Migrasi TV Analog tak Terbendung, Siapa Mendulang Untung?


Oleh Sartinah
(Pegiat Literasi)

Siaran televisi analog resmi dihentikan penayangannya oleh pemerintah. Salah satu hiburan rakyat jelata yang sudah dinikmati sekitar 60 tahun terakhir, tak bisa lagi mengudara per tanggal 2 November 2022. Mau tidak mau, masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah harus ikut bermigrasi ke siaran televisi digital jika tetap ingin menyaksikan acara televisi. Lantas, sudah siapkah rakyat bermigrasi ke televisi digital? 

Latar Belakang Migrasi

Kemajuan teknologi meniscayakan segala sesuatunya beralih ke digitalisasi, tak terkecuali lembaga penyiaran. Pemerintah melalui Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi mengatakan, migrasi siaran televisi analog ke televisi digital dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, sebagaimana dikutip dari Kompas.com (11/08/2021).

Pertama, migrasi tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Pasal 60A tentang Penyiaran sebagaimana diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kedua, demi menghasilkan siaran televisi yang lebih berkualitas, bersih, dan jernih bagi masyarakat. 

Ketiga, untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan siaran pada Lembaga Penyiaran melalui infrastructure sharing. Keempat, demi mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lainnya yang telah menyepakati spektrum untuk layanan televisi. Kelima, demi pemerataan akses internet, kebutuhan pendidikan, sistem peringatan kebencanaan, dan lainnya dari hasil penggunaan spektrum frekuensi.

Penyediaan layanan teknologi terbaik termasuk digitalisasi penyiaran memang menjadi tugas pemerintah. Namun, kebijakan yang diluncurkan saat ekonomi rakyat tengah sekarat dapat memicu banyak persoalan baru khususnya bagi masyarakat kecil. Mulai dari beban biaya yang bertambah karena harus membeli peralatan ataupun televisi digital, hingga persoalan distribusi. Apalagi bagi mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Di sisi lain, kebijakan migrasi televisi analog ke digital seharusnya dilakukan demi kemaslahan semata, bukan keuntungan segelintir pihak. 

Siapa Mendulang Untung? 

Meski pemerintah berdalih jika di tahun sebelumnya telah melakukan konversi dan ada pembagian Set Top Box gratis, tetapi pertanyaan selanjutnya adalah apakah konversi dan pembagian STB gratis sudah pasti merata? Atau justru akan kembali tidak merata alias salah sasaran sebagaimana yang terjadi selama ini pada bantuan untuk rakyat. Pemerintah tak pernah jujur membuka data. Jika tidak ada udang di balik batu, mustahil pemerintah begitu gencar beriklan agar rakyat Indonesia beralih ke televisi digital. Lantas, siapa sejatinya yang mendulang untung dari konversi tersebut? 

Mengutip hasil riset Boston Consulting Group tahun 2017, ada beberapa pihak yang diuntungkan dengan adanya migrasi ke televisi digital. Pihak pertama adalah pemerintah. Jika migrasi televisi digital terealisasikan, maka pemerintah berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp77 triliun per tahun. Pasalnya pendapatan dari TV analog saat ini hanya sekitar Rp100 miliar. 

Pendapatan tersebut berasal dari penggunaan frekuensi (digital dividend) yang disetorkan oleh para pelaku usaha yang menggunakannya. Riset tersebut juga mengungkapkan bahwa migrasi ke TV digital dapat berkontribusi terhadap PDB hingga mencapai Rp443,8 triliun per tahun. Karena itu semakin lama pemerintah menunda, maka semakin lama pula potensi pemasukan negara dari sektor TV digital.

Pihak kedua yang diuntungkan adalah pelaku bisnis digital atau para vendor. Mereka akan mendapatkan keuntungan dari penjualan STB kepada masyarakat. Misalnya saja untuk jumlah rumah tangga di negeri ini yang sekitar 68,7 juta, dengan harga STB rata-rata adalah Rp200.000. Jika jumlah tersebut dikalikan, maka vendor akan meraup keuntungan sekitar Rp13.740 triliun. 

Keuntungan tersebut tentu saja tidak dinikmati oleh vendor semata. Sebab, dalam dunia kapitalis selalu berlaku prinsip no free lunch. Vendor memang memiliki barang, tetapi jalannya bisnis dan akses pasar dibuka oleh pemerintah. Karenanya mustahil jika pemerintah tidak mendapatkan fee atas bisnis tersebut.

Berikutnya lagi, selama ini TV analog menggunakan pita frekuensi 700 MHz sebanyak 328 MHz. Jika terjadi peralihan ke TV digital, maka mayoritas pita frekuensi tersebut tidak terpakai. Lantas, akan dikemanakan pita frekuensi tersebut? Apakah akan dibuang? Tentu saja tidak! Pilihan yang bisa diambil oleh pemerintah adalah membisniskan pita frekuensi tersebut dengan cara dijual atau disewakan kepada industri telekomunikasi swasta untuk pengembangan internet 5G dan sebagainya. Jelaslah sudah bahwa bisnis digitalisasi media memang menggiurkan.

Buah Kapitalisme

Sudah menjadi rahasia umum jika negara di bawah asuhan kapitalisme tidak benar-benar peduli dengan nasib dan kepentingan rakyat. Alih-alih bekerja demi rakyat, negara justru terus mencari celah untuk memaksimalkan keuntungan dalam setiap kebijakannya. Salah satunya melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang memudahkan akses bagi para kapitalis meraup keuntungan.

Di sisi lain, media dalam dunia kapitalis hanyalah industri korporasi yang mendatangkan banyak keuntungan. Para elite penguasa media banyak menguasai kantor berita, saluran TV, dan grup-grup media dengan menanamkan investasinya dalam bisnis tersebut. Sayangnya, media-media yang berada dalam penguasaan kapitalis, sarat dengan nilai-nilai Barat yang rusak dan rendah. Ditambah lagi dengan lemahnya peran negara di negeri kaum muslim. Pemerintah justru memberi karpet merah kepada para korporat untuk mengeruk keuntungan besar dan legal melalui UU Cipta Kerja. Walhasil, mereka bebas dan leluasa bergerak menjadikan umat Islam sebagai target dan pangsa pasar mereka.

Peran Sentral Negara

Islam adalah agama paripurna yang mampu menyelesaikan setiap persoalan, termasuk sempurna dalam mengatur peran dan fungsi negara. Negara wajib menyediakan seluruh kebutuhan masyarakat, termasuk memenuhi hak untuk mengakses teknologi secara gratis. Karenanya prioritas pengurusan rakyat dalam Islam adalah terwujudnya kemaslahatan.

Dalam Islam, teknologi merupakan salah satu jenis infrastruktur yang wajib disediakan oleh negara dan penggunaannya berlandaskan syariat Islam. Mengutip pendapat Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Sistem Keuangan Negara Islam, disebutkan bahwa sarana pelayanan pos, surat-menyurat, kiriman kilat, telepon, telegram, sarana televisi, perantara satelit, dan lain-lain, masuk dalam salah satu jenis infrastruktur milik negara yang disebut maraafiq. 

Maraafiq merupakan bentuk jamak dari murfaq yakni seluruh sarana yang dimanfaatkan untuk pedesaan maupun perkotaan. Sarana-sarana tersebut dibuat oleh negara selama dapat bermanfaat dan membantu masyarakat. Sedangkan maraafiq 'ammah adalah sarana umum yang disediakan oleh negara dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Karenanya pengembangan televisi analog ke digital adalah bagian dari sarana umum (maraafiq 'ammah). Sarana tersebut akan dikembangkan oleh negara dengan tujuan agar masyarakat mudah mengakses informasi. Pembangunan sarana infrastruktur tersebut akan dibiayai oleh Baitulmal yang pembiayaannya diambil dari pos kepemilikan negara seperti kharaj, ganimah, jizyah, dan yang sejenisnya. 

Melihat betapa pentingnya peran media dalam Islam, maka negara tidak akan mengizinkan perusahaan swasta apalagi asing bebas menyebarkan opini publik di tengah-tengah kaum muslim. Sebab, informasi merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dakwah Islam dan negara. Karena itu, Khilafah akan secara aktif mendukung peran media untuk membantu mengelola urusan warganya, serta menyebarkan dakwah Islam kepada semua umat manusia.

Selain menjadi pelayan dalam hal pemenuhan kebutuhan rakyat, Khilafah juga memiliki peran sentral dalam perspektif politik media Islam. Pertama, sebagai junnah atau perisai yang akan melindungi ideologi dan ajaran Islam dari bahan olokan dan hinaan. Kedua, sebagai filter dalam menyaring informasi yang tidak penting dan merusak. Ketiga, sebagai alat informasi Islam bagi dunia, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini dilakukan karena Khilafah memosisikan media massa yang dimilikinya hanya diperuntukkan melayani ideologi Islam.

Pentingnya peran negara sebagai pemberi informasi juga dikuatkan oleh Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 83 yang artinya, "Jika sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentu orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan) dapat mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri)."

Khatimah

Migrasi siaran televisi analog ke digital di era kapitalisme hanyalah ceruk bagi kapitalis untuk meraup keuntungan. Manfaat digitalisasi media hanya akan dirasakan dampaknya secara sempurna jika Islam dijadikan sebagai dasar dalam menyelesaikan problematik manusia. Di bawah naungan Islam, negara benar-benar menjalankan perannya sebagai junnah, rakyat pun dapat menikmati haknya mengakses teknologi secara gratis.
Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post