Oleh Sri Purwanti
(Founder Rumah Baca Cahaya Ilmu)
Dewasa ini rasa empati semakin terkikis. Orang lebih memilih bersikap tidak peduli terhadap orang lain dengan berbagai alasan. Salah satu karena ada anggapan bahwa terlalu peduli akan mengesampingkan rasionalitas sehingga rawan tertipu. Padahal empati sangat penting untuk mempertajam fungsi sosial di tengah masyarakat.
Sungguh miris, beberapa kali kita temukan fakta ada orang meregang nyawa karena kelaparan.
Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia (11/11/2022), satu keluarga di Kalideres ditemukan tidak bernyawa. Hasil autopsi menunjukan tidak ada tanda kekerasan. Namun dari hasil pemeriksaan diduga mereka lama tidak mendapat asupan makanan dan minuman dalam waktu lama karena ototnya sudah mengecil.
Padahal negeri ini terkenal dengan kekayaannya yang melimpah. Mengapa semua ini bisa terjadi?
Jika kita telusuri banyak faktor munculnya sikap nirempati. Salah satunya sistem yang diadopsi negeri ini yang berdasarkan azas manfaat. Segala sesuatu diukur dari materi. Jika ada imbal balik yang akan diperoleh maka tak segan memberikan bantuan. Namun sebaliknya jika dirasa tidak akan memberikan manfaat mereka enggan mengulurkan tangan.
Sebagai seorang Muslim tentu kita tidak boleh terbawa arus, mengikuti gaya hidup seperti ini. Karena Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sikap belas kasih dan peka dengan kondisi sekitar, serta saling menolong dalam kebaikan.
Sebagaimana firman Allah
ÙˆَتَعَاوَÙ†ُوا۟ عَÙ„َÙ‰ ٱلْبِرِّ ÙˆَٱلتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ٰ ۖ ÙˆَÙ„َا تَعَاوَÙ†ُوا۟ عَÙ„َÙ‰ ٱلْØ¥ِØ«ْÙ…ِ ÙˆَٱلْعُدْÙˆَٰÙ†ِ ۚ ÙˆَٱتَّÙ‚ُوا۟ ٱللَّÙ‡َ ۖ Ø¥ِÙ†َّ ٱللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ ٱلْعِÙ‚َابِ...
Artinya: "...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS. al-Maidah: 2).
Dalam Islam, sikap empati berkaitan dengan tasamuh, toleransi, atau tenggang rasa. Maka sudah semestinya kita memelihara sikap empati sehingga memiliki kepekaan tinggi terhadap sesama.
Rasulullah saw. bersabda:
"Perumpamaan orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh tubuhnya juga akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam seorang pemimpin negara wajib memiliki sikap empati. Karena merekalah yang mendapatkan amanah untuk bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Hal ini seperti dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khaththab. Beliau tak segan memanggul sekarung gandum dan mengolahnya menjadi makanan ketika mendapati salah satu rakyatnya sedang memasak batu untuk menenangkan anaknya yang kelaparan
Seperti itulah cermin pemimpin dalam Islam. Mereka menyadari bahwa amanah kepemimpinan yang diembannya memiliki konsekuensi yang berat. Sebab, kepemimpinannya itu akan ddipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Pada masa kepemimpinan Umar juga pernah terjadi paceklik. Saat itu, wilayah Hijaz kering kerontang. Penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah. Mereka tak lagi memiliki bahan makanan sedikit pun. Mereka segera mengadukan nasib mereka pada sang khalifah.
Dengan sigap, Umar merespon kondisi rakyatnya. Beliau membagi-bagikan makanan mengunakan sumber dana dari baitul maal. Sehingga tidak ada lagi yang tersisa di gudang penyimpanan makanan maupun kas negara. Semua habis dibagikan pada rakyat yang membutuhkan.
Untuk menjadi pemimpin amanah yang tinggi empati membutuhkan rasa takut pada Allah Swt. Inilah yang tak mampu terwujud dalam sistem demokrasi berbasis sekuler saat ini. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sehingga umat semakin jauh dari ajaran agamanya. Menumbuh suburkan sikap cuek dan kehilangan rasa empati.
Lalu apakah kita harus bertahan dengan kondisi seperti ini? Ataukah bergerak untuk melakukan perubahan. Sehingga tidak lagi kita temukan berita ada orang meninggal karena kelaparan.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment