Palestina Derita Tanpa Henti

Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah

Every day we tell each other That this day will be Will be the last and tomorrow We all can go home free And all this will finally end Palestine tomorrow will be free Palestine tomorrow will be free No mother, no father to wipe away my tears That's why I won't cry (Maher Zain: Palestine)

Lirik lagu di atas seolah menjadi momen yang diimpikan warga palestina yang menginginkan sebuah kebebasan. Tentu siapapun yang terjajah pasti menginginkan kebebasan, merasakan hidup tenang, dan kehidupan yang penuh dengan kedamaian.

Namun, mengharapkan kebebasan di sistem kapitalisme saat ini sangatlah mustahil, sudah beberapa tahun masyarakat palestina berjuang sendirian untuk meraih kemerdekaan. Dan hal ini bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa bangsa Israel hingga kini masih terus menyerang Palestina.

Menurut pantauan PBB, ada lebih dari 500 serangan pada tahun ini hingga 10 Oktober, orang-orang Israel menyerang, memukul, melempar batu, menghancurkan rumah-rumah penduduk, menggunakan bom gas air mata, bahkan mereka menggunakan senjata api. Serangan itu dilakukan oleh pemukim Israel yang bengis atau tentara yang ada di sana. Selain menyerang di jalan-jalan, mereka pun tidak ragu melakukannya di sekolah, seperti di Sekolah Menengah Anak Laki-Laki Huwwara pada 4 Oktober silam.

Kepala sekolah Abdulhameed Shehadeh memastikan keamanan kepada 350 murid-muridnya setelah mendapatkan serangan kekerasan. Bahkan salah satu pemukim mengarahkan pistol kepada guru dan murid. Beliau mengatakan “"I fear for the lives of my students,” kata kepala sekolah berusia 53 tahun, yang menghadapi para pemukim selama serangan itu. (www.aljazeera.com, 19/10/22).

Bahkan di bagian tepi barat tepatnya Khirbet al-Fakheit, warga Palestina yang singgah di sana pun mendapatkan pengusiran yang dilakukan oleh bangsa Israel, ratusan warga Palestina mencoba tinggal kembali ke bentuk perlindungan yang lebih tua yaitu, tinggal di gua bawah tanah.

"Kami tidak punya rumah untuk ditinggali dan tidak ada tenda. Kami tidak punya pilihan selain tinggal di gua". Kata Wadha Ayoub Abu Sabha yang berusia 65 tahun merupakan seorang penduduk desa Khirbet al-Fakheit, di daerah pedesaan Israel, tepi Barat yang diduduki yang direncanakan militer akan direbut. (www.nytimes.com, 19/10/22).

Nasib warga Palestina terus saja didera kesusahan, dan terus dalam ancaman keselamatan, termasuk pengusiran. Bahkan warga Palestina yang berada di luar Palestina pun masih diburu Israel. Persoalan Palestina tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas karena tidak ada kekuatan yang membela perjuangannya. Kalau pun ada yang menolong itu hanya sekadar membawa nama pribadi atau kelompok tertentu, bantuan yang sering diberikan juga hanya sekedar kebutuhan domestik, sandang, pangan, ataupun tenda. Jika pun misalnya ada negara yang turut membela, mereka hanya sekadar bisa memberikan kecaman saja kepada bangsa Israel. Dan solusi yang ditawarkan pun tidak lepas dari arahan PBB.

Coba kita perhatikan PBB siapa yang mendirikan? Siapa pendukungnya? Dan siapa pula bangsa Israel itu? Nah disitu kita perlu melihat sebelum mengharapkan kemerdekaan untuk Palestina kepada PBB.

Dulu sejarah mencatat bahwa Palestina adalah tanah milik kaum muslim, uskup pernah menyerahkan kunci baitul maqdis kepada khalifah Umar bin Khattab, setelah penyerahan itu diikuti dengan perjanjian Umariyah pada tahun 637 Masehi. Sejak saat itu, Palestina resmi menjadi wilayah Islam. Namun Pada tahun 1095 Masehi berlangsung Perang Salib di Palestina, karena provokasi Paus Urbanus II demi kepentingan penjajah Prancis. Kemudian dibebaskan oleh Shalahudin al-Ayyubi.

Semenjak pembebasan ini, Palestina menjadi milik kaum muslim dengan status sebagai tanah kharajiyah. Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Theodor Herzl mencoba mengambil Palestina. Namun, saat itu khalifah Abdul Hamid II tegas menolak permintaan Herzl.

Tapi, semenjak daulah Islam berhasil di runtuhkan pada tahun 1924 Masehi, ideologi Islam di singkirkan dan digantikan oleh ideologi sekuler, yakni ideologi komunisme/sekularisme. Wilayah daulah Islam pada saat itu dibagii-bagi menjadi beberapa bagian, setelahnya mereka menanamkan sekat-sekat nasionalisme kepada masyarakat pada saat itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh ketika pola pikir umat mulai merosot. Saat itu, naluri mempertahankan diri berperan mendorong mereka mempertahankan negerinya dan menggantungkan diri. Ikatan nasionalisme ini tergolong ikatan yang paling lemah, kenapa bisa dikatakan lemah? Karena ikatan nasionalisme ini senantiasa sifatnya emosional. Ikatan semacam ini muncul ketika ada ancaman dari pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukan suatu negeri. Walau demikian negeri-negeri lain tidak boleh ikut campur terhadap urusan bangsa lain. Di sinilah rendahnya nilai ikatan ini.

Ikatan nasionalisme ini seperti belenggu yang menjadi racun menghalangi kaum muslim untuk membela penderitaan saudara seakidah di belahan negeri lain. Dengan paham nasionalisme ini mereka tidak lagi menganggap masalah Palestina sebagai persoalan dunia Islam, tetapi hanya problem rakyat Palestina sendiri.

Rasulullah Saw. pernah mengatakan dalam sebuah hadits, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari No. 6011 dan Muslim No. 2586)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda, الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Permisalan seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu seperti bangunan yang menguatkan satu sama lain.” (HR Bukhari No. 6026 dan Muslim No. 2585).

Dalam dua hadits di atas menggambarkan bahwa hubungan kaum muslim, di mana saja berada, meskipun berasal dari berbagai suku, ataupun bangsa selama memegang akidah yang sama, yaitu Islam, mereka adalah saudara. Kaum muslim hendaknya saling membantu, membela, dan memperhatikan setiap kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi. Oleh karena itu seyogianya seluruh kaum muslim di dunia ini menganggap masalah Palestina sebagai problem yang wajib diselesaikan bersama.

Tidak bersatunya sikap para pemimpin muslim di berbagai negeri dalam memandang permasalahan Palestina, inilah yang menjadi polemik utamanya. Masing-masing negeri sibuk untuk saling mempertahankan negerinya. Jadi, satu-satunya jalan keluar untuk kemerdekaan palestina adalah pertama kita membutuhkan sebuah junnah (perisai) yang berlandaskan Islam dan yang kedua kita membutuhkan seorang pemimpin yang menjadikan Ideologi Islam sebagai satu-satunya mabda dalam negara

Jadi, yang kita butuhkan adalah seorang pemimpin yang mampu menyatukan seluruh dunia Islam. Pemimpin sebagaimana yang digambarkan Rasulullah, dicontohkan para sahabat, dan para khalifah setelahnya. Keberadaan pemimpin ini dapat menyatukan kaum muslim.

Setelah umat muslim bersatu, khilafah akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk membebaskan Palestina. Jadi, hanya khilafahlah yang akan mampu menciptakan keamanan dan ketentraman untuk bangsa Palestina, hanya Khilafah yang akan membuat mimpi pembebasan Palestina menjadi nyata.

Wallahu'alam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post