Membagikan Rice Cooker Untuk Menanak Nasi Apakah Jadi Solusi?


Oleh : Yanti Mursidah Lubis

Dikutip dari KOMPAS.TV, pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi menyebut bagi-bagi rice cooker gratis sebagai program mubazir dan tidak efektif sama sekali. Ia menggangap alasan memberikan kontribusi energi bersih tidak signifikan dan kontribusinya kecil.

“Penghematan elpiji tiga kilogram dengan bagi-bagi rice cooker gratis berbeda dengan kompor listrik, sebab rice cooker hanya untuk menanak nasi, padahal memasak masih pakai elpiji tiga kilogram,” ujarnya, Sabtu (3/12/2022).

Setelah gagal dengan rencana bagi-bagi kompor listrik, pemerintah tidak kehilangan akal. Mengapa mewacanakan kebijakan bagi-bagi rice cooker, padahal hal itu tidak terlalu signifikan terhadap pengurangan penggunaan gas LPG? Jelas, yang paling diuntungkan atas hal ini adalah pengusaha. Pembagian rice cooker gratis tentu membutuhkan perusahaan yang akan memproduksinya secara massal.

Menurut pemerintah, kebijakan bagi-bagi rice cooker diprediksi akan meningkatkan konsumsi listrik. Pemerintah memang tengah berupaya menggenjot penggunaan listrik untuk mengatasi over supply yang terus terjadi selama sembilan tahun terakhir. Selama periode 2013—2021 total pasokan listrik PLN (yang diproduksi sendiri plus dibeli dari pihak lain) jumlahnya selalu lebih banyak sekitar 28 ribu—30 ribu GWh ketimbang total listrik yang terjual.

Untuk itulah, pemerintah menetapkan beraneka kebijakan yang dapat mendorong masyarakat mengonsumsi penggunaan listrik, seperti menaikkan daya pelanggaran 450 VA dan 900 VA, mobil listrik, motor listrik, kompor listrik, dan rice cooker. Hal ini dilakukan agar over supply listrik PLN dapat terserap.

Ini akibat kebijakan ambisius pemerintah yang meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW pada Mei 2015 lalu. Maksud hati ingin mewujudkan kemandirian dan kedaulatan energi, yang terjadi malah sebaliknya, Indonesia justru banyak bergantung pada swasta untuk merealisasikan kebijakannya.

Inilah potret pengurusan negara dengan sistem kapitalisme. Apa saja yang mendatangkan keuntungan bagi korporasi, semua dilakoni. Konsep ekonomi pasar bebas yang digagas kapitalisme melahirkan kebijakan yang meningkatkan konsumsi, investasi, dan ekspor impor. Investasi dianggap baik selama mendorong pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, negara hanya jadi objek pasar industri kapitalistik.

Kebijakan bagi-bagi rice cooker dan konversi kendaraan ke listrik bisakah kita katakan kebijakan mandiri? Sementara itu, realisasi kebijakannya membutuhkan campur tangan pihak ketiga. Mengingat, Indonesia belum memiliki bargaining position di hadapan negara besar. Posisi tawar Indonesia hanyalah sebatas penyokong industri korporasi.

Untuk mewujudkan kemandirian hakiki, negara harus merevolusi industri dari industri konsumtif menjadi industri strategis, yaitu membangun industri alat-alat berat yang nantinya menyokong industri lainnya untuk berkembang. Negara harus menjadi pengelola harta milik umum, semisal batu bara yang menjadi bahan bakar pembangkit listrik. Kepemilikan dan pengelolaan harta milik umum tidak boleh diserahkan kepada swasta/ asing.

Revolusi industri ini hanya bisa terwujud jika pengelolaan SDA dikembalikan pada syariat Islam. Kemandirian energi hanya tercipta tatkala negara menerapkan politik ekonomi berasakan Islam. Hanya Islam yang dapat menandingi hegemoni kapitalisme sebab prestasi Islam mewujudkan negara mandiri, kuat, dan berdaulat sudah teruji dan terbukti. Wallahu'alam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post