Owwer Vina Production, Mompreuner Peduli Ummat
Masih basah air mata masyarakat Cianjur akibat gempa yang menimpa mereka. Hilangnya 300 nyawa, puluhan orang belum jelas rimbanya, ratusan orang terluka, dan ribuan orang masih dalam pengungsian, belum lagi rusaknya fasilitas umum, serta kerugian materi yang tidak sedikit jumlahnya sangat dirasakan masyarakat Cianjur. Sudahlah miskin, bertambah pula kemiskinan dan penderitannya.
Sayangnya, ditengah derita masyarakat Cianjur yang masih berlangsung, justru digelar acara gempita di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) oleh gabungan Relawan Jokowi dengan tajuk “Nusantara Bersatu” pada hari Sabtu (26/11/2022). Menurut kabar dihadiri oleh lebih 100.000 orang. (kedaipena.com., 28/11/2022). Manager Direktur PEPS (Political Economy And Policy Studies), Antohony Budiawan mengatakan bahwa topik yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut tidak berkelas, tidak penting bagi bangsa dan negara. Sungguh sangat ironi. Kritik juga disampaikan oleh salah seorang oleh politisi PDIP, Masinton Pasaribu, yang menyampaikan bahwa acara itu terkesan ke arah hura-hura, yang sebenarnya tidak patut diadakan mengingat Cianjur masih menderita, berduka. (wartaekonomi.com, 30/11/2022)
Sungguh menjadi pertanyaan besar atas rasa empati dan peduli elit politik dan penguasa atas kondisi ini. Memang sudah menjadi tabiat pemimpin Kapitalis yang hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan melayani dan menyelesaikan persoalan rakyatnya. Tabiat ini muncul karena sistem mengarahkan bagaimana melihat manfaat sebagai orientasi kebijakannya. Pengauasa akan mencari peluang bagaimana menaikkan eskalasi kepemimpinannya dengan segala cara. Termasuk mengumpulkan relawan untuk mengusung suara mayoritas sebagai bentuk dukungan, akan lebih dipilih dibandingkan dengan mengurus korban bencana secara riil dengan turun ke lapangan bencana. Inilah bukti pencitraan yang dilakukan.
Sangat berbeda sekali dengan Islam, yang menggambarkan bahwa seluruh umat laksana satu tubuh, jika satu bagian tubuh merasakan sakit, maka tubuh yang lain akan merasakan sakit pula. Demikian pula umat, jika ada umat yang menderita akibat bencana maka itu pula yang dirasakan oleh umat yang lain, sehingga tergerak hati mereka bukan hanya untuk berempati tapi secara nyata membantu mereka yang menderita, ditambah dengan kepemimpinan seorang penguasa yang menjadi Junnah atau perisai bagi rakyatnya. Dengan segala daya upaya akan tampil menjadi pemimpin yang harus bisa menyelesaikan dan melindungi rakyatnya. Hubungan rakyat dan penguasanya harus saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (W.276 H) mengutip apa yang dikatakan oleh Kaab al-Akhbar Rahimahullah;
"Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah seperti tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya."
Seperti halnya yang disabdakan Rasulullah Muhammad SAW:
" Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasehati mereka kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka." (Shahih Muslim).
Seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab pada masa kepemimpinannya ketika terjadi bencana paceklik, sekitar bulan Dzulhijjah tahun 18 Hijriyah, yang terjadi kurang lebih selama 9 bulan. Kekeringan melanda wilayah Hijaz sehingga penduduknya kelaparan dan berbondong-bondong ke Madinah untuk mencari bantuan kepada Khalifah Umar. Khalifah pun sigap dan tanggap. Dengan mengambil dana di Baitul Mal atau kas negara, beliau membuat tungku dan posko bantuan makanan untuk 6000 warga. Belum lagi sikap tegasnya pada diri sendiri sebagai bentuk empati, bahwa beliau rela hanya makan roti dan minyak sampai kulitnya berubah menjadi kusam. Dan beliau menyampaikan “Aku sejelek-jelek kepala negara, apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan”. Beliau rela ikut merasakan kelaparan bahkan menolak daging, dan meminta kepada Aslam untuk membagikan daging tersebut kepada rakyatnya.
Inilah potret penguasa dalam Islam, yang tidak mementingkan eksistensi kepemimpinannya untuk terus berkuasa, tapi sebaliknya tampil sebagai sosok pemimpin sebenarnya yang benar-benar mengayomi, meyelesaiakan persoalan rakyatnya, dan berupaya keras supaya masyarakat dibawah kepemimpinanya sejahtera semata-mata dengan dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Post a Comment