Aktivis Dakwah
Charity Aid Foundation merilis laporan tahunan mengenai kedermawanan global yang melibatkan 1,96 juta responden dari 119 negara. Lembaga yang bepusat di Inggris ini menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan versi World Giving Index (WGI) 2022 dengan skor 68 persen. Indonesia konsisten selama 5 tahun berturut- turut menempati peringkat pertama. Sebuah prestasi luar biasa di tengah keamburadulan berbagai permasalahan negeri yang belum bisa teratasi seperti korupsi dan kemiskinan.
Menurut Ketua Filantropi Indonesia, Rizal Algamar, salah satu penyebab kedermawanan ini adalah faktor keagamaan. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam tak ragu mengeluarkan zakat dari harta-harta yang mereka miliki. Berbagai platform donasi digital dinilai membantu proses donasi menjadi lebih cepat, aman dan mudah.
Apalagi Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 267: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."
Potensi zakat yang sangat besar jelas akan membantu keuangan negara karena perintah zakat dalam Islam wajib bagi mereka yang telah memenuhi kriteria. Akan tetapi potensi zakat belum bisa dimaksimalkan oleh para penguasa negeri. Oleh karenanya memaksimalkan potensi zakat, umat butuh pemimpin taat syariat
Dalam sistem Islam, zakat dimasukkan ke dalam baitul mal sebagai salah satu sumber pemasukan negara khilafah. Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus serta penggunaannya hanya untuk delapan kelompok (ashnaf). Pemberdayaan zakat untuk delapan kelompok tersebut jelas akan membantu pemberdayaan ekonomi mereka.
Seperti yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pendapatan dari zakat membuat kas negara berlimpah ruah sehingga pada suatu waktu petugas zakat kesulitan mencari orang-orang yang berhak mendapatkan zakat. Bahkan banyak penduduk yang memiliki kondisi ekonomi mampu untuk membayar zakat. Berlimpah ruahnya pemasukan baitul mal dari zakat pada saat itu menunjukkan bahwa zakat bisa menjadi pemberantas kemiskinan dan penggerak roda ekonomi.
Terpilihnya Indonesia sebagai negara paling dermawan menjadi bukti bahwa jika zakat dikelola dengan baik akan memiliki potensi yang sangat besar seperti era Khalifah Umar bin Abdul Azis. Sayangnya saat ini umat Islam cenderung mengelola dana zakatnya sendiri atau diserahkan kepada lembaga-lembaga donasi swasta. Seharusnya dana zakat dikelola oleh negara, akan tetapi umat butuh ketegasan dan keteladanan penguasa dan pejabatnya dalam mengelola pemasukan-pemasukan kas negara. Korupsi yang menggurita di negeri ini membuat tingkat kepercayaan umat kepada penguasa dan pejabat menurun.
Berlimpah ruahnya kas negara dari zakat dan bergeraknya perekonomian rakyat seperti di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat mustahil terwujud jika demokrasi kapitalisme masih menjadi sistem yang diterapkan di negeri ini. Umat butuh penguasa yang amanah dan tegas dalam mengelola harta-harta milik kaum Muslim dan dipergunakan seluas-luasnya untuk kemaslahatan masyarakat. Hal itu hanya bisa didapatkan jika penguasanya mau tunduk kepada aturan Allah dan menjalankan kekuasaannya menggunakan syariat Islam.[]
Post a Comment