(Pemerhati Masyarakat)
_"Mohon maaf kepada pemirsa RCTI, MNCTV, GTV, dan iNews se-Jabodetabek, karena adanya ancaman Menko Polhukam Bapak Mahfud MD untuk mematikan siaran analog di wilayah Jabodetabek, maka kami sangat terpaksa menuruti ancaman tersebut, meskipun masih tidak paham dengan landasan hukum yang dipakai,"_ (tempo.co, 4/11/2022)
Di atas adalah permintaan maaf yang dilontarkan salah satu CEO stasiun televisi yang akhirnya ikut mematikan siarannya sebab kebijakan konversi dari tv analog ke digital. Hari Tanoe mengikutsertakan kata-kata terpaksa dan ancaman dalam pernyataan maaf nya tersebut, di samping juga mengadakan perlawanan dalam bentuk tuntutan hukum atas kebijakan pemadaman siaran televisi analog (tempo.co, 5/11/2022). Lantas seperti apa sebenarnya kebijakan konversi ini? Mengapa hanya diterapkan di wilayah Jabodetabek saja? Apa untung rugi nya bagi masyarakat? Apa akibatnya dan bagaimana seharusnya?
*Konversi TV Analog Menjadi TV Digital*
Wacana konversi ini sebenarnya telah lama dimunculkan, bahkan sudah ada sejak tahun 2012. Informasi terkait ini bisa dilihat dalam artikel di website Kominfo dengan judul, "Indonesia mulai masuki era digital" (1/11/2013). Artikel ini menyebutkan bahwa sejak akhir tahun 2012, infrastruktur tv digital mulai dibangun dan dioperasikan oleh pelaku multipleksing swasta di Jawa dan Kepulauan Riau. Sehingga sejak saat itu para pelanggan dua wilayah tersebut sebenarnya sudah mulai bisa menikmati siaran-siaran televisi dalam format digital. Adapun wilayah-wilayah lainnya disebutkan akan menyusul secara bertahap.
Kala itu, disampaikan bahwa siaran TV digital akan dioperasikan secara bersamaan dengan TV analog. Selain untuk tetap menjamin ketersediaan informasi bagi masyarakat melalui televisi, hal tersebut juga berfungsi untuk mempercepat masa peralihan ke siaran digital. Dalam masa-masa tersebut masyarakat diharapkan bisa membandingkan kualitas dari keduanya.
Hanya saja memang, untuk bisa menikmati siaran televisi digital, masyarakat diharuskan membeli perangkat konverter yang bernama set top box (STB) yang nantinya akan disandingkan dengan televisi yang sudah lebih dulu dimiliki. STB ini merupakan alat bantu untuk menerima dan mengkonversikan sinyal digital hingga bisa diterima oleh televisi analog yang ada.
Adapun pengoperasian sinyal digital dan analog yang bersamaan ini, selain untuk tetap menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi melalui media TV. Ia juga bertujuan agar masyarakat mulai melakukan peralihan ke siaran digital. Pada periode ini masyarakat juga bisa melihat perbedaan kualitas siaran analog dan digital. Itulah cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensosialisasikan perubahan sistem penyiaran informasi melalui media televisi.
Semua hal ini dilontarkan pada tahun 2013, setahun sejak dibangunnya infrastruktur penunjang siaran digital. Seharusnya, jika memang sistem sosialisasi tentang konversi siaran digital tersebut benar-benar dijalankan dan diimbangi dengan cara-cara lainnya, maka tidak mungkin kondisinya seperti saat ini. Dimana masyarakat terkesan tidak siap untuk menerima kebijakan tersebut.
*Untung-rugi siaran digital*
Jika bersandar pada artikel yang dikeluarkan oleh Prima Tisna Aji dalam kumparan.com (11/11/2022), ada beberapa keuntungan yang bisa kita dapat dari siaran tv digital dibandingkan dengan analog. Yakni, resolusi televisi yang lebih bagus dibanding ketika masih berbentuk analog, satu channel dalam jenis televisi digital bisa digunakan minimal 5 saluran sekaligus, penghematan sinyal televisi terutama untuk daerah pedalaman, dan televisi digital inipun sanggup menerima siaran televisi dalam kondisi bergerak ataupun berjalan tanpa mempengaruhi kualitas gambar, audio dan juga video tanpa perlu berlangganan.
Demikianlah keuntungan dalam menggunakan televisi digital dibanding dengan televisi analog. Adapun kerugiannya, yakni harus tersedianya set box untuk bisa menerima dan mengkonversi siaran digital pada televisi jenis analog. Adapun untuk mendapat set box ini, masyarakat harus membelinya dengan harga yang cukup mahal, sekitar 200 hingga 500 ribu rupiah. Dengan harga tersebut, pastinya tidak semua orang bisa membeli. Istilahnya, jangankan untuk membeli set box dengan harga tersebut, untuk makan sehari-hari pun mereka tak mampu. Hal itulah yang kemudian banyak menjadi persoalan saat ini. Selain itu, tak semua orang mampu melakukan seting atau pengaturan TV digital sendiri, dan tidak semua televisi juga menyediakan mode digital.
Lantas, jika sudah jelas untung dan kerugiannya, dan sudah jelas juga wacana dan sosialisasi pemerintah pada kebijakan ini. Mengapa masyarakat saat ini masih saja merasa kaget dan tidak bisa menerima kebijakan tersebut. Justru terkesan bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan yang dipaksakan?
*Kebijakan yang Dipaksakan, Buah Sistem Kapitalisme*
Puluhan tahun lamanya masyarakat terbuai dengan televisi. Mereka menjadikan televisi sebagai hiburan satu-satunya saat santai ataupun bosan dengan aktivitas harian yang dilakukan. Generasi 90an hingga 70an pasti merasakan betul dampak dari kebijakan konversi tv analog ini, pasalnya merekalah yang paling bergantung dengan televisi sebagai hiburan dan juga penyampai informasi.
Sebenarnya, tak ada masalah yang begitu serius terkait dengan kebijakan ini. Apalagi jika disampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tertinggal dalam hal pengalihan mode siaran televisi analog ke digital. Bahkan disebutkan bahwa di Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Timur Leste lah yang belum melakukan kebijakan tersebut. Hanya saja, yang jadi permasalahan utama dalam hal ini adalah bahwa saat ini masyarakat tengah dihantam dengan berbagai himpitan ekonomi dan perilaku sosial, mereka sangat membutuhkan media yang mampu memberikan informasi serta hiburan untuk mereka.
Sedangkan pemerintah, per tanggal 2 November 2022 kemarin telah melakukan program Analog Switch Off (ASO) di wilayah Jabodetabek. Artinya wilayah-wilayah yang ada di sekitaran Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sudah tidak bisa lagi menikmati siaran televisi seperti biasanya. Mereka harus membeli perangkat STB untuk kembali bisa menikmati siaran televisi. Dan inilah masalahnya, masyarakat yang tadi disampaikan tengah dihimpit dengan berbagai kesulitan ekonomi, tidak mampu untuk membeli alat tersebut.
Pemerintah memang telah menyediakan STB gratis untuk masyarakat. Namun jumlahnya yang terbatas dan sulitnya masyarakat untuk mengakses, membuat sebagian besarnya bertahan dengan kondisi yang ada, tanpa adanya hiburan atau penyedia informasi utama bagi mereka.
Lantas mengapa kiranya pemerintah tetap menjalankan kebijakan ini padahal mereka tahu bahwa masyarakat belum siap untuk menerimanya? Ternyata itu merupakan buntut dari disahkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang mana poinnya berbunyi pemerintah wajib mengalihkan migrasi siaran televisi di wilayah NKRI dari sistem analog ke digital mulai tanggal 2 November 2022.
Inilah inti permasalahannya ternyata. Undang-undang ini memaksa pemerintah untuk melakukan analog switch off (ASO) sedini mungkin sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Alhasil, meskipun banyak sekali pihak yang melihat ketidaksiapan masyarakat, namun kebijakannya tetap terus berjalan. Bahkan jika hal tersebut harus berbuntut pengadilan.
Adapun berbicara tentang undang-undang cipta kerja yang disebutkan di atas, publik pasti masih teringat dengan demo buruh besar-besaran untuk menolaknya disahkan. Hal itu sebab begitu banyaknya pasal yang berisi penindasan atas rakyat, terutama para buruh dan tenaga kerja kecil. Dan ternyata undang-undang ini juga lah yang menjadi gawang kebijakan konversi TV analog yang dilaksanakan.
Seperti itulah nyatanya undang-undang hari ini bekerja. Mereka tak bertumpu pada semangat memenuhi kebutuhan rakyat, sebaliknya mereka lebih memperhatikan kebutuhan para investor dan pengusaha. Memang itulah yang diinginkan sistem kapitalisme, mereka lebih mementingkan para pemilik modal dibanding memenuhi kebutuhan masyarakat. Bayangkan saja, keuntungan yang akan didapat masyarakat nyatanya tak sebanding dengan keuntungan yang akan didulang oleh para koorporasi besar penyedia layanan digital. Begitupun para stakeholder penyedia perangkat konversi yang ada. Jadi pantaslah jika judul dari artikel ini mempertanyakan pihak penerima keuntungan sebenarnya dari kebijakan ini.
*Islam mewajibkan pemerintah menyediakan media siar yang terjangkau bagi masyarakat*
Televisi menjadi sarana dengan fungsi yang cukup penting bagi masyarakat. Dengan televisi, masyarakat tak hanya mendapatkan hiburan di saat santai ataupun penat. Melainkan masyarakat pun akan mendapat berbagai informasi penting terkait berita terkini tentang berbagai hal di sekitarnya. Fungsi ini terutama dirasakan oleh para generasi 90-an ke atas. Kebanyakan mereka sudah terbiasa bahkan cenderung bergantung pada televisi. Berbeda dengan generasi 90-an ke bawah, yang tidak lagi bergantung pada siaran televisi sebab adanya berbagai gadget yang menyediakan sarana informasi di berbagai platform media sosial, seperti Facebook, instagram, twitter, dan lain-lain.
Fungsi penyedia informasi inilah yang kemudian menjadi penting di dalam Islam. Bahkan menjadi salah satu kebutuhan masyarakat yang wajib hukumnya untuk dipenuhi selayaknya kebutuhan-kebutuhan lain, semisal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semua hal tersebut wajib dipenuhi oleh negara, karena merupakan tanggungjawab nya sebagai pengurus rakyat yang harus dipenuhi.
_“...Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya...”_ (HR. Bukhari).
Adapun dari sisi pemerintah, fungsi penyedia informasi itupun akan menjadi sangat penting. Pemerintah bisa menjadikan televisi sebagai sarana dakwah bagi masyarakat. Artinya, televisi akan menayangkan berbagai siaran yang berisi tentang dakwah Islam, dan berbagai pengetahuan terkait hukum-hukum syariat Islam. Selain itu, televisi akan berfungsi sebagai penghubung informasi antara pemerintah dengan rakyatnya. Dimana pemerintah bisa membuat strategi informasi, yang mengatur terkait apa saja yang perlu atau tidak boleh disebarkan kepada khalayak. Fungsi inipun sejalan dengan dalil yang disebutkan dalam Alquran yang artinya,
_"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)... "_ (QS. An-Nisa : 83)
Hal tersebut pun telah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah SAW dalam peristiwa Perang Tabuk, kala itu beliau menyiarkan berita tersebut secara masif kepada masyarakat, berbeda dengan perang-perang yang dilakukan sebelumnya. Hal ini dikabarkan dalam hadits dari Ka'ab yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaq 'alaihi), yang artinya,
_"Tidak pernah Rasulullah SAW ingin berperang kecuali Beliau menutupinya dari orang lain sampai Perang Tabuk itu. Beliau melaksanakan perang itu dalam kondisi yang sangat panas, akan menempuh perjalanan yang sangat jauh dan menghadapi musuh yang banyak jumlahnya. Karena itu, Beliau menampakkan keinginannya kepada kaum Muslim. Beliau memerintahkan kaum Muslim agar masing-masing mempersiapkan segala bekal yang diperlukan dalam peperangan mereka dan memberitahu kepada mereka arah yang Beliau inginkan"._
Demikianlah Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana cara Beliau menyusun strategi informasi terkait apa yang boleh disebarkan dan mana yang tidak. Adapun terkait dengan sarana penyebarannya, sebab teknologi yang masih amat sangat sederhana kala itu maka mereka menggunakan lisan sebagai sarana penyebaran. Tentunya berbeda dengan saat ini, dimana masyarakat sudah begitu dimanjakan dengan berbagai teknologi, termasuk teknologi informasi.
Alhasil, sarana apapun yang bisa digunakan untuk penyebaran informasi ataupun akses informasi untuk masyarakat, maka hal tersebut menjadi wajib untuk diadakan dengan akses yang mudah dan tidak memberatkan masyarakat. Sebab bagaimana pun, terdapat larangan yang tegas bagi seorang pemimpin untuk berbuat zalim kepada rakyatnya.
_“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim”._ (HR Tirmidzi)
Begitulah jika persoalan terkait kebijakan konversi ini dikembalikan pada syariat Islam. Akan jadi jauh berbeda jika sistem kapitalisme yang masih terus merajalela. Sungguh dengan Islam, segala masalah (seberat apapun) akan dengan mudah terurai. Namun dengan sistem kapitalisme, persoalan yang mudah sekalipun akan menjadi berat jutaan kali lipat untuk diselesaikan.
_Wallahu A'lam bis Shawwab_
Post a Comment