G20 Perkuat Cengkraman Barat



Oleh: Solihati, S. Kom. 

(Aktivis Muslimah)


Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 telah berlangsung di Bali mulai 1 Desember 2021 hingga ditutup 16 November lalu, dengan Indonesia (anggota berkembang pertama) sebagai presidensi (tuan rumah) selama setahun penuh. G20 adalah forum kerjasama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). Dimana anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.


Latar Belakang G20

Pendirian G20 sendiri tak terlepas dari kekecewaan dunia internasional terhadap kegagalan G7 yang terdiri Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis dalam mencari solusi dari permasalahan perekonomian global yang dihadapi saat itu. (www.detik.com)


Adapun tujuan G20 sendiri yakni mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Tema G20 kali ini mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger". Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Benarkah G20 jadi ajang mencari solusi atau justru upaya eksploitasi? Apakah keuntungan bagi Indonesia dengan menjadi penyelenggara acara?


Menakar Untung Rugi Gelaran G20

Mengutip laman www.djkn.kemenkeu.go.id menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, gelaran G20 memberikan keuntungan salah satunya adalah menciptakan kontribusi sebesar US$ 533 juta atau sekitar Rp7,4 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. PDB yaitu total nilai produksi dan jasa yang dihasilkan semua orang atau perusahaan dalam satu negara, termasuk nilai tambah, dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun. Hanya saja, PDB yang tinggi belum tentu seluruh penduduk negara tersebut memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. PDB adalah dasar dari perhitungan pertumbuhan ekonomi. (www.kompas.com).


Sederhananya dianggap terjadi pertumbuhan ekonomi ketika tingkat produksi barang dan jasa meningkat. Karena dianggap semua menghasilkan keuntungan, mengabaikan cepat lambatnya barang atau jasa tersebut dikonsumsi (laku).


Senada dengan Menteri Keuangan, Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga meyakini Indonesia akan menjadi kekuatan baru ekonomi dunia. Dia melihat ada harapan baru dengan Presidensi G20 yang dipegang Indonesia dengan menyebutkan indikatornya yang ditandai dengan banyaknya permintaan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). (www.detik.com)


Aroma Kapitalis dalam G20

Perlu kita pahami bersama bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah tingginya kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerawanan atau konflik sosial dll. Keberanian Indonesia sebagai tuan rumah atau nyaris seperti Event Organizer (EO) yang melayani kepentingan negara-negara besar memakan biaya tidak sedikit yakni mencapai Rp529,54 miliar. (www.pikiran-rakyat.com)


Pasalnya meskipun Indonesia mengklaim mendapat banyak keuntungan dari G20 namuan apakah benar hal itu bisa dirasakan rakyat Indonesia secara luas dan bukan sesaat saja? Faktanya Indonesia hanyalah menjadi pasar bagi negara-negara maju untuk melandingkan produk-produknya.


Dalam kapitalisme yang dianut negara-negara saat ini adalah dunia dibagi menjadi 2 yakni negara produsen dan negara konsumen. Negara produsen adalah tempat asal korporasi global yang bebas mengatur kegiatan produksi di seluruh dunia sesuai dengan kepentingan ekonomi negara tersebut. Maka mengacu pada anggota G20 maka dapat disimpulkan yang menjadi negara produsen adalah negara adi daya yakni Amerika Serikat beserta negara maju lainnya seperti Percanis, Kanada, Jepang, Australia, Inggris, China dan Uni Eropa.


Sedangkan di pihak lain ada negara-negara yang posisinya sebagai negara konsumen yakni Indonesia, Meksiko, Saudi Arabia, Argentina dll. Negara produsen membutuhkan pasar yang potensial bagi produk barang dan jasanya, untuk itulah mereka mengumpulkan kelompok negara produsen dan kelompok negara konsumen untuk memastikan agar proses produksi dan jual beli berjalan secara konsisten bahkan menigkat pesat. Apalagi diperkirakan mereka menguasai sekitar 90 persen produk domestik bruto (PDB) ekonomi dunia. 80% volume perdagangan dunia, merepresentasikan dua pertiga populasi penduduk dunia. 


Bila menilik latar belakang forum G20 maka tidak akan jauh dari tujuan penjajahan yang melekat erat dengan ideologi kapitalisme. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa yang akan sangat menguntungkan produsen untuk kebutuhan bahan baku dan pasoan energy mereka. Indonesia memiliki tempat untuk proses produksi yang jelas menjadi pertimbangan efisiensi bagi para kapitalis. Mengingat posisi Indonesia hanyalah menjadi sasaran dan tujuan hegemonin negara produsen dalam G20. Segenap potensi yang dimiliki Indonesia akan dijadikan bancakan Amerika Serikat dan kroni-kroninya demi mempertahankan politik dan eonomi yang selama  ini mereka nikmati. Wajar saja banyak negara yang tertarik bekerja sama dengan Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Oleh karena itu  semua forum yang mekanismenya mengikat pada G20 hanyalah penjajahan ekonomi.


Ilusi Kesejahteraan dalam G20

Sejak pendirian G20 Tahun 1999 di Berlin, Jerman, forum ini belum bisa memberikan kontribusi penting dalam pemecahan persoalan perekonomian dan lingkungan dunia. Masih banyak negara-negara berkembang yang tidak bisa lepas dari krisis ekonomi. Realitas ini menunjukkan bahwa forum G20 mengalami stagnasi.


Sepanjang perjalanan aktifitas G20 tidak ada pembahasan yang memberikan dampak positif terhadap negara-negara berkembang baik dalam sektor keuangan maupun  nonkeuangan seperti kerusakan lingkungan, Contoh negara berkembang yang terlibat dalam G20 seperti India, Brazil, Afrika Selatan termasuk Indonesia yang sampai kini masih terus berkutat dengan krisis ekonomi dan lingkungan. Jangankan berkontribusi terhadap negara yang bukan anggota, bahkan terhadap negara yang menjadi anggota pun tidak dirasakan dampak yang nyata.


G20 hanya menawarkan poin Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh IMF. RST ini merupakan dana yang dipinjamkan oleh negara-negara anggota IMF yang memiliki Special Drawing Right atau Hak Penarikan Khusus untuk negara-negara yang dinilai krisis dan membutuhkan. Mereka yang memberikan dana itu meyakini tidak akan menggunakan dana tersebut dalam waktu dekat sehingga bisa digunakan terlebih dahulu oleh negara lain. (Kemenkeu.go.id, 16/11/22).


Kesepakatan tersebut mungkin  terlihat sangat mulia dan bisa menjadi salah satu jalan keluar dari permasalahan negara-negara tersebut. Namun, jika diusut lebih jauh, apakah memang benar dana yang dihasilkan dari volunter negara-negara anggota IMF tersebut menjadi solusi bagi negara yang sedang krisis? Dalam sistem kapitalis seperti saat ini, asas yang digunakan adalah asas keuntungan. Maka, tidak mungkin negara-negara yang menyumbangkan dana tersebut murni hanya meminjamkan. Tidak ada yang gratis dalam sistem kapitalis. Tentunya, dana pinjaman tersebut memiliki bunga yang tidak sedikit, bahkan mungkin total angkanya bisa lebih besar dari dana awal. Pinjaman dana tersebut merupakan solusi sementara. Bahkan tidak bisa disebut solusi, karena menimbulkan permasalahan baru yang lebih pelik. Negara yang sedang krisis bukannya sembuh, justru semakin tercekik.


Terkait investasi atau penanaman modal asing memang membantu Indonesia dalam membangun infrastruktur. Namun, hanya sampai disitu kelebihannya, sisanya hanya dampak negatif yang didapatkan. Penanaman modal asing tentunya merupakan suatu bisnis besar yang menggiurkan. Karena pada dasarnya, keuntungan terbesar dari investasi negara asing dimiliki oleh negara yang menanamkan modalnya. Sebagai negara yang berinvestasi, mereka berhak untuk mengatur dan memberikan persyaratan yang akan menambah profit bagi negaranya. Sekali lagi, investasi adalah bisnis. Prinsipnya modal sekecil-kecilnya guna memperoleh hasil sebesar-besarnya. Maka pada akhirnya, Indonesia bukannya semakin untung, justru semakin buntung. 


Terlibatnya negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta merta membuat posisi dunia ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara. Skenario tersebut justru semakin menguras sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di lain sisi negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantungan pada hutang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.


Khatimah

Kesimpuannya forum G-20 hanyalah untuk memperkuat hegemoni negara adi daya dan kroni-kroninya di negeri-negeri Muslim yang kaya akan sumberdaya alam, tetapi mereka tidak menyadarinya bahkan merasa bangga dapat bergabung dengan forum G-20. Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia bukan saja terperangkap penjajahan Barat tetapi juga menjadi ujung tombak negara adi daya dalam merealisasikan agenda-agenda penjajahannya. Indonesia seharusnya menjadi pionir bagi dunia Islam dan melepaskan keterikatan dengan ideologi kapitalisme dan menggantikannya dengan ideologi Islam dengan syariat Islam sebagai aturannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raf Ayat 96, “ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Post a Comment

Previous Post Next Post