Oleh: Junari, S.I.kom
Berbagai perusahaan sepatu maupun tekstil dan perusahaan-perusahaan lainnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menyelamatkan industri dari resesi. Sehingga ada ribuan pekerja buruh yang mendapatkan gelombang PHK dan dirumahkan. PHK merupakan opsi terakhir yang ditempuh perusahaan.
Adapun alasan pihak pabrik melakukan PHK karena perusahaan tidak lagi mampu menampung pekerja sebab kebanyakan perusahaan yang menjadi tujuan ekspor mengalami kerugian dan perlambatan ekonomi. Seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI). Penundaan dan pembatalan ekspor pun dilaporkan terus terjadi, bahkan sudah ada yang mengalami pembatalan sampai 50%. (CNBC Indonesia, 06/11/2022).
Dijelaskan bahwa perlambatan ekonomi negara maju dipengaruhi oleh geopolitik dan perang di kawasan Ukraina yang memicu tekanan inflasi yang tinggi. Selain itu, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) diperkirakan lebih tinggi dengan siklus lebih panjang. (CNBC Indonesia, 06/11/2022).
Maka dari itu, dampak dari PHK massal meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Korban PHK tidak mampu lagi membeli dan memenuhi kebutuhannya. Sebab, sumber pemasukan utamanya telah tiada. Bahkan, efek dari PHK ini bukan saja kemiskinan melainkan angka kejahatan juga turut meningkat. Karena, orang orang yang tidak memiliki pekerjaan Akan mencari jalan pintas dalam memenuhi kebutuhannya. Seperti, mencuri, merampok, membegal, dll.
Alih-alih memberikan solusi atas membanjirnya PHK, penguasa malah terkesan tutup mata pada dampak kebijakan pabrik terhadap pekerjanya. Para pekerja yang di PHK dibiarkan terlunta-lunta dengan nasib yang tidak jelas. Negara juga tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang lain sebagai pengganti. Hal ini karena periayahan negara tidak totalitas pada rakyat. Melainkan negara kita menjadikan rakyat hanya sebagai mesin robot saja, upah yang didapatkan tidak sebanding dengan peluh yang dikeluarkan. Salah satu bukti bahwa penguasa saat ini tidak peduli terhadap masa depan rakyatnya termasuk para buruh yaitu dengan adanya UU Omnibus Law.
Pada awalnya, undang-undang ini diklaim akan menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan perlindungan tenaga kerja. Namun, faktanya undang-undang ini justru merugikan pekerja, mereka hanya diberikan pesangon 0,5 %.
Inilah buah kebijakan sistem kapitalisme yang lahir dari pemisahan agama dari kehidupan atau sekulerisme. Sehingga, penguasa dalam meneken kebijakan hanya menurut asumsi dan kemaslahatan diri mereka beserta koleganya. Ketika kebijakan dinilai mampu membawa keuntungan untuk pihak mereka maka itu akan diterapkan. Perihal kemaslahatan untuk rakyat tidak menjadi prioritasnya penguasa saat ini. Sebagaimana yang terjadi pada buruh yang bekerja di berbagai industri, mereka mau dapat pemutusan hubungan kerja atau apapun penguasa tidak peduli. Kembali lagi karena masa depan para buruh bukan menjadi prioritas penguasa.
Jadi, apapun bentuk kebijakan dari penguasa yang mengatasnamakan rakyat itu hanyalah alibi semata. Karena, buktinya tidak ada satu pun kebijakan penguasa yang benar-benar menguntungkan rakyat. Seperti adanya UU Omnibus Law itu hanyalah omong kosong. Demikianlah potret kegagalan kapitalisme dalam menjamin dan melindungi hak-hak pekerja
Tentu hal ini berbeda dengan negara Islam dalam naungan khilafah. Negara khilafah memiliki kebijakan yang dapat menjamin hak para pekerja. Dalam kepemimpinan Khalifah mengenai kebijakan antara perusahaan dan buruh dibangun dari kontrak kerja (akad ijarah), dimana kedua belah pihak harus saling rida dalam memenuhi perjanjian. Ikhtiar dalam perjanjian pun saling menguntungkan. Perusahaan mendapatkan keuntungan dari jasa pekerja, dan pekerja mendapatkan keuntungan berupa upah yang disepakati.
Adapun cara menetapkan upah atau imbalan yaitu upah seorang ajir (pekerja) adalah kompensasi dari jasa pekerjanya yang disesuaikan dengan nilai kegunaannya. Perkiraan jasa seorang pekerja untuk diberikan, untuk penentuan upahnya dikembalikan kepada ahli yang memiliki keahlian menentukan upah. Bukan negara, bukan pula kebiasaan penduduk suatu negara. Para ahli tersebut, ketika menetapkan upah tidak memperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja, dan tidak pula memperkirakan berdasarkan batas taraf hidup yang paling rendah. Tidak boleh juga mengkaitkan dengan harga barang yang dihasilkan. (Syekh. Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Al-Iqtishadiy Fil Islam).
Demikianlah kesempurnaan Islam dalam pengaturan urusan umat. Maka hanya dengan menerapkan Islam, segala kebijakan yang diterapkan oleh penguasa mampu menghantarkan kepada kemaslahatan umat. Dalam hal ini umat tidak ada pilihan lain untuk mengatasi problematika kehidupan termasuk nasib para buruh selain berharap pada Islam. Dengan kembali pada syariat akan memberikan kesejahteraan diantaranya kesejahteraan pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sebab hal ini diurus langsung oleh pemimpin Islam dalam bingkai khilafah dengan penerapan syariat secara kaffah.
Wallahua'lam Bishawwab.
Post a Comment