Permasalahan korupsi di negeri ini tak kunjung berakhir. Meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka menurunkan angka korupsi, namun pada kenyataannya kian hari kian memprihatinkan. Lambannya penuntasan suatu kasus dugaan tindak pidana korupsi bisa menjadi pemicu tingginya angka korupsi dinegeri ini. Salah satu contoh adalah kasus dugaan korupsi pengadaan alat PCR yang menelan anggaran Rp 1,9 miliar lebih masih bergulir di Polres Muna, Sultra padahal sudah satu tahun lebih. Sehingga publik bertanya-tanya dikarenakan lambannya Polres Muna mengungkap status hukum dugaan korupsi pengadaan alat PCR tersebut, apakah polisi serius dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini. Padahal semua pihak yang diduga mengetahui proses pengadaan alat PCR ini telah diperiksa. Bahkan LSM Gerak Sultra telah menyerahkan sejumlah alat bukti berupa dokumen penting yang berhubungan dengan pengadaan alat PCR dan sudah dikantongi oleh Penyidik sejak tahun lalu (publiksatu.co,30/10/2022).
Menurut Sudarsono (Kamus Hukum, hlm.231), korupsi didefenisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jika kita mengamati banyaknya angka korupsi maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi adalah penyakit kronis yang menggerogoti negeri ini, yang tidak lagi bersifat individual atau kasuistik, tapi bisa juga korupsi berjamaah dan bersifat sistemik. Korupsi telah marasuk dalam berbagai instansi negara baik pusat ataupun daerah, kalangan swasta dan tidak terkecuali pada anggota dewan yang terhormat. Kita masih mengingat bagaimana korupsi berjamaah yang dilakukan oleh para wakil rakyat beberapa tahun lalu, atau korupsi yang dilakukan oleh sejumlah gubernur dan bupati di berbagai daerah di Indonesia.
Jika kita mencermati berbagai penyebab tingginya angka korupsi dinegeri ini maka dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya adalah pertama, faktor lemahnya karakter individu, seperti sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya tanpa memperhatikan halal haramnya penghasilan yang diperolah. Kedua, faktor lingkungan atau masayarakat yang menganggap bahwa suap atau memberi hadiah itu adalah boleh-boleh saja selama tidak merugikan orang lain. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, yang tidak memberi efek jera bagi para pelakunya hingga ada juga yang terbebas dari hukuman karena adanya “orang dalam”. Keempat, adalah faktor ideologis dimana tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dari setiap individu, gaya hidup hedonis serta diterapkannya sistem sekuler demokrasi yang mendorong terjadinya tindak pidana korupsi, maka tidak salah ada yang mengatakan bahwa korupsi tumbuh subur dalam sistem demokrasi.
Sesungguhnya negara yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis meniscayakan terjadinya tindak pidana korupsi ataupun penyelewengan kekuasaan, karena sebelum mereka berkuasa harus mengeluarkan biaya besar dalam mendusuki kursi kekuasan, sehingga ketika mereka menduduki jabatan maka mencari pengembalian modal kampanye adalah perkara yang wajib dilalakukan dan hal ini jelas menjadi celah masuknya pintu korupsi.
Dalam perspektif Syariah Islam, korupsi disebut dengan perbuatan khianat, termasuk didalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau diercayakan kepada seseorang. Tindakan ini tidak termasuk dalam pengertian mencuri (sariqah) dalam syariah Islam, karena makna mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Sedangkan khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tetapi tindakan penghianatan yang dilakukan oleh seseorang yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepeda orang tersebut. Jika hukuman yang diberikan kepada pencuri adalah dengan memotong tangannya maka berbeda halnya dengan korupsi.
Dengan demikian, maka sanksi yang diberikan kepada pelaku khianat bukanlah potong tangan bagi pencuri sebagaimana dalam QS Al Maidah ayat 38, “ Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, pontonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbatan yang mereka lakukan dan sebagai sisksaan dari Allah”, melainkan sanksi ta’zir yakni jenis dan kadar sanksinya ditentukan oleh seorang hakim.
Termasuk didalamnya adalah para koruptor. Adapun bentuk sanksinya bisa dimulai dari yang paling ringan seperti hanya dinasehati, atau ditegur hakim, dipenjara, pengenaan denda, hukum cambuk, hingga hukum yang paling tegas yakni hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm 78-89).
Sesungguhnya penyebab utama maraknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negeri ini adalah faktor ideologis, dimana penerapan sistem demokrasi sekuler kapitalis yang menyebakan munculnya berbagai macam tindak kejahatan yang bersifat sistemik. Olehnya itu agar negeri ini bebas dari korupsi maka negara harus berani menghapus sistem yang rusak dan merusak serta menggantinya dengan Islam yang telah jelas mampu mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akherat. Karena pada dasarnya sistem tersebut berasal dari Rabb yang menciptakan manusia bersama potensi yang ada padanya. Sehingga Allahlah yang berhak untuk menetapkan hukum dinegeri-negeri kaum muslimin.
Islam memiliki langkah langkah preventif untuk mencegah korupsi diantaranya adalah pola rekrut SDM aparatur negara yang wajib berlandaskan pada integritas dan pofesionalitas, bukan karena faktor hubungan kedekatan, suka atau tidak suka. Terkait hal ini Umar bin Khaththab pernah berkata, “barangsiapa mempekerjakan seseorang karena fakor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, RasulNya dan kaum mukminin”. Sehingga orang-orang yang bekerja adalah yang memiliki kualitas dan mampu bekerja sesuai dengan kapasitasnya.
Selanjutnya dilakukan pembinaan terhadap para pegawai pemerintah terkait amanah serta tanggung jawab yang diemban yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah.
Disamping itu Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para pegawai negara, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa “barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.”(HR Abu Dawud).
Islam juga memerintahkan untuk dilakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara, disamping adanya keteladanan kepemimpinan serta pengawasan yang begitu ketat oleh negara dan masyarakat. Sehingga berbagai langkah ini dapat mencegah terjadinya korupsi. Jika korupsi telah terjadi maka ada tindakan kuratif yang diberikan kepada pelakunya (koruptor) yakni sanksi ta’zir dimana kadar sanksinya ditetapkan oleh hakim. Begitulah Islam mencegah terjadinya kasus korupsi dan bagaimana menyelesaikannya jika orupsi terlah terjadi, sungguh Islam begitu sempuran.
Wallahu ‘alam.
Post a Comment