Oleh : Fransiska, S.Pd.
(Aktivis Dakwah)
Pelayanan kesehatan merupakan hal yang penting bagi masyarakat. Maka dari itu negara memiliki peranan dalam menyediakan fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Pengadaan RSUD di masing-masing daerah perlu dilakukan dengan fasilitas dan pelayanan yang baik.
Namun, kemarin ada salah satu ormas Islam yang baru membangun rumah sakit swasta di Kabupaten Bandung. Kamis 3 November 2022, Bupati Bandung Dadang Supriatna meresmikan berdirinya Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung Selatan atau RSMBS yang berlokasi di Jalan Raya Laswi Desa Ciheulang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung (Dara.co.id/03/11/22). Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi mengungkap alasan Muhammadiyah hadir untuk membangun negeri, lebih-lebih masyarakat dari bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, gerak komunitas. Menurutnya, Muhammadiyah ingin mengaktualisasikan Islam sebagai ajaran yang membawa kebaikan untuk semesta alam raya. “Makna dari kehadiran Muhammadiyah itu bahwa Islam adalah nilai yang konstruktif bagi kehidupan. Termasuk, kita ingin nilai-nilai agama itu mampu membangun peradaban maju (suaramuhamadiyah.com/05/11/22).
Negara merasa terbantu dalam bidang kesehatan dengan dibangunnya Rumah Sakit Swasta. Karena dengan ini berarti pelayanan kesehatan semakin bertambah.
Namun dalam Islam sendiri seharusnya pelayanan kesehatan ini dilakukan oleh negara. Karena Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi Kaya-miskin ataupun Penduduk kota dan desa.
Institusi Khilafah yang dipimpin Khalifah adalah penanggung jawab layanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara mandiri. Itu adalah tanggung jawabnya. Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi saw. (sebagai kepala Negara Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Hal ini merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan Negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta).
Pada masa penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni. Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya belum sembuh tanpa dipungut biaya apapun. Pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma) bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya. Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya. Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/143).
Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh Negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab Negara. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ
Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Wallahu'alam bishawab
Post a Comment