Perempuan dan Politik



Oleh Liza khairina

Pemilu 2024 sebentar lagi bakal tergelar. Kontestasi lima tahunan ini selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Entah masyarakat bawah dengan serangan fajarnya, masyarakat menengah dengan sosialisasi amplop siangnya, maupun masyarakat atas dengan segudang modal dan janji kampanyenya.

Gambaran suasana ini sudah menjadi rahasia umum yang mewujud budaya pemilu di alam demokrasi kapitalis. Maka wajar, harapan kehidupan dan masa depan negeri masih ada pada tangan pemodal kapital.

Harapan hanya tinggal harapan, yang ada adalah kondisi dan keadaan mengenaskan setelah pemilu usai. Anehnya, berulangkali masyarakat sering dibuali. Berulangkali pula masyarakat selalu percaya dan empati.

Kaum perempuan memiliki peluang besar diterima pada seleksi panitia pengawas tingkat kecamatan (Panwascam) di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur untuk pemilihan umum mendatang. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu menyebutkan bahwa paling sedikit 30 persen dari kaum hawa. Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sendiri masih minim yang berminat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pesta demokrasi (koranmadura.com, 24/9/2022).

fakta ini adalah gambaran yang terkesan dipaksakan, bagaimana partisipasi perempuan selalu dilirik setiap ada lowongan pekerjaan, baik pekerjaan kasaran maupun halusan. Ini menunjukkan, cara pandang dan kebijakan negara demokrasi yang tidak menempatkan perempuan pada qadratnya, sebagai  pendidik yang harus dilindungi dan dijamin kebutuhannya.

Perempuan yang sifatnya lemah lembut selalu menjadi objek kapitalis karena bisa dihargai murah ketimbang laki-laki. Selain itu, perempuan sebagai perhiasan menjadi magnet yang mampu membuat semua mata tertuju dan memantik lakunya sebuah produk walau tanpa mutu. Itu kenapa, perempuan kerap menjadi ajang pajangan dalam bisnis menggiurkan. Dieksploitasi hak-haknya sebagai perempuan sehingga hilang dalam undang-undang perlindungan.

Apabila berbicara partisipasi, tentu harus ditempatkan sesuai kemampuan diri. Perempuan berpartisipasi adalah hal naluri sebagai wujud peduli, lebih-lebih dalam pengurusan umat dan politik. Sebab urusan umat tidak semua bisa dilakoni para laki-laki. Terkadang ada soalan privasi yang mengharuskan perempuan terjun mendampingi, maka di situlah partisipasi politik perempuan dibutuhkan. Karenanya, perempuan tidak sekadar dicipta dengan tugas insan rumahan. Tapi, menjadi publik figur yang siap memberikan pelayanan dan pengurusan sesuai kemampuan kodratinya. Dengan ketentuan tidak boleh melampaui batas, sampai-sampai perempuan dibuat asyik melayani publik kemudian menjadi lupa tanggung jawab dalam rumahnya, dalam hal ini adalah keluarga.

Seorang perempuan belia dalam tanggung jawab orang tua dan bertugas mengabdi pada keduanya. Sedangkan seorang ibu dan istri perannya selalu dinanti oleh suami dan anak-anaknya.

Dalam pandangan Islam, tugas perempuan ada dua: yang pertama pada area domestik sebagai "ummun wa rabbatul bait" yaitu ibu dan pengatur rumah tangga. Seorang perempuan dituntut melayani keluarga (suami dan anak-anak mereka), bertanggung jawab dalam pengurusan dapur, kasur dan sumur. Dalam hadits kepemimpinan.

Rasulullah saw. bersabda: "Seorang perempuan adalah pengurus (pelayan) yang bertanggung jawab di rumah suaminya."

Itu salah satu alasan kenapa seorang perempuan harus kuat, mempunyai kecakapan sebagai pengantin dan relasi bagi suaminya. Seorang hero yang menjadi teman, guru, koki bagi anak-anaknya. Dia harus senantiasa siap 24 jam memberi pendampingan guna terbentuknya generasi terbaik. Karenanya, perempuan harus dilindungi dengan dinafkahi dan dimuliakan dengan memperlakukannya seperti ratu. Pesan Kanjeng Nabi saw, "Sebaik-baik kalian (para suami) adalah yang berbuat baik pada istri-istri kalian."

Kedua, perempuan punya tugas publik. Bertemu para perempuan lainnya bersama-sama dalam tugas dakwah, mencerdaskan umat akan Islam. Dalam Al-Qur'an Allah Swt. menyamakan derajat perempuan dengan laki-laki  mukmin dalam upaya berbuat baik; baik hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri maupun dengan manusia lainnya.

Jika mempunyai keahlian dalam bidang jasa, maka Islam membolehkan mengambilnya dengan memberi rambu-rambu agar dalam batas syariah dan tidak sebagai tulang punggung keluarga. Penghasilannya menjadi sedekah yang membungakan hati suami dan anak-anaknya, juga saudara dan tetangga dekatnya. Sebagaimana istri Nabi saw. Siti Zainab yang memiliki keahlian berdagang rantai. Dengan penghasilannya itu beliau dikenal sebagai "ahlu yatama wal fuqara" karena memberikan sebagian kekayaannya untuk membantu mereka yang kekurangan.

Jika partisipasi perempuan diartikan pada kondisi keterlibatannya dalam panita pemilu tidaklah tepat, juga tidak menguntungkan perempuan baik secara materi maupun nonmateri. Karena kepanitiaan pemilu mengharuskan perempuan banyak keluar dan ikhtilath dengan laki-laki untuk tugas administrasi dalam masa cukup panjang, yang sejatinya tidaklah penting dalam menentukan pemimpin masa depan ketika basisnya adalah kapitalisme.

Perempuan menjadi terkesan dimanfaatkan untuk sesuatu yang tidak membawa maslahat bagi umat. Sifat lemah lembutnya terlalu naif bila diukur dengan isi dompet. Aura perhiasannya terlalu murah bila harus dinikmati semua mata laki-laki yang bukan mahromnya. Bahkan, kecerdasan dan keahliannya menjadi mubadzir jika harus meninggalkan tugas rumah bersama keluarganya yang itu menjadi istana penuh pahala dan kebaikan di dunia maupun di akhirat.

Dengan demikian, Islam telah menggariskan sebuah aturan yang fitrah bagi perempuan. Ketentuan bolehnya terlibat dalam konstelasi politik, bahkan menjadi wajib terlibat di dalamnya jika hal itu terkait dakwah. Mengedukasi umat dan muhasabah lilhukkam (mengkritisi kebijakan pemerintah) agar pengurusan umat tetap berada dalam rel agama dan ketaatan.

Dalam Al-Qur'an seruan mengajak kepada kebenaran begitu bertebaran. Salah satunya dalam Surat an-Nahl 125 yang artinya: "Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdialoglah dengan cara yang lebih baik." Ayat ini adalah khithab (seruan) yang tidak hanya ditujukan pada para laki-laki, tapi juga disampaikan dan berlaku bagi kaum sebelahnya, yakni para perempuan. 

Wallahu a'lam bishawwab 

Post a Comment

Previous Post Next Post