Kesejahteraan Warga IKN di Tengah Megaproyek IKN



By : Nurbayah Ummu Tsabitah, AM.d
(Pemerhati sosial dan generasi)

Tiga desa di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) ditetapkan sebagai objek monitoring program desa pangan aman oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Samarinda.
Kepala BBPOM Samarinda Sem Lapik mengatakan, tiga desa di Kecamatan Sepaku menjadi objek monitoring sebagai desa aman pangan yakni Desa Tengin Baru, Desa Wonosari dan Desa Argomulyo. 
“Tiga desa ini diputuskan sebagai objek monitoring desa aman pangan telah melalui berbagai pertimbangan. Salah satunya, desa itu berada di kawasan IKN,” kata Sem Lapik saat menggelar kegiatan evaluasi dan monitoring desa aman pangan, pasar aman berbasis komunitas dan intervensi pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di aula Lantai I Kantor Bupati PPU, Kamis (3/11/2022).
Ada berapa upaya yang dilakukan oleh BBPOM yaitu telah melatih 45 kader yang membantu mewujudkan desa pangan aman di tiga desa tersebut. “Masing-masing desa itu, ada 15 kader dari warga setempat.. 
Selain itu, ada 40 sekolah di Benuo Taka yang menjadi objek monitoring dan intervensi pangan jajanan anak sekolah.
Tidak hanya masalah pangan permasalahan perumahan juga cukup menjadi masalah di IKN menurut data Dari jumlah ini, 5.565 jiwa atau 3 persen pada November 2022 ini terdata tak punya rumah. Mereka ini sebagian besar ikut di rumah keluarga. Data ini dirilis Yayasan Borneo Benuo Taka PPU setelah melaksanakan survei sejak Juli 2022, Rabu (2/11)
Dari fakta dan upaya tersebut apakah mampu mewujudkan kesejahteraan warga khususnya warga IKN ???
Perlu kita fahami terlebih dahulu apa itu definisi kesejahtraan menurut undang-undang nomor 11 tahun 2009 bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Berbagai langkah dan kebijakan terus diproduksi Pemerintah seakan-akan untuk mengatasi masalah. Namun nyatanya, hingga kini persoalan tidak kunjung selesai karena kebijakan tersebut tidak mengurai akar persoalan. 

Penyelesaian masalah dicukupkan pada tataran teknis strategis. Padahal, masalah yang sesungguhnya lahir dari kebatilan paradigma dan konsep tata kelola.
Sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang melahirkan konsep tata kelola neoliberalisme telah menjadi pangkal penyebab semua persoalan ini. Konsep ini memalingkan politik ekonomi negara bukan lagi untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya, melainkan sekadar menggerakkan roda perekonomian dan mengejar angka pertumbuhan semata. 
Semisal, pembangunan pertanian hanya berorientasi untuk menggenjot produksi saja. Dalam hal ini, bisa dipahami kenapa Pemerintah begitu berambisi merealisasikan proyek food estate, yakni selain karena proyek ini adalah agenda penguatan kapitalisasi pertanian, juga karena negara memandang problem utama pangan sebagai peningkatan produksi. 
Melalui food estate, produksi pertanian ditargetkan terus melejit untuk menyokong ketahanan pangan. Padahal, sekalipun produksi berlimpah, tetapi distribusi tidak merata, bagaimana mungkin pemenuhan kebutuhan pangan tiap individu rakyat bisa terjamin?
Neoliberalisme juga menjadikan peran sentral pemerintah sebagai penanggung jawab rakyat kian terpinggir. Fungsi negara sebatas regulator dan fasilitator. Pengelolaan kebutuhan dasar dan layanan publik diserahkan kepada mekanisme pasar dan dijalankan oleh swasta atau korporasi. Bahkan, di sektor pertanian, tidak jarang muncul perusahaan integrator yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan (mulai dari hulu ke hilir) yang berjalan dalam mekanisme persaingan bebas. 
Perusahaan-perusahaan (yang jumlahnya tidak banyak) melahirkan oligarki pangan yang sulit disentuh negara. Ketika pengelolaan berbagai hajat publik dikuasai korporasi, hanya menjadi objek komersialisasi demi mengejar keuntungan sendiri. 
Minimnya peran negara dan berkuasanya oligarki juga menyebabkan arah tata kelola pangan lebih mengikuti kehendak oligarki dibanding membangun ketahanan kebutuhan pokok bagi rakyat secara berdaulat dan mandiri.
Lebih ironis, dengan konsep ini pula, terjadi liberalisasi lembaga negara, misalnya BUMN. Dengan dalih reformasi struktural, BUMN pun diarahkan untuk menjalankan nilai-nilai korporat dan menjauhkannya dari fungsi pelayanan sebagai bagian unit teknis pemerintah. 
BUMN saat ini pun berubah layaknya korporasi yang fokusnya adalah bisnis. Padahal, permodalannya berasal dari dana rakyat, yaitu APBN, tetapi dalam fungsinya justru membisniskan layanannya kepada rakyat.
Dengan demikian, sangat urgen bagi Indonesia untuk mentransformasi sistem pengelolaan pertanian dan pangan serta perumahan agar kekayaan yang Allah karuniakan bisa terkelola secara benar dan mandiri. Ini agar dapat memberikan manfaat besar bagi rakyat, menjamin ketenangan hidup dengan rumah sebagai tempat tinggal dan pemenuhan pangan dan perumahan secara cukup, merata, berkualitas, serta menghilangkan ketergantungan pada swasta.
Sesungguhnya Pemenuhan kebutuhan pokok secara berdaulat merupakan hal mutlak dalam Islam. Allah Taala melarang umat Islam menggantungkan urusannya kepada bangsa dan negara kafir. Kaum muslim harus memiliki independensi dalam mengatur semua urusan kehidupannya berdasarkan syariat.
Sekalipun Islam tidak melarang impor, tetapi Islam tidak membolehkan adanya ketergantungan. Allah Taala berfirman dalam QS An-Nisa: 141,
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا….
” … dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” 
Dalam Islam, kedaulatan pangan dan perumahan serta kebutuhan pokok lainnya harus terwujud dalam satu sistem pengelolaan negara berlandas syarak, bukan sebatas memandirikan perindividu masyarakat
.Mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan serta perumahan  harus berdasarkan visi negara yang menjadi landasan bagi politik dalam dan luar negerinya. Politik dalam negerinya adalah menjalankan syariat Islam kafah dan mengurusi urusan rakyat dengannya. 
Oleh karena itu, politik ekonomi Islam mengarahkan pada jaminan pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu rakyat dan memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan.
Jelaslah, tujuan politik ekonomi Islam yang wajib terealisasi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, papan, sandang; serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali, baik muslim maupun nonmuslim. 
Politik ekonomi ini wajib dijalankan oleh pemerintah. Rasulullah saw. menegaskan fungsi pemerintah dalam hadis, “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Di samping itu, negara juga harus menjadi pelindung rakyatnya dari berbagai ancaman dan hegemoni. Beliau saw. bersabda, “Khalifah itu laksana perisai, yakni tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim). 
Kedua nas ini meniscayakan kehadiran negara secara utuh di tengah rakyatnya, melayani dan mengurusi kebutuhan pokok rakyat, serta melindunginya dari berbagai hegemoni, termasuk hegemoni ekonomi dari negara asing atau korporasi. Fungsi ini dijalankan oleh semua struktur negara, mulai dari pusat sampai ke unit teknisnya.
Oleh karenanya, tanggung jawab negara untuk mengelola dan mengatur sektor pertanian dan pangan adalah hal wajib. Tidak boleh terjadi penguasaan sektor pertanian pangan oleh korporasi. 
Wujud tanggung jawab ini hadir dengan pengurusan terhadap masyarakat dengan menyediakan berbagai kebutuhan mereka dengan mudah, berkualitas, dan harga terjangkau; memudahkan akses permodalan tanpa syarat yang ribet dan tanpa riba; membangun infrastruktur dsb.; termasuk meningkatkan kemampuan dan skill mereka dengan teknologi terbaru.
Sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membeli barang-barang di pasar, negara menerapkan mekanisme nonpasar. Negara akan membantu dan melayani semua kebutuhan pokok selama mereka terhalang bekerja, semisal karena sakit atau cacat. Santunan ini diberikan dengan standar kehidupan yang layak tempat masyarakat tersebut tinggal.
Hanya dengan menerapkan Islam kaafah, kebutuhan pokok warga dan jaminan kebutuhan pokok (Primer) ditanggung sepenuhnya oleh negara karena merupakan ketetapan syara. 
Tidak cukupkah sabda Rasulullah SAW : “Orang yang paling sakit siksaan di hari kiamat adalah pemimpin yang zalim (curang).” (HR. Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud). Jadi masihkah alergi dengan solusi Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post