Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) secara terbuka mengungkapkan alasannya mencetuskan rencana mengimpor beras. Di mana, sebelumnya Buwas mengatakan, Bulog memiliki komitmen stok beras sebanyak 500 ribu ton di luar negeri.
Saat rapat dengar pendapat dengan Eselon I Kementerian Pertanian (Kementan), Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Direktur Utama Holding Pangan ID Food, Rabu (24/11/2022), Buwas mengungkapkan mendapat penugasan harus memiliki stok beras sebanyak 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2022.
Buwas menjabarkan, per 22 November 2022, Bulog telah melakukan pengadaan 912 ribu ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Di mana, serapan tertinggi terjadi di bulan Maret dan Juni.
"Saat itu kami mengadakan CBP masih dengan harga sesuai Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan). Rp8.300 per kg," kata Buwas.
"Lalu mulai pertengahan Juli harga naik sehingga nggak bisa lagi membeli Rp8.300. Maka lewat Rakortas ditetapkan harga fleksibilitas Rp8.800 per kg. Untuk bisa membeli 500 ribu ton. Tapi, kami hanya bisa beli 40 ribu ton," lanjutnya.
Akibatnya, imbuh dia, pemerintah mencabut kebijakan fleksibilitas harga beras. "Kami kemudian membeli beras dengan harga komersial, Rp8.900-10.200 per kg. Tapi, itu pun penyerapannya nggak sampai 100 ribu ton. Karena memang sudah nggak ada panen. Di Sulawesi Selatan, NTB, Jawa Barat, nggak ada, Lampung gagal panen," jelas Buwas.
"Kami sudah mengantongi kesepakatan akan ada pengadaan 300 ribu ton, tapi realisasi hanya bisa 50 ribu ton. Nggak ada barangnya," tambahnya.
*Dunia Pertanian Dalam Ratapan*
_Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati…_”
Potongan lirik lagu berjudul Ibu Pertiwi itu dirasa tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia sekarang ini. Negeri gemah ripah loh ji nawi yang tanahnya luas dan subur makmur. Ternyata harus siap menelan pil pahit melihat kenyataan bahwa Indonesia gagal memenuhi stok pangan dalam negeri.
Kegagalan pemerintah mewujudkan stok beras yang cukup dikarenakan rendahnya produktifitas petani lokal dalam menghasilkan beras. Menilik kenyataan di lapangan nasib para petani lokal juga sangat mengenaskan. Proses garap sawah yang makin sulit, ditambah kebijakan pemerintah yang juga makin mempersulit keadaaan petani.
Seperti mahalnya harga pupuk dan kebijakan distribusi pupuk bersubsidi yang sulit ke petani. Sektor pertanian yang makin sulit dan tidak mengntungkan karena harga jual yang rendah pula. Banyak petani yang tidak balik modal bahkan rugi.
Maka sektor pertanian mulai banyak ditinggalkan para penduduk dan lebih memilih beralik profesi sebagai karwayan pabrik. Sektor lahan pertanian banyak dijual dan dialih fungsikan menjadi lahan industri yang dirasa lebih menguntungkan.
*Politik Pertanian Islam Wujudkan Kemakmuran*
Berbeda dengan sistem Dalam Khilafah Islam, kenaikan dan kelangkaan bahan pokok bisa diselesaikan dengan dua cara. Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam Siyasah Al Iqtishodi al Mustla menjelaskan pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Hal ini ditempuh dengan dua cara. Pertama, intensifikasi yaitu peningkatan produktivitas misal dengan pengadaan benih unggul dan teknik-teknik pertanian modern. Hal ini tentu membutuhkan modal besar dan berorientasi jangka panjang. Langkah impor barang hanyalah solusi jangka pendek dan justru kontra produktif dengan tujuan kedaulatan pangan.
Kedua, ekstensifikasi yaitu dengan menambah luas area yang akan ditanami. Di dalam Islam, negara berhak mengambil tanah dari orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya.
Rasululloh saw bersabda, “Siapa saja yang memiliki sebidah tanah, maka hendaknya dia menanaminya atau hendaklah ia berikan kepada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil.”
Problem para buruh tani yang selama ini selalu hidup miskin karena tidak punya lahan untuk berproduksi akan terselesaikan dengan hukum Islam ini. Mereka akan bersemangat untuk berproduksi dan memenuhi kebutuhan masyarakat karena mengolah lahan milik sendiri.
Kebijakan politik pertanian ini tentu juga harus dibarengi dengan politik industri untuk menjadikan negara mandiri secara alat dan mesin termasuk peralatan pertanian sehingga tidak bergantung pada negara lain. Syekh al Maliki menjelaskan politik industri dijalankan untuk menjadikan negara menjadi negara industri.
Dengan hal ini maka swasembada dan kedaulatan pangan bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Kewajiban negara sebagai penanggung jawab utama urusan rakyat termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pokok akan tercapai. Rasululloh sawa bersabda, “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al Bukhari).
Wallahua’lam bishawab.
Post a Comment