Pilih Kasih Dibalik Konser VS Kajian, Kepentingan Siapa?



Oleh Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Pendidik Generasi Khoiru Ummah

 

Pasca serangan Covid-19 melanda dunia, seolah rindu, kini banyak pihak mulai mengadakan acara-acara perkumpulan. Tak sedikit kasus peserta yang membludak karena kerinduan masyarakat pada event offline.

Salah satunya adalah Konser Dendang Bergoyang yang sedianya digelar selama tiga hari dari Jumat (28/10) sampai Ahad (30/10) di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Namun, akibat over kapasitas pengunjung, hari terakhir konser ini harus dihentikan oleh pihak kepolisian. (republika.co.id, 30/10/2022). Pada hari kedua konser, terdapat puluhan penonton yang pingsan. Ditemukan pula kericuhan dan saling dorong antar penonton yang mengakibatkan luka-luka. (tribunnews.com, 31/10/2022).

Tentu ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin aparat sampai kecolongan seperti itu? Apakah tidak ada pemantauan secara mendetail terkait perencanaan acara tersebut?

Pasalnya, dari awal penyelenggaraan event ini sudah dinilai bermasalah. Jumlah keramaian yang diizinkan oleh Polres Jakarta Pusat adalah 3.000 penonton, tetapi, pihak penyelenggara justru mengajukan sebanyak 5.000 penonton ke Dinas Parekraf dan Satgas Covid-19. Dan pada hari pertama justru membengkak hingga mencapai 20.000 penonton. (pojoksatu.id, 30/10/2022).

Lalu, pihak kepolisian meminta pihak penyelenggara untuk membatasi penonton hanya 10.000 untuk hari kedua, tetapi tetap tidak digubris. (tribunnews.com, 31/10/2022). Permintaan pengurangan jumlah panggung dari 5 menjadi 3 dan penambahan jumlah petugas kesehatan juga telah diberikan, tetapi tetap tidak diindahkan oleh pihak penyelenggara. (republika.co.id, 30/10/2022).

Sungguh kejadian yang mengherankan. Bukankah sedari awal, pihak penyelenggara yang tidak menaati aturan sudah dapat dikatakan bermasalah? Lantas mengapa acara tersebut tidak dihentikan sejak awal, bahkan masih diberi kesempatan di hari kedua?

Coba kita bandingkan dengan penyikapan atas penyelenggaraan acara islami. Sebelum acaranya berjalan, sudah dihadang terlebih dahulu. Pada bulan Oktober kemarin, acara Surabaya Islamic Festival yang diselenggarakan Hijrahfest batal dilaksanakan. Salah satu penyebabnya karena acara tersebut diduga digelar oleh beberapa orang yang diduga mendiskreditkan eksistensi negara. (cnnindonesia.com, 14/10/2022). Dengan kata lain, ditengarai adanya bibit-bibit radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. (era.id, 28/10/2022).

Sungguh miris. Standar ganda terjadi dalam pemberian izin suatu acara. Acara yang bernuansa senang-senang dengan mudahnya diberi panggung. Namun, acara keislaman selalu dicurigai dan dipersekusi. Seolah-olah, acara-acara islami yang diselenggarakan kaum Muslim cenderung bertindak tidak disiplin dibandingkan acara senang-senang. Padahal faktanya adalah sebaliknya. Acara islami justru kerap menghadirkan nuansa tertib dan menjaga generasi, daripada acara senang-senang yang justru membahayakan generasi.

Bisa kita lihat dari acara senang-senang seperti konser. Pelanggaran standar keamanan dengan mudahnya dilakukan. Juga menjadi jalan terbukanya berbagai kemaksiatan. Campur baur antara laki-laki dan perempuan bisa dipastikan terjadi, baik antara penyanyi maupun penonton. Belum lagi dari segi pergaulan diantara mereka yang dekat dengan maksiat. Pakaian-pakaian mereka juga tak sedikit yang membuka aurat.

Bahkan, pihak kepolisian juga menerima informasi terkait adanya minuman keras (miras) saat konser tersebut. Diduga, penjualan miras dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena pada saat acara berlangsung, ditemukan banyak penonton yang berbau miras. (news.detik.com, 30/10/2022).

Lantas, apakah acara senang-senang tersebut bisa dikatakan aman bagi generasi? Bukankah acara-acara seperti itu yang justru merusak generasi dan menjauhkan mereka dari jati dirinya sebagai hamba?

Upaya Mendiskreditkan dan Islamofobia

Adanya diskriminasi perlakuan ini menjadi bukti akan adanya penggiringan opini publik terhadap acara Islam. Secara tidak langsung, masyarakat akan menganggap bahwa acara Islam tidak perlu diikuti. Sebab, persekusi akan menimbulkan ketakutan dan keraguan pada acara kajian Islam, sehingga mereka akan menjauhinya.

Termasuk juga dengan adanya pelabelan atau penggolongan islam radikal. Ini adalah upaya pihak-pihak yang tidak menyukai islam, untuk menciptakan islamophobia ditengah-tengah umat. Membuat umat Islam semakin tidak bangga terhadap agamanya.

Adanya standar ganda dalam pemberian izin acara semakin menunjukkan bahwa sistem yang sedang eksis saat ini, yaitu sistem sekulerisme secara terang-terangan berusaha memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya diperbolehkan di tempat-tempat ibadah, sementara di ruang publik tidak boleh bernuansa agama. Acara-acara hiburan difasilitasi, sementara acara islami dipersekusi. Sistem ini berusaha melakukan segala cara untuk membendung berkembangnya ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat.

Padahal, sekularisme jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ  ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Kita diperintahkan berislam secara kaffah. Artinya, tidak bisa memilih-milih dalam ketaatan. Segala yang diperintahkan oleh Allah harus kita laksanakan semuanya, dan semua yang dilarang oleh Allah harus kita tinggalkan semuanya.

Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita bangga dengan agama kita. Jangan mau diperalat oleh stigma negatif atas ajaran Islam. Sebab, hanya Islam-lah yang mampu memberikan solusi atas segala problematika kehidupan. Serta, hanya dengan melalui penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah-lah generasi akan terlindungi dari opini-opini merusak.

Dengan penerapan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, generasi akan tumbuh menjadi orang-orang yang memiliki kepribadian Islam. Mereka akan selalu berpikir dan bersikap sesuai dengan syari’at. Tidak akan ada aktivitas-aktivitas yang membawa pada kesia-siaan dan maksiat seperti konser. Generasi lebih memilih untuk mendiskusikan problem-problem umat dan memberikan karya-karya terbaik untuk peradaban Islam.

Meski hari ini khilafah belum kembali ke tengah-tengah kita. Tapi kita harus selalu ingat akan kabar gembira Rasulullah ﷺ akan hadir kembalinya khilafah. Maka, upaya yang bisa kita lakukan saat ini adalah menyebarluaskan opini yang benar terkait ajaran Islam dengan berdakwah. Sebelum itu, tentu saja kita harus mengkaji Islam secara kaffah, agar memiliki mindset dan perilaku yang benar. Jangan sampai kita termakan isu-isu yang mendiskreditkan ajaran Islam dan pengembannya.
 

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post