Ditulis : Tika Kartika A.md.
(Ibu Rumah Tangga & Aktivis Dakwah)
Beberapa hari yang lalu Korsel/Korea Selatan mengalami masa berkabung atas terjadinya tragedi dari perayaan pesta Halloween yang digelar pada sabtu malam 29 Oktober 2022 yang lalu. Perayaan ini mengakibatkan ratusan jiwa orang meninggal dan puluhan orang luka-luka diakibatkan kerumunan besar sehingga menyebabkan orang-orang berdesakan sampai sulit untuk bernafas, disebuah gang sempit di itaewon.
Tragedi Itaewon ini menyebabkan duka besar bagi seluruh negara salah satunya indonesia. Presiden joko widodo (jokowi) ikut menyampaikan belasungkawa melalui akun Twitternya (30/10/2022). Pak Jokowi menyatakan bahwa indonesia bersama rakyat korea selatan sangat berduka pak jokowi berharap korban yang terluka bisa segera pulih. Nasional.Kompas.com.
Ungkapan dari penguasa itu memang benar dan manusiawi. Akan tetapi sebelum terjadinya tragedi Halloween di Korea Selatan, beberapa hari yang lalu publik digemparkan oleh terjadinya tragedi Kanjuruhan di Malang yang juga sama-sama memakan korban dalam jumlah yang besar. Namun mirisnya, sikap dan empati dari penguasa jauh berbeda pada saat tragedi kanjuruhan. Penguasa justru malah saling lempar tangan dan penegak hukum saling menutupi karena kesalahannya atas kasus ini. Bisa kita lihat, penguasa seolah-olah lebih peduli pada rakyat negeri lain dibandingkan nasib rakyatnya sendiri. Padahal, selain dari ketidakseriusan dalam menangani kasus ini ada yang harus diperhatikan juga bahwa kebanyakan korban yang meninggal adalah anak muda, dimana anak muda itu adalah salah satu aset negara untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya. Apa jadinya negara tanpa pemuda ?
Di saat ini perayaan-perayaan seperti ini banyak disukai oleh beberapa kalangan termasuk anak muda. Namun dari perayaan seperti itu tidak sedikit banyak orang-orang yang melakukan kemaksiatan diantaranya seperti minum miras, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, berzina, bahkan sampai ada yang berjudi. Mereka melakukannya dengan sadar dan hanya untuk mencari kesenangan saja. Mirisnya di zaman seperti sekarang, perayaan-perayaan seperti itu dibiarkan bahkan justru difasilitasi oleh negera sehingga menyebabkan akidah dari sebagian umat muslim hilang, bahkan hingga banyak dari mereka merasa malu mengakui bahwa mereka adalah seorang muslim.
Kita lihat dari kaca mata Islam bahwa selain dari perayaan ini tidak dapat memberikan manfaat bagi masyakarat khususnya kaum muslim, perayaan inipun merupakan bagian dari perayaan orang kafir maka hal ini menjadi perkara dosa besar bagi pelakunya termasuk bagi orang-orang yang memfasilitasinya. Maka disini jelas, tugas seorang pemimpin sangatlah vital dalam menyikapi soal perayaan, terutama dalam membentuk karakter masyarakat terkhusus pemuda sebagai tonggak peradaban.
Ketiadaan pemimpin/Khalifah dalam naungan Sistem Khilafah maka Kebebasan dalam melakukan aktivitas salahsatunya perayaan asing yang merupakan buah dari pemahaman sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) adalah hal yang lumrah dan biasa, sehingga dari sinilah faktor yang menyebabkan masalah demi masalah tidak bisa terselesaikan bahkan bisa jadi menimbulkan masalah lain. Hal ini karena pemahaman ini bukanlah berlandaskan dari ajaran Islam yang menentramkan melainkan adalah pemahaman dari orang-orang yang membenci terhadap ajaran islam. Maka dari itu, pentingnya kita sebagai umat muslim dalam memilih seorang pemimpin/Khalifah serta wajib hukumnya dalam menegakkan negara khilafah. Ketiadaan negara khilafah menyebabkan kita tidak bisa memilih pemimpin/khalifah yang amanah, adil dan menerapkan syariat islam secara Kaffah.
Wallahu’alam bish-showab
Post a Comment