PENGANUGERAHAN GELAR DOKTOR HC, BUKTI KAMPUS TERSANDERA POLITIK BALAS BUDI

Oleh: Arbiah, S.Pd

Demo mahasiswa mewarnai pemberian gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Aksi demo diam ini dilakukan di depan gedung Auditorium Kampus Unnes, Semarang, tempat prosesi pemberian gelar berlangsung.

Massa aksi yang mengatasnamakan Mahasiswa Unnes menggugat ini, menganggap pihak Unnes mengobral gelar Doktor Honoris Causa kepada sejumlah pejabat dan politisi. Mereka dinilai tidak memiliki latar belakang dalam berkontribusi jasa dan karya luar biasa. Sebelum Moeldoko, ada nama Nurdin Halid dan Airlangga Hartarto yang diberikan gelar Doctor Honoris Causa di kampus itu. (CNN Indonesia, 20/10/2022).

Pemberian gelar doktor HC menuai protes karena tidak nampak nyata adanya sumbangsih luar biasa terhadap ilmu dan negara. Beberapa kejadian serupa telah terjadi di Unnes sehingga dianggap mencederai lembaga pendidikan tinggi.

Beberapa tokoh politik seperti Megawati, SBY, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Jusuf Kalla dan sekarang Moeldoko mereka adalah tokoh politik yang sama-sama memiliki gelar doktor kehormatan atau Honoris Causa (Dr. HC). Secara prosedur yang benar untuk mendapatkan gelar tersebut tidaklah mudah karena harus disetujui beberapa pihak. Namun, sayang pemberian gelar Honoris Causa justru banyak dijadikan alat untuk balas budi, bangun koneksi hingga perjanjian politik. Hasilnya kredibilitas dan integritas sebuah perguruan tinggi bisa tercoreng.

Selain itu, pemberian gelar segampang itu jelas tidak adil bagi orang-orang yang setengah mati studi doktoral. Belum lagi yang belajarnya harus di luar negeri. Bukankah gelar Honoris causa diberikan atas kontribusi akademik yang jelas terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan. Kalaupun kekeh memberikan gelar kepada perguruan tinggi dan politikus harus komitmen untuk tidak memanfaatkan kesempatan ketika momen politik.

Di sisi lain, di unnes beberapa kali terjadi dosen atau mahasiswa yang dicopot karena dianggap menghina presiden. Berbagai peristiwa tersebut seolah menggambarkan perguruan tinggi tersandera politik balas budi terlebih dengan ketentuan rektor dipilih oleh Presiden.

Wajarlah gelar itu diberikan ya atas dasar ucapan terimakasih atas pengangkatan rektor begitulah kiranya. Tetapi yang menjadi pertanyaan layakkah mereka mendapatkan gelar itu, seberapa banyak prestasi mereka, seberapa banyak dedikasi mereka terhadap pendidikan, dan seberapa banyak kontribusi mereka terhadap ilmu dan negara? Kalaupun jawabannya tidak ada, lalu pantaskah mereka mendapatkan gelar tersebut?

Dalam masalah ini menjadi bukti integritas akademik mudah untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan para petinggi. Fakta ini wajar dan logis terjadi dalam sistem kapitalisme yang menjadikan manfaat sebagai asas perbuatan. Terlebih ada ketentuan rektor dipilih oleh presiden. Maka tak heran jika perguruan tinggi pun tersandar politik yang memuluskan kepentingan orang-orang tertentu. Gelar kehormatan rawan menjadi instrumen balas budi, ajang membangun jaringan dan perjanjian politik.

Inilah salah satu kesalahan terbesar dari demokrasi yang dengan mudah memberikan gelar kepada orang yang memiliki kekuasaan dan jabatan tanpa mempertimbangkan layak dan tidakkah mereka mendapatkan gelar tersebut. Sedangkan orang yang mati-matian belajar, berkorban untuk integritas kampus malah tidak dipandang dan diperhatikan.

Miris kekuasaan dan jabatan tinggi di prioritaskan tetapi yang kompeten tidak dilirik. Para elit politik mudah meraih gelar doktoral tetapi tidak memiliki latar belakang dalam berkontribusi jasa dan karya luar biasa.

Berbeda dalam Islam, integritas sangat dijunjung tinggi terlebih dalam pemberian gelar. Karyalah yang menjadi ukuran sumbangsih nyata ilmuwan terhadap kehidupan. Sebab sebuah gelar adalah representasi keilmuan dipertangungjawabkan di akhirat.

Oleh karena itu, kampus atau ulama terpercaya tidak akan mudah memberikan gelar kecuali mereka memang memenuhi persyaratan tersebut. Bahkan, sebuah gelar akan mudah dicopot ketika si pemilik gelar melakukan pelanggaran syariat dan mencederai keilmuan mereka. Sehingga publik bisa mendapati betapa banyak karya yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim pada masa khilafah. Karena, mereka amanah dengan gelar mereka dan konsisten menyumbangkan ilmu mereka untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim.

Khilafah sebagai institusi negara juga memberi perhatian kepada mereka seperti khalifah Abu Ja'far Abdullah Ibnu Muhammad Al-Mansur khalifah kedua Abbasiyah. khalifah yang mengalokasikan dana sangat besar untuk proyek penerjemah karya astronomi dari periode klasik (Yunani-Romawi) demi kepentingan kaum muslimin.

Dari Abu Ubaid al-Qasim Bin Salam terdapat kisah menakjubkan bersama Abdullah bin Thahir tentang sikap para penguasa terhadap kecerdasan para ilmuwan yang memuliakan orang-orang jenius diantara mereka. Ketika Abu Ubaid al-Qasim Bin Salam menulis kitab Hurip al-hadis dan menunjukkan kepada Abdullah bin Thahir lalu ia memujinya seraya berkata, "orang yang berakal telah mengutus sahabatnya untuk menulis kitab ini sebagai kebenaran supaya tidak menyeleweng dengan mencari penghasilan". Lalu dia diberi upah setiap bulannya 10.000 dirham.

Tak hanya itu, para khalifah kaum muslim juga memuliakan para ilmuwan dengan memberikan hadiah-hadiah besar dan pemberian yang sangat banyak dengan tujuan agar mereka bersemangat dalam menyalurkan karya dan berlomba dalam ilmu pengetahuan.

Hadiah-hadiah itu dalam bentuk yang hampir mendekati khayalan misalnya dengan memberikan emas sesuai berat timbangan kitab yang diterjemahkan dari bahasa selain Arab, ada juga yang memberikan emas kepada seorang alim yang meluangkan waktunya untuk menerjemahkan kitab. Semua diberikan untuk merangsang gerakan menerjemah kitab dan memindah ilmu-ilmu yang menakjubkan yang bisa membawa pengaruh dan manfaat bagi kaum muslimin. (Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam).

Sementara para politikus dan penjabat dalam khilafah juga tidak haus gelar kehormatan demi meraih kedudukan. Islam memandang jabatan adalah sebuah amanah yang harus diberikan kepada orang-orang yang mampu dan memiliki kapasitas atas jabatan tersebut. Selain itu kepribadian politikus dalam pola pikir dan pola sikap mereka harus sesuai dengan Islam.

Wallahu'alam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post