishawwab 

Post a Comment

Previous Post Next Post