Hukum Syara' Solusi Para Pencari Keadilan


Oleh : Verry Verani

 Berjalanya proses hukum di Indonesia  tidak lepas dari filosofi hukum dari sistem yang dianutnya. Filosofi sistem hukum kapitalisme ini bersumber pada teori “iltizam”. Teori yang menjadi pijakan sistem hukum Barat Prancis, Jerman, Italia, dan hampir semua negara Eropa. Dari teori ini, kemudian lahir hukum acara pidana, dan hukum acara perdata, dan hukum-hukum turunan lainnya.

Teori “iltizam” adalah teori tentang keterikatan pada hukum, karena kesepakatan. Terlepas hukum itu benar atau tidak. Begitu juga tidak peduli, hakim itu adil atau zalim. Teori kesepakatan, sering diistilahkan dengan teori konsensus, yang kemudian berkembang dan dikenal dengan istilah konsensus nasional. Negara kesepakatan atau daulah  muahadah (negara perjanjian).

Sebenarnya penegak hukum memiliki peran strategis dalam menentukan kualitas penegakan hukum di sebuah negara. Dan di Indonesia, kinerja para penegak hukum sering kali dianggap kurang memuaskan.

Ketidakpuasan masyarakat ini menjadi pertanda lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Hukum yang dianggap sebagai cara untuk mencari keadilan bagi masyarakat malah memberikan kontribusi ketidakadilan.
 Karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kesadaran taat hukum dan  kualitas mental moralitas para penegak hukum rendah.
 
Rendahnya moralitas ini berkaitan dengan   latar belakang pemikiran yang dianut negara tersebut.  Jika ideologinya demokrasi - kapitalisme maka sumber hukumnya akal manusia. Jika demikian maka  dapat di pastikan lemahnya individu-individu dan cacatnya hukum itu dari akarnya.

Syari'at Islam Solusi Keadilan

Sistem Peradilan Islam didasarkan pada Al-Qur'an, Sunnah, maupun Ijma' dan Qiyas. Dalam 
pelaksanaan peradilan Islam, hakim atau Qodhi menjadi salah satu penentu kepastian hukum terhadap suatu perkara, sehingga untuk menjadi seorang hakim dibutuhkan kualifikasi tertentu untuk mewujudkan keadilan yang menyeluruh untuk semua lapisan masyarakat.

Islam telah mensyariatkan adanya tiga kategori peradilan, sesuai dengan obyek masing-masing yang hendak diadili, yaitu qadhi' khushumat, hisbah dan madzalim.
 Qadhi' khushumat (peradilan sengketa), yang mengadili sengketa ditengah- tengah masyarakat.

Jika kapitalis ada teori kesepakatan atau daulah muahadah.
Ini berbeda dengan Islam. Islam tidak mengenal teori iltizam. Karena hukum Islam bersumber pada wahyu. Bukan kesepakatan manusia. Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat juga satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, tidak akan muncul keraguan  orang yang dikenai hukuman dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum  dalam sistem peradilan negara Islam.

Karena seorang hakim atau qodhi telah memenuhi syarat diantaranya selain mumpuni 
Dia harus seorang pria, baligh, berakal, merdeka, muslim, adil dan ahli fikih. 

Jika Islam mengenal tiga bentuk peradilan, sesungguhnya hanya pembagian tugas dan fungsi. Karena hukum yang diterapkan hanya satu. Para hakim ini diketuai oleh seorang Qâdhî, yang disebut Qâdhî Qudhât. 

Qodhi qudhot diberi hak untuk mengangkat, membina, dan bahkan memecat para Qâdhî sesuai dengan ketentuan administrasi.
 Sedangkan para pegawai peradilan ini diserahkan kepada pimpinan masing-masing peradilan.

 Pembagian peradilan sesuai tugas dan fungsinya :
1. Peradilan Khushumat

Peradilan khusumat adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Khushûmât yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun ‘uqûbât (sanksi). Sengketa ini bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan mu’amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli dan sebagainya.

Contoh ketika Sayyidina ‘Ali menjadi khalifah, ada seorang Yahudi yang “memiliki” baju besi sang Khalifah. Karena merasa baju besi itu adalah baju miliknya, maka Khalifah pun mengajukan kasus ini ke pengadilan. Meski kasus ini melibatkan Khalifah, tetapi Qadhi Syuraikh yang bertugas memutuskan kasus ini tidak berpihak kepada Khalifah. Justru, sang Qadhi memenangkan orang Yahudi “pemilik” baju besi sang Khalifah. Karena, Sayyidina ‘Ali tidak bisa menghadirkan bukti dalam persidangan ini. Ini adalah salah satu contoh, bagaimana sistem peradilan Islam memutuskan sengketa, meski melibatkan individu penguasa.

2. Peradilan Hisbah

 Peradilan  ini  dipimpin oleh Qâdhî Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat (jamaah). Qâdhî Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudûd (seperti, perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamer, sodomi) dan jinâyât (seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang).
Tugas dan fungsi Qâdhî Muhtasib ini adalah menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. 

Qodhi muhtashib bisa mencegah kemungkaran begitu tahu, di mana pun tanpa membutuhkan majelis. Dia bisa bekerjasama dengan polisi yang bertugas mengeksekusi keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat, dan harus dilaksanakan seketika itu juga.


Pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab ada seorang Qâdhî Muhtasib yang diangkat untuk mengawasi pasar. Tugas ini dipercayakan kepada seorang wanita, yang bernama as-Syifa.

 Bahkan, di zaman Khalifah al-Mu’tadzidz (279 H), Sanan bin Tsabit, yang merupakan Qâdhî Muhtasib, juga ditugaskan untuk menguji dan menyeleksi seluruh dokter di Baghdad. Mereka berjumlah 860 dokter. Qâdhî Muhtasib ini diberi wewenang, untuk melarang para dokter melakukan praktik, kecuali setelah mendapatkan izin praktik dari Qadhi Hisbah (Ibn Abi Ushaibi’ah, ‘Uyun al-Anba’, Juz I/112).



3. Peradilan Madzalim

Adalah  peradilan dipimpin oleh Qâdhî Madzâlim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.

Tugas dan fungsi Qâdhî Madzalim adalah menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. Jika ini terkait dengan kebijakan, maka Qâdhî Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, retribusi tol, dan sebagainya. 

Jika ini terkait dengan sikap atau tindakan semena-mena, maka Qâdhî Madzalim juga akan menghentikan sikap dan tindakan tersebut. Qâdhî Madzalim berhak memberhentikan pejabat, pegawai negara, bahkan khalifah jika harus diberhentikan, sebagaimana ketentuan hukum syara’.

 Termasuk, jika pengangkatan khalifah dianggap tidak sah, maka Qâdhî Madzalim bisa menghentikannya.
 Syarat Qâdhî.  Madzalim selain harus dari Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dia juga harus pria dan bisa berijtihad. Bukan hanya ahli fikih yang bisa menurunkan hukum pada fakta riil dilapangan. 

Semua orang dalam Negara Khilafah mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Di dalam Islam juga tidak ada hukum lain yang diterapkan, kecuali hukum Islam. 
Wallahu a’lam.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post