(Aktivis Muslimah Balikpapan)
Ide kesetaraan gender telah lama digaungkan para pegiat gender. Mereka mengklaim sebagai pihak yang terdepan membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Dengan membawa semangat membebaskan perempuan dari diskriminasi, kemiskinan, kekerasan dan ketertindasan. Mereka hadir bak pahlawan yang menyelamatkan perempuan dari berbagai masalah yang mengukungnya.
Dengan dalih menghilangkan diskriminasi, ide kesetaraan gender kian masif diopinikan. Tak terkecuali di lingkungan kampus, PMII Unmul dengan gamblang mengatakan bahwa "kodrat" wanita dan laki-laki setara tanpa menghalangi laki-laki sebagai pemimpin. Apakah mereka menganggap jika kodrat tidak setara maka perempuan tidak memiliki hak menuntut ilmu hingga perguruan tinggi, tak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki meraih cita-cita?
Dikutip dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengatakan sangat diperlukannya peran para Akademisi dan Lembaga Riset dalam pengarusutamaan gender agar seluruh sivitas Perguruan Tinggi dapat menjadi perpanjangtangananan Kemen PPPA dalam menjangkau masyarakat luas, terutama melibatkan mahasiswa sebagai agen perubahan serta penerapan Tridharma Perguruan Tinggi dan manajemen kampus yang responsif gender oleh jajaran pimpinan Perguruan Tinggi. Bila kesetaraan gender dapat diwujudkan di Perguruan Tinggi, kesempatan perempuan sebagai pembuat keputusan dan menempati posisi strategis di kampus semakin meningkat dan terhapusnya kekerasan dalam kampus secara tuntas. (Kemenpppa.go.id)
Namun, benarkah jika perempuan diberi kesempatan dalam memberikan keputusan dan menempati posisi strategis kasus kekerasan dalam kampus akan tuntas?
Narasi Jahat Pegiat Gender Dibalik Ide Kesetaraan Gender
Para pegiat gender kerap menarasikan bahwa perempuan adalah pihak yang paling menderita akibat dominasi laki-laki. Mereka menuduh budaya patriarki yang lahir dari dogma agama adalah "biang kerok" atas persoalan kekerasan, pelecehan, ketidakadilan pada perempuan. Sehingga mereka menuntut diberi posisi yang strategis di lingkungan kampus agar persoalan perempuan bisa dituntaskan dengan perspektif gender.
Syari'ah Islam kerap dianggap sebagai "musuh" ide kesetaraan gender sebab ide ini tak kunjung berhasil. Padahal tak sepenuhnya benar karena kepemimpinan laki-laki atas perempuan yang menyebabkan perempuan mengalami kekerasan, pelecehan, ketidakadilan. Sejatinya masalah yang melingkupi perempuan karena penerapan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan yang "menuhankan kebebasan". Lihat saja stimulan seksual ada dimana-mana, serta minimnya ketaqwaan individu, ditambah sanksi yang tidak tegas sehingga wajar saat ini marak kasus perkosaan, pelecehan yang juga terjadi di dunia pendidikan.
Apalagi sekarang yang menjadi sasaran kesetaraan gender adalah muslimah muda yakni para mahasiswi. Dengan ide ini mereka ingin menggiring para muslimah meninggalkan identitas muslimnya menjadi sekuler serba permisif yang berasal dari barat. Ketika muslimah meninggalkan identitasnya akan mudah menerima ide-ide barat yang rusak dan merusak seperti muslimah enggan untuk menikah, freesex, aborsi, chidfree, friend with benefit (fwb), LGBT, dan konsumerisme. Ide-ide tersebut sudah menjadi gaya hidup masyarakat saat ini. Sangat bahaya jika para muslimah mengadopsi ide rusak tersebut, apalagi turut mengkampanyekan ide rusak tersebut. Alih-alih nasib perempuan menjadi lebih baik, justru makin memprihatinkan nasibnya. Justru jika ingin serius menuntaskan masalah kekerasan seksual di kampus dengan mencampakkan ide sekuler dan kesetaraan gender.
Islam Memenuhi Hak-hak Perempuan
Kesetaraan gender adalah ide yang usang dan mulai ditinggalkan wanita-wanita di barat. Sejatinya ide ini memang tidak lahir dari Islam, sudah selayaknya muslimah tak ikut mengadopsinya apalagi ikut mengkampanyekannya. Jauh sebelum ide ini lahir, Islam terlebih dahulu memenuhi hak-hak wanita dengan adil. Tanpa perlu menuntut setara dengan laki-laki, perempuan sudah hidup bahagia, sejahtera dan merasa dilindungi dengan syari'ah Islam.
Dari sisi biologis laki-laki dan perempuan memang karena memiliki fungsi yang berbeda. Perempuan secara fitrah memiliki kodrat haid, hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak. Sedangkan laki-laki kodratnya sebagai pemimpin bagi perempuan yang bertanggung jawab untuk menafkahi, melindungi dan mendidiknya. Sehingga dipundak perempuan tidak dibebani tanggung jawab mencari nafkah atau bekerja, meskipun bekerja dibolehkan dalam Islam selama kewajiban utamanya sebagai Al Umm Wa Robbatul Bait (ibu dan pengatur rumah tangga) dan Ummu Ajyal (ibu generasi) tidak terabaikan. Untuk menjaga peran strategis perempuan negara memiliki mekanisme:
1. Kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki yang menjadi wali atau penanggungjawabnya, yakni suaminya, ayahnya, saudara laki-lakinya. Negara memudahkan laki-laki untuk bekerja dan memberikan sanksi jika ada laki-laki yang mampu bekerja namun bermalas-malasan atau tidak mau bekerja. Kebutuhan finansial perempuan pun terpenuhi karena kewajiban suami atau wali menafkahinya dengan cara yang ma'ruf dan layak. Kewajiban memberikan nafkah tertuang dalam Al Qur'an "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. " (TQS. Al Baqarah:233).
2. Negara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk laki-laki, agar bisa memenuhi kebutuhan pokok, sekunder atau tersier. Negara memastikan setiap keluarga terpenuhi kebutuhan pokoknya setiap keluarga dengan mekanisme tidak langsung.
3. Negara memberikan santunan langsung bagi wanita yang sudah tidak memiliki wali (janda, anak kecil) juga tidak memiliki keluarga atau tetangga yang mampu menanggung beban hidupnya sehari-hari. Negara memastikan kebutuhan pokoknya terpenuhi. Negara mengambil dana dari pos Baitul mal.
4. Negara menjamin keamanan dengan menerapkan sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan, pelecehan, pencabulan.
5. Negara menjamin tidak hanya perempuan tapi laki-laki juga diberikan kemudahan mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Dengan menyiapkan fasilitas yang terbaik, terjangkau bahkan gratis.
6. Negara juga menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik, murah bahkan gratis.
7. Negara tidak boleh mengadopsi ide-ide yang bertentangan dengan Islam seperti ide-ide kebebasan, kesetaraan gender, konsumerisme. Segala media yang menyebarkan ide-ide yang rusak dan bertentangan dengan aqidah Islam akan dilarang. Media dalam Islam berfungsi sebagai sarana informasi dan edukasi daam rangka ketaqwaan kepada Allah.
Demikian mekanisme dalam Islam agar terpenuhi hak-haknya perempuan. Dengan pengaturan ini perempuan mampu menjalankan perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan ibu bagi generasi dengan optimal. Hanya dengan penerapan Islam kaffah hak-hak dan kewajiban perempuan bisa berjalan dengan baik dan melahirkan generasi cemerlang. Wallahu A'lam.
Post a Comment