Tragedi Kanjuruhan: Antara Fanatisme dan Represif

Oleh: Novalis Cinta Sari

Aktivis Muslimah

 

Lembaran baru bulan Oktober dibuka dengan tragedi yang menorehkan luka dan duka mendalam, terkhusus bagi penggemar dunia sepak bola. Sabtu, 1 Oktober 2022, stadion Kanjuruhan Kota Malang menjadi saksi atas cerita memilukan pada sebuah pertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Pertandingan diakhiri dengan skor 2-3 untuk Persebaya, yang merupakan tamu dari si tuan rumah Arema.

Kronologi tragedi ini dimulai dari kekalahan Arema yang ternyata menyulut kemarahan suporter di stadion Kanjuruhan. Mereka mulai berhamburan melontarkan protes ke tengah lapangan, lalu saat itulah aparat menyambut dengan perlakuan yang tidak manusiawi,  pukulan serta gas air mata dilayangkan. Mirisnya gas air mata tersebut tak hanya diarahkan ke lapangan, melainkan ditembakan pula ke arah sejumlah tribun penonton yang ada di stadion.

Tembakan gas air mata inilah yang diduga kuat memakan korban ratusan jiwa dalam tragedi ini. "Update data korban Kanjuruhan sampai pukul 8 pagi sebanyak 704 orang. 550 luka ringan, 23 luka berat, 131 meninggal dan 37 dirawat," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, drg Wiyanto Wijoyo (DetikJatim,08/10/22).

Hal ini pun memancing perdebatan tentang aturan resmi FIFA, sebagai federasi sepak bola internasional. Dalam pasal 19B FIFA Stadium Safety and Security Regulations "No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used (senjata api atau ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa atau digunakan)".

Aturan FIFA tersebut sudah sangat jelas menegaskan bahwa gas air mata yang dibawa oleh aparat saat pertandingan telah menyalahi prosedur, apalagi sampai ditembakkan di dalam stadion. Seharusnya kepolisian tak membekali anggotanya dengan gas air mata. Penembakan gas air mata dengan alasan sudah sesuai prosedur pun tak bisa diterima. Artinya, sejak awal ada niat dari kepolisian untuk mengesampingkan aturan FIFA.

Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan adalah potret buruk fanatisme golongan, yang sudah berulang terjadi, dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya. Banyaknya jumlah korban jiwa dalam peristiwa ini menjadikan tragedi Kanjuruhan sebagai tragedi sepak bola kedua terburuk di dunia, sudah tentu kondisi ini sangat memprihatikan. Berulangnya kerusuhan dalam pertandingan sepak bola seolah menunjukkan pembiaran negara atas hal ini.

Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Hal ini tampak pada penggunaan gas air mata, yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola. Inilah rezim dalam sistem demokrasi, penegasan komitmen untuk menegakkan HAM, justru dinodai oleh perilaku rezim itu sendiri yang represif terhadap rakyatnya. Dengan berdalih menjaga keamanan masyarakat, mereka justru merebut hak hidup rakyat. Kebijakan yang mereka buat pun telah mencabut untuk hak hidup aman tanpa rasa terteror dan terintimidasi baik dari sesama warga maupun penguasa.

Tragedi ini tak akan terjadi ketika fanatisme tak menjadi acuan dan aparat bertindak tepat dalam mengatasi persoalan. Yaitu hanya dengan menerapkan sistem Islam, kekuasaan digunakan untuk menerapkan syariat Allah SWT secara menyeluruh. Salah satu fungsi penerapan aturan Islam adalah menjaga jiwa manusia.

Menurut Islam, jangankan pembunuhan, menimpakan bahaya dan kesusahan kepada sesama saja diharamkan. Apakah menimpakan bahaya kecil atau besar, mengancam jiwa atau tidak, semua itu diharamkan oleh Allah Ta'ala. Apalagi jika pelakunya penguasa yang menimpakan kesusahan dan bahaya pada rakyatnya. Inilah penjagaan Islam agar rezim tak sewenang-wenang, zalim, diktator, dan represif terhadap rakyatnya.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post