Menakar Pembangunan Berwawasan Lingkungan



Oleh: Ummu 'Alsiyah 

(Aktivis Muslimah)


Fenomena berupa banjir bandang hingga tanah longsor seolah menjadi agenda rutin setiap musim penghujan di tanah air tercinta. Alih fungsi lahan menjadi salah satu faktor penyebab banjir saat curah hujan tinggi. Tata kelola kapitalistik membuat lahan yang berfungsi sebagai resapan air beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, perumahan, bahkan perusahaan.


Hujan turun yang seyogyanya berupa keberkahan, kini menjadi bencana. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini potensi cuaca ekstrem dan gelombang tinggi 2,5-4 meter periode 15 hingga 21 Oktober 2022. Potensi cuaca ekstrem yaitu curah hujan dengan intensitas sedang hingga lebat dan gelombang tinggi 2,5-4 meter akan terjadi di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari keterangan tertulis, BMKG menjelaskan cuaca ekstrem yang terjadi disebabkan oleh kondisi atmosfer di wilayah Indonesia masih cukup kompleks dan dinamis, yang dipengaruhi oleh fenomena atmosfer global, regional ataupun lokal.


Abdul Muhari selaku Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, BNPB, mengatakan banjir yang melanda Desa Tamanbali, Kecamatan Bangli terjadi setelah hujan deras sekitar pukul 13.20 WITA. Kondisi curah hujan yang tinggi juga memicu longsor di Kecamatan Susut. Aktivitas warga ikut terganggu akibat longsor yang menutup akses jalan. Tak hanya Bali, berita duka juga datang beberapa hari lalu dari kota Serambi Makkah (Aceh). Banjir Aceh Meluas, 18 Ribu Warga Terpaksa Mengungsi Banjir telah berdampak pada 22.535 jiwa yang tinggal di 12 kecamatan, Banjir yang melanda sebagian wilayah Aceh Utara sejak Selasa (4/10) terus meluas.


Menyoal Evaluasi Tata Kelola Lingkungan

Menyoal hal ini, selain tentunya butuh mitigasi, dalam rangka mengantisipasi dampak banjir dan longsor, pengawasan dan kewaspadaan dini perlu dilakukan. Hanya saja, yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah progres mitigasi yang selama ini berlangsung. Sejauh mana instrumen mitigasi sudah mampu berperan menanggulangi bencana alam, khususnya banjir dan tanah longsor sehingga pada masa/musim selanjutnya kedua bencana langganan tersebut bisa diminimalisasi. juga tak kalah penting seberapa besar peran serta kebijakan negara dalam melayani kepentingan-kepentingan masyarakat terutama saat cuaca ekstrem dan memburuk sehingga tidak sampai terjadi bencana alam yang berulang apalagi hingga menelan korban.


Sangat disayangkan, di luar sana pemerintah begitu semangat menyuarakan pembangunan berwawasan lingkungan beserta ide energi bersih. Sejak 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga masif menyerukan pentingnya implementasi pembangunan berwawasan lingkungan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, terlihat sangat bergengsi.


Bahkan september lalu, KLHK melibatkan generasi muda dalam pengendalian perubahan iklim. Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, saatnya generasi muda Indonesia hari ini menunjukkan potensi besar yang dimiliki, dan menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan. kata Siti Nurbaya, bahkan menjadi komitmen yang dihasilkan dari pertemuan Youth 20 (Y20) di Balikpapan pada sambutan Co-Chair Y20 tanggal 21 Mei lalu.


Sungguh ironis, hal tersebut bagai pungguk merindu bulan, karena tidak dibarengi dengan komitmen para kapitalis dan korporat global maupun nasional untuk mengendalikan aksi mereka dalam eksploitasinya terhadap alam, baik itu berupa alih fungsi hutan primer menjadi lahan terbuka, pabrik, hingga perkebunan sawit, termasuk kasus karhutla dan pertambangan; maupun pengusaha properti yang sangat tidak bijak mengonversi lahan menjadi permukiman. Padahal yang terjadi suburnya bisnis properti juga tidak mampu menutupi krisis tempat tinggal bagi masyarakat pinggiran.


Lalu, di mana wawasan lingkungan yang mereka koarkan? Akankah hanya wacana belaka? Atau selagi ada modal semua bisa dikompromikan?


Islam Atasi Krisis Keberkahan

Negeri ini seolah krisis keberkahan. Hujan yang turun tidak lagi menjadi berkah namun menuai bencana. Keberkahan langit rusak oleh keserakahan kapitalistik dan rusaknya moral para pemangku kedudukan negeri Pertiwi. Padahal Allah Taala menurunkan firman-Nya, “… Baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur ((negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun).” (TQS Sabaa’ [34]: 15)


Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini menyatakan, “Sabaa’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya. Dulu mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang mengisi negeri dan kehidupan mereka, kelapangan rezeki mereka, serta tanaman-tanaman dan buah-buahan mereka. Allah Taala lalu mengutus kepada mereka para rasul. Para rasul itu menyeru mereka agar memakan rezeki yang Dia berikan dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga masa yang Allah kehendaki. Lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka. Akibatnya, mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri.” (Tafsir Ibnu Katsîr, 6/445). Selain itu, terdapat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam., “Imam/Khalifah pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad).


Hal ini menegaskan setidaknya manusia harus melihat dari aspek akidah, bahwa bencana alam berasal dari Allah, maka selayaknya kita juga mohon pertolongan Allah agar diberi kesabaran menjalaninya dan intropeksi diri boleh jadi musibah yang terjadi merupakan bentuk teguran dari Allah terhadap kemaksiatan yang telah dilakukan.


Kemudian dari aspek kemaslahatan umum, bahwa apakah mitigasi berjalan kontinyu dan simultan? Atau justru program mitigasi hanya parsial pada tahun tertentu saja, tetapi belum tentu bisa terlaksana lagi di tahun berikutnya. Belum lagi, peralatan yang digunakan saat mitigasi pun bukan yang berkualitas terbaik sehingga mudah rusak. Kalaupun peralatannya sudah yang berkualitas terbaik, yang seringkali terjadi adalah minimalisnya perawatan pada peralatan sehingga akhirnya juga rusak.


Menyedihkan memang, jika sistem kufur yang terus-menerus diharapkan menyelesaikan masalah umat, alih-alih mendatangkan maslahat, justru menjauhkan umat dari rahmat dan keberkahan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sistem kufur juga melahirkan para pejabat yang tidak amanah dan menjalankan tugas ala kadarnya. Tidak heran jika negeri ini juga jauh sekali dari karakter negeri yang baik (baldatun tayyibatun).


Sungguh, kita semua tentu mendambakan kondisi suatu negeri yang aman, sejahtera, serta jauh dari bencana dan mara bahaya yang menimpa. Tapi rasanya mustahil jika harapan itu digantungkan dalam system kufur hari ini, butuh system yang shahih yang sudah jelas meninggalkan jejak gemilang dalam penerapannya, tak hanya mampu memberikan aturan terbaik dalam kehidupan tetapi juga memberikan system yang tepat dan cepat dalam menangani bencana dan masalah yang melanda, dialah system islam ‘ala minhajinnuwwah. Wallahu'alam bi shawab 

Post a Comment

Previous Post Next Post