(Komunitas Sahabat Hijrah, Balut-Sulteng)
Kasus penganiyaan kembali terjadi. Kini dilakukan oleh seorang suami kepada istri dan anaknya di Depok, Jawa Barat yang berujung pada kematian anak perempuan. Hal ini diungkap oleh Anggota Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat.
"Komnas Perempuan memandang pembunuhan terhadap anak perempuan merupakan kekerasan berbasis gender yang ekstrem sebagai puncak dari kekerasan dalam rumah tangga," kata Rainy Hutabarat (republika.co.id, 5/11/2022).
Pandangan tersebut menggambarkan garis merah pada puncak kekerasan yang berasal dari dinamika gender yang ekstrem. Gender dianggap sebagai pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Maka tak heran, jika problem rumah tangga seringkali dikaitkan dengan keadaan gender yang tidak setara maupun pada status gendernya.
Penyalahan kekerasan pada gender juga tak bisa dibenarkan. Pasalnya, kekerasan juga sering ditemukan pada sesama gender, bahkan jauh lebih berbahaya.
Selain itu, status gender juga seringkali dianggap sebagai momok terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Sebagian menilai bahwa kaum laki-laki kian otoriter dalam mengayomi keluarga. Mereka dinilai makin adi daya terhadap keluarga. Maka, keluarlah narasi kekerasan berasal dari gender.
Anggapan ini menghantarkan pada penawaran kesetaraan gender di tengah lingkungan keluarga. Kaum wanita diminta turut andil dalam pemerataan gender. Kesetaraan gender merupakan langkah awal pencegahan kekerasan gender. Kaum wanita khususnya seorang istri akan menyamakan bentuk aktivitasnya dengan suami. Jika sang suami bekerja, maka istri pun harus bekerja. Jika suami bisa menjadi kepala keluarga, maka istri pun bisa menjadi kepala keluarga. Jika suami biasa otoriter, maka istri juga bisa otoriter.
Tanpa sadar, kesetaraan genderlah yang menjadi celah retaknya institusi keluarga. Suami dan istri akan saing menyaing satu sama lain, membuktikan siapa yang memiliki kedudukan lebih tinggi di antara mereka. Alhasil, sang istri tak lagi menjalankan perannya secara produktif sebagi pengurus urusan rumah tangga yakni mendidik anak dan menciptakan kenyamanan bagi suami. Inilah bahaya dari kesetaraan gender yang digaungkan Barat hari ini.
Semua ini impak dari paradigma penerapan kapitalisme sekularisme, memandang problematika hanya pada satu arah dan melalaikan arah yang lain. Sistem lahir dari pemisah antara agama dengan kehidupan, aturan maupun solusi distandarkan pada akal dan spekulatif manusia. Sehingga tak jarang keputusan maupun kebijakan tak menyentuh titik persoalan dan seringkali bersifat apatis. Pasalnya, negara tidak begitu sigap mencari tau pemicu dari tindak kekerasan.
Tak dapat dimungkiri, kekerasan bisa tejadi karena individu yang jauh dari ketaatan, himpitan ekonomi, status sosial yang meresahkan, adanya kesetaraan gender dan lain sebagainya. Karena tak sanggup mengendalikan semua itu, maka kekerasan menjadi pilihan terakhir.
Oleh karena itu, dibutuhkan peran negara dalam memandang problematika secara jeli, bukan malah sebaliknya menawarkan solusi yang justru membuka kran masalah baru, seperti halnya kesetaraan gender. Sehingga, negara harus melepaskan diri dari jeratan kapitalisme sekularisme hari ini.
Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam
Secara faktual, laki-laki dan perempuan telah diciptakan dengan kesempurnaan gendernya masing-masing. Dalam hal pengelompokan gender, manusia telah diberikan gambaran fungsi laki-laki maupun perempuan. Laki-laki telah diperuntukan pada bidangnya begitupun perempuan. Sehingga, problem kekerasan yang terjadi hari ini sebenarnya difaktori secara sistematik oleh keadaan hidup yang jauh dari aturan yang benar.
Dalam Islam, kesetaraan gender bukanlah langkah pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Islam menyadari dampak buruk kesetaraan gender bagi keutuhan keluarga. Sebab, kesetaraan gender merupakan produk feminisme dalam menghancurkan ketahanan keluarga. Hanya saja, kesetaraan gender hari ini dibungkus dengan anggapan menyelamati hak wanita dan mencegah tindak kekerasan.
Dampak negatif keseteraan gender pada wanita adalah hilangnya peran ibu dalam mendindik generasi muslim. Seorang ibu akan disibukan dengan aktivitas yang menyamaratakan posisi dengan sang suami, mengalihkan kefokusan dari peran mulianya.
Oleh karena itu, Islam punya cara lain dalam menjaga keutuhan keluarga diantaranya, membangun pondasi rumah tangga berasaskan akidah Islam. Hukum keluarga akan ditentukan berdasarkan ketentuan syariat. Ketaatan menjadi respresentasi dari akhlak dan tindakan. Mereka akan dipenuhi keharmonisan dan ketenangan. Masing-masing pasangan dengan mudah memahami tugas dan tanggung jawab antar keduanya, tidak akan ada yang saling tindih-menindih dalam berbagai urusan.
Dalam ketaatan, sang suami telah dibekali cara memuliakan sang istri, begitu pula sebaliknya. Sang istri diminta untuk menjaga hak suami, menciptakan kenyamanan, dan senantiasa menumbuhkan rasa cinta. Selain itu, sang suami juga diminta untuk menjaga sang istri, tidak menyakiti baik secara fisik maupun batin. Ketika istri melakukan kesalahan maupun pembangkangan, maka sang suami diminta melakukan beberapa cara, diantaranya,
Pertama, menasehati sang istri atas kesalahan yang dilakukan. Namun, apabila tahap ini sudah dilakukan oleh suami dan sang istri belum ada perubahan. Maka, tahap kedua adalah pemisahan ranjang diantara keduanya. Namun, apabila tahap kedua juga tidak memberikan perubahan, maka terakhir sang suami boleh memukul istri, dengan syarat tidak memukuli bagian vital tubuh dan pukulan yang diberikan tidak membekas dan menyakiti. Sehingga, tidak ada lagi tuduhan Islam melentarkan hak kaum wanita.
Ketika suami melakukan kekerasan dan melanggar ketentuan syariat yang sudah ditetapkan, maka sang istri berkewajiban melaporkan kasus tersebut kepada aparatur keamanan negeri. Negara yang akan bertugas menentukan sanksi kepada pelaku.
Dalam Islam, kekerasan termasuk perilaku menyakiti tubuh yang tidak diperbolehkan. Sang suami akan diberikan hukuman berdasarkan jenis kekerasan yang dilakukan, hukuman yang paling berat adalah hukuman mati. Hukuman dalam Islam bersifat jawabir dan zawabir.
Inilah aturan sistematik dari Islam dalam mengurusi problematika keluarga dan memberikan hukuman bagi pelaku. Oleh karena itu, keseteraan gender tidak memiliki tempat di dalam Islam.
Alhasil, umat harus menyadari bahwa hanya Islam yang komprehensif dalam menentukan aturan dan hukum. Sebab, berasal dari Allah Swt. Tuhan pencipta alam semesta dan isinya. Maka, sangat keliru apabila Islam hanya dianggap sebatas ibadah spritual.
Wallahualam bissawab
Post a Comment