Oleh: Citra Hardiyanti, S.Si,
(Aktivis Muslimah)
Lautan manusia berpakaian merah putih membanjiri Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu (26-11-2022). Mereka adalah Relawan Nusantara Bersatu, berkumpul bersama dalam upaya menggalang dukungan Pemilu 2024 mendatang. Mereka menyatakan dalam deklarasinya “2024 manut Jokowi” yang artinya di tahun 2024 mengikuti keputusan Jokowi. Bahkan dalam acara tersebut ada spanduk dan teriakan “Jokowi tiga periode” (kompas TV, 27-11-2022).
Pemilu 2024 masih dua tahun lagi, namun hawa pemilu dan pilpres sangat kuat, seolah tiada empati terhadap duka mendalam rakyat Indonesia. Negeri Pertiwi ini masih tengah berduka, krisis ekonomi terus membayangi sebagai efek dari resesi global, ditambah dengan kepungan bencana silih berganti.
Jika Malang memanas dengan kasus stadion Kanjuruan yang tak kunjung menemui titik terang, para korban yang tak kunjung menerima keadilan, bahkan mungkin sudah terlupakan. Kini, Indonesia tengah mengalami bencana di berbagai wilayah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2022 telah tercatat sebanyak 1.945 kali bencana alam terjadi, tulis laporan BNPB melalui akun twitternya @BNBP_Indonesia (BPBD.BogorKab.go.id).
Bencana alam yang kerap terjadi di tanah air meliputi gempa, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrim. Dilansir dari BPBD Kabupaten Bogor, tercatat sebanyak 765 kali bencana banjir terjadi, 377 kali bencana tanah longsor, dan 694 kali bencana akibat cuaca ekstrim. Sementara itu, kebakaran hutan terjadi sebanyak 94 kali, gelombang pasang dan abrasi 11 kali serta gempa yang terjadi 12 kali. Bencana yang menimpa Indonesia saat ini, menimbulkan korban meninggal dunia sebanyak 104 jiwa, hilang 15 jiwa, luka luka sebanyak 692 jiwa, dan korban yang mengungsi sebanyak 2.433.952 jiwa.
Senin, 21-11-2022 lalu Cianjur, Jawa Barat kembali diguncang gempa magnitude 5,6 skala richter. Efek gempa yang terasa hingga jabodetabek ini meluluhlantakkan ratusan bangunan, dan menelan 334 korban jiwa, 108 orang mengalami luka berat dan 8 orang masih belum ditemukan hingga saat ini. Sementara114.683 jiwa korban yang selamat kini mengungsi di 494 titik pengungsian. (Kompas.com).
Mirisnya ditengah bencana ini, masih ada sekelompok orang yang mengadakan acara deklarasi politik yang jauh dari kata empati terhadap korban. Inilah realita politik kapitalis saat ini, ditengah duka yang dialami rakyatnya, seorang pemimpin yang harusnya memperhatikan rakyatnya, lebih mengutamakan kepentingan pribadi, demi mendulang suara di pemilu 2024 nanti. Ironisnya acara tersebut, selain menghabiskan dana ratusan milyar juga menyebabkan kemacetan dan meninggalkan sampah yang berserakan mengotori Gedung Gelora Bung Karno. Sebanyak 500 personel Dinas Lingkungan HIdup DKI Jakarta, 28 unit mobil lintas, 14 unit mobil sapu jalan, serta 10 unit truk dikerahkan untuk membersihkan tempat tersebut. Total 31 ton sampah yang berhasil dikumpulkan. (CNNIndonesia.com, 27-11-2022).
Lebih miris lagi banyak peserta yang hadir diinformasikan acara berbentuk shalawat akbar, bahkan para santri di iming-imingi berjumpa dengan Habib Luthfi bin Yahya, yang bahkan tidak sesuai dengan realitanya. Banyak pula dari peserta yang hadir tidak memiliki tujuan, sekedar datang untuk mengisi kegiatan. (Tempo, 26-11-2022). Inilah realita politik kapitalisme yang mengajarkan bahwa bolehnya menghalalkan segala cara demi meraih tujuan.
Jika orang nomor satu di Indonesia dicitrakan dengan sosok Khalifah Ummar Bin Khattab, maka hal itu sama sekali tidak sebanding, bahkan bertolak belakang. Jika menilik dari sejarah yang lalu, di masa kepemimpinan Umar Bin Khattab pernah mengahadapi musibah, yang saat itu terjadi di Madinah. Selama 9 bulan tidak terjadi hujan di Semenanjung Arab, hingga tahun itu disebut dengan “tahun abu (aam ramadah)”. Penduduk Madinah kesulitan mendapatkan makanan karena gagal panen dan banyak hewan ternak yang mati. Hingga uang pun tidak berharga, karena tidak bisa digunakan untuk membeli makanan. Khalifah Ummar pun membagikan cadangan makanan yang disimpan dalam Gudang negara, namun karena banyaknya penduduk luar Madinah yang juga meminta makanan akhirnya cadangan makanan semakin menipis, sedangkan hujan tak kunjung turun.
Post a Comment