Oleh : Ratna Ummu Rayyan
Kontestasi Pemilihan Presiden 2024 masih dua tahun lagi. Tapi upaya politik para Paslon untuk mempromosikan diri sudah banyak dilakukan. Salah satunya acara Nusantara Bersatu yang digelar relawan Jokowi yang menyisakan sampah yang berserakan mengotori Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta Pusat pada Sabtu 26 November 2022.
Dalam acara itu petahana memaparkan sejumlah pencapaiannya selama memerintah, terutama di bidang infrastruktur. Bahkan ia juga menjabarkan catatan yang dianggap penting untuk dicermati oleh relawan terkait sosok dan kriteria calon presiden 2024.
Namun yang menjadi sorotan publik dan berujung viral di media sosial, ialah penampakan lautan sampah di GBK pasca acara. Dinas lingkungan hidup DKI Jakarta sampai mengerahkan 500 personel pasukan orange untuk membersihkan dan mengangkut sampah sebanyak 31 ton beragam jenis sampah.
Selain menghasilkan tumpukan sampah, acara ini juga menjadi gambaran dari empati yang terkikis. Pasalnya, negeri ini belum lama diguncang bencana gempa di Cianjur. Para korban masih banyak yang membutuhkan pertolongan dan bantuan. Dilansir dari BBC.com, data terakhir korban meninggal dunia akibat gempa bumi Cianjur Jawa barat bertambah menjadi 350 orang.
Ditengah duka lara bencana gempa Cianjur, penguasa justru mengadakan pertemuan besar demi kepentingan politiknya. Padahal pertemuan itu pastinya menghabiskan biaya yang besar. Apalagi di suasana politik 2024, pertemuan dengan relawan pasti "rawan" ditunggangi kepentingan "pribadi" dalam hal jabatan atau kekuasaan. Dugaan adanya "penipuan kegiatan" makin menguatkan hal itu.
Sudah menjadi tabiat penguasa dalam sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding urusan rakyatnya. Tabiat ini muncul karena paham kapitalisme membuat pengusaha hanya melihat manfaat sebagai orientasi kebijakannya.
Penguasa akan melihat mana peluang yang besar untuk bisa menaikan eskalasi kepemimpinanya. Berbagai cara bisa dilakukan mulai dari pencitraan, mengunjungi korban bencana demi formalitas atau mengumpulkan masa dengan klaim itu relawan.
Bagi penguasa kapitalisme, hal itu lebih penting dibanding mengurus korban bencana secara mutlak. Karena politik demokrasi yang menjaga eksistensi kapitalisme, mengharuskan seorang penguasa yang legal adalah mereka yang memiliki suara mayoritas. Karena itu publik masih bisa menyaksikan masih saja ada penguasa yang melakukan pencitraan ditengah bencana, melakukan kampanye di tengah himpitan ekonomi.
Sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Khilafah. Dalam pandangan islam penguasa dan rakyat saling menguatkan. Ibnu Qutaibah mengutip pernyataan Kaab Al Akhbar ra :
" Perumpamaan antara Islam, kekuasan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tapi pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya".
Hubungan seperti ini bisa terjalin sebagai bentuk ketaatan kepada sabda Rasulullah SAW:
" Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka." (Shahih Muslim)
Di hadis lain Rasul bersabda: " Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya." (Shahih Al Bukhari)
Dalil-dalil inilah yang menjadi cara pandang penguasa Khilafah dalam mengurusi rakyatnya. Maka ketika Khilafah tegak berdiri selama 1300 tahun, kita akan menemukan banyak sekali penguasa yang begitu luar biasa memberi perhatian terhadap urusan rakyatnya.
Salah satu diantaranya adalah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa kekuasaan beliau, pernah terjadi panceklik pada akhir tahun ke 18 H tepatnya bulan Dzulhijjah dan berlangsung selama 9 bulan.
Masyarakat sudah mulai kesulitan, kekeringan melanda seluruh bumi Hijaz dan orang-orang mulai merasakan sangat kelaparan. Banyak dari mereka yang berbondong-bondong ke Madinah untuk mencari bantuan kepada Khalifah Umar.
Sikap Amirul mukminin pun sigap dan tanggap. Beliau mendirikan tungku- tungku dan posko-posko bantuan makanan yang diambil dari Baitul mal. Pada saat itu, bantuan tersebut bisa mencukupi 6000 penduduk.
Di tengah usaha keras beliau untuk tetap mencukupi kebutuhan rakyatnya, Al Faruq pun juga sangat tegas pada dirinya sendiri. Beliau berkata : " akulah sejelek - jelek Kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan".
Pada masa itu Khalifah Umar hanya makan roti dan minyak, sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Khalifah Umar rela untuk ikut menanggung rasa lapar bahkan menolak makanan berupa daging dan hati unta yang disiapkan untuknya. Beliau justru menyuruh Aslam untuk membagikan makanan tersebut kepada rakyatnya.
Inilah penguasa dalam Khilafah, mereka mengurusi rakyatnya dengan sepenuh hati, bukan untuk kepentingan eksistensi kekuasaannya. Melainkan melakukan demi menjalankan kewajiban yang Allah Ta'ala berikan. Wallahu'alam.
Post a Comment