Penggiat Literasi
Indonesia diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2024. Seharusnya ini menjadi sebuah peluang bagi negeri ini untuk melakukan berbagai lompatan pencapaian. Namun sayang, hal ini terhalang oleh sistem hidup yang diterapkan saat ini yaitu Kapitalisme.
Kapitalisme telah membajak potensi yang dimiliki bangsa ini terutama potensi generasi mudanya. Perkembangan teknologi dan sarana komunikasi telah memberikan banyak kemudahan dan peluang untuk belajar dan tumbuh lebih produktif. Namun, karena kapitalisme maka peluang ini lebih fokus pada pencapaian materi semata.
Lihatlah hari ini, begitu mudahnya seseorang viral dan dikenal banyak orang, lalu pundi-pundi rupiah mengalir ke kantong para generasi muda kita. Akhirnya mereka hidup bergaya hedonis, liberal, dan jauh dari nilai agama. Standar kehidupan mereka hanyalah mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dan menikmati kesenangan dunia tanpa peduli halal dan haram.
Disamping itu, generasi muda hari ini juga rentan mengalami penyakit mental. Mereka sangat mudah tersinggung, insecure, panik, stress, hinggga depresi bahkan mengakhiri hidupnya atau hidup orang lain.
Kapitalisme juga menyesatkan para muslimah dengan ide kesetaraan gender. Perempuan dihargai jika bisa menghasilkan materi atau aktif di sektor publik. Melalui Planet 50x50 dan SDGs dunia ingin kesetaraan gender terwujud pada tahun 2030. Berbagai program telah dirancang dan dijalankan. Konferensi Perempuan Dunia IV 1995 di Beijing pun mengamanatkan agar kesetaraan gender terwujud pada tahun 2000. Namun hingga 2019 belum ada satu pun negara yang berhasil mewujudkannya. Padahal secara fitrah perempuan dan laki-laki itu memang berbeda, tapi kedudukannya di hadapan Sang Pencipta sama yaitu sebagai hamba Allah.
Berbagai program terus dibuat agar ambisi ini terwujud. Mulai dari kurikulum, propaganda, kebijakan, dan lainnya. Tidak hanya kesetaraan gender, para perempuan juga dicekoki paham bahwa mereka punya kendali penuh terhadap tubuhnya. Mereka berhak untuk menentukan aktivitas seksual, menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak dan hal lain terkait kehidupannya.
Akibatnya tumbuh suburlah kehidupan serba bebas, muncul berbagai istilah untuk mengaburkan aktivitas terlarang yang mereka lakukan seperti Teman Tapi Mesra ( TTM), Friend With Benefits (FWB), One Night Stand (ONS), childfree, waithood, dan lain-lain.
Perilaku serba bebas ini merupakan awal dari petaka. Ancaman penularan penyakit kelamin, HIV/AIDS, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, hingga tindakan kriminal sudah pasti akan terjadi.
Generasi muda yang memiliki potensi secara akademis atau terdidik juga tidak luput dari jeratan kapitalisme. Maudy Ayunda misalnya, yang dipilih sebagai Jubir Presiden G20 yakni forum kerja sama multilateral antara 19 negara utama dan Uni Eropa (EU) di bidang ekonomi dan pembangunan internasional. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tersebut akan dilaksanakan pada November 2022 di Bali. (Kompas.com, 6/4/2022)
Maudy Ayunda adalah artis yang sangat menonjol di bidang akademi. Ia juga memiliki citra positif di mata masyarakat.
Meski Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia bertalenta khususnya generasi muda seperti Maudy dan yang lainnya, kita tidak boleh menutup mata kalau negeri ini juga sedang mengalami kerusakan generasi muda. Kerusakan ini bersifat sistemik sehingga efeknya pun sangat luar biasa.
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih sangat tinggi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), mencatat per November 2021 telah terjadi 12.566 kasus kekerasan pada anak. Angka ini hanya yang terdata, tentunya jumlahnya lebih banyak lagi karena ada kasus yang tidak dilaporkan.
Belum lagi kasus bullying, tawuran, narkoba, geng motor, judi online, seks bebas, dan lain-lain.
Pemilihan sosok muda seperti Maudy ini hanya sekadar pemanis. Mereka dijadikan ikon bagi konvensi- konvensi internasional. Sejatinya konvensi semacam itu hanya untuk kepentingan para kapital. Generasi muda justru menjadi sasaran empuk penjajahan pemikiran, apalagi mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri.
Generasi muda hari ini belum mampu menjawab tiga pertanyaan besar dalam hidup ini yaitu dari mana mereka berasal, untuk apa mereka hidup, dan ke mana mereka setelah kehidupan dunia ini berakhir?
Hari ini generasi muda disibukkan dengan urusan food, fashion, fun (3 F) dan seks, song, sport (3 S). Sungguh ini adalah pekerjaan rumah untuk kita semua khususnya penguasa negeri ini, agar bonus demografi ini bisa diberdayakan. Tugas kita semua untuk menjadikan mereka generasi beriman, bertakwa, dan sigap beradaptasi dengan perubahan dunia. Mereka yang akan meneruskan perjuangan untuk menciptakan peradaban yang gemilang. Bukan generasi yang terjebak oleh kemajuan teknologi
dan latah tanpa identitas yang jelas.
Islam Mencetak Generasi Gemilang
Islam sebagai sebuah sistem hidup memiliki peta untuk mencetak generasi gemilang. Sistem Islam menerapkan pendidikan dengan kurikulum Islam. Memberikan fasilitas pendidikan yang memadai dan menunjang terwujudnya generasi unggul. Sinergi peran keluarga, masyarakat, dan negara dalam mencetak generasi yang gemilang.
Sejarah telah mencatat kegemilangan itu hingga kita mengenal nama-nama pemuda Islam seperti Usamah bin Zaid, Muhammad Al Fatih, Salahudin Al Ayyubi, Mush'ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Tentu saja sosok pemuda seperti mereka sangat langka dan sulit dicetak dalam sistem kapitalis saat ini. Sudah saatnya kita beralih kepada sistem yang sudah terbukti dan teruji melahirkan generasi unggul dan gemilang, yaitu sistem Islam.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment