Oleh: Arbiah, S.Pd
Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2022 yang berlangsung selama dua hari, 14-15 Oktober 2022 dengan tema “APSAI Maju, Anak Indonesia Terlindungi”. Acara ini dilakukan secara hybrid dan diikuti oleh anggota APSAI pusat dan 18 APSAI daerah, serta dihadiri oleh menteri PPPA Bintang Puspayoga.
Salah satu agenda Munas dan Rakernas tersebut adalah menerima laporan pengurus APSAI Pusat 2016-2022 dan memilih serta melantik pengurus APSAI Pusat periode 2022-2027. Kegiatan yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, ini juga menyepakati langkah sinergis pusat daerah serta kolaborasi pemangku kepentingan untuk mendorong percepatan upaya menuju Indonesia Layak Anak 2030. (REPUBLIK.co.id, 16/10/2022).
Menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah dengan membuat program penghargaan Kota Layak Anak (KLA) di negeri ini, lantas masalah kekerasan terhadap anak akan selesai? Faktanya, masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak di kabupaten/kota peraih penghargaan KLA tersebab penghargaan KLA tersebut sekedar formalitas yang tidak disertai langka nyata.
Mirisnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terjadi, bahkan dalam rentang waktu yang dekat dengan penerimaan penghargaan tersebut. Sebut saja di Solo, misalnya, seorang pejabat BUMD Solo justru menjadi tersangka tindak pencabulan. Padahal, Solo menjadi peraih penghargaan KLA kategori Utama untuk kelima kalinya. Belum lagi wilayah-wilayah lain sebab kasus kekerasan seksual ibarat seperti gunung es yang terlihat hanya beberapa saja tapi nyatanya sangat banyak. Artinya predikat KLA tidak menjamin terwujudnya perlindungan atas anak.
IDOLA adalah ambisi besar, sayangnya tak disertai langkah nyata. Penghargaan KLA pun hanya formalitas, karena faktanya banyak Kabupaten/kota peraih penghargaan KLA. Nyatanya, anak masih menjadi korban kejahatan luar biasa di kota-kota yang dianggap layak anak, bahkan peraih kategori Utama selama lima kali, seperti Solo. Penghargaan ini ibarat pelecehan terhadap anak yang menjadi korban. Anehnya penghargaan tidak lantas dicabut atau dibatalkan. Makin nyata lah kalau IDOLA hanya sekadar mengejar gelar, namun tanpa aksi nyata maka Indonesia tak akan pernah mencapai IDOLA.
Berangkat dari problematika ini jelas akar permasalahannya adalah penerapan sistem kufur kapitalisme dalam kehidupan, sebab sistem kufur ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalah kehidupan apalagi masalah kekerasan terhadap anak. Penyelesaian pun mengunakan sistem tambal sulam yang dengan penerapan UUD atau melakukannya dengan sayembara dengan memberikan penghargaan seperti KLA yang hanya label saja sedang bukti nyata nihil praktiknya.
Miris hidup dalam kungkungan sistem kapitalisme yang asasnya manfaat, yang kebahagiaanya materi. Makanya permasalahan rakyat tidak pernah beres dan becus di selesaikan tetapi gilirannya itu masalah materi begitu cepatnya mereka bergerak dan berlomba-lomba tetapi kalau gilirannya ngurusin masalah rakyat pasti jawabannya itu bukan urusan saya! Itu urusannya PPPA lah, urusan Menag lah dan lain-lain dengan beribu-ribu alasan. Pertanyaan lalu tugas pemimpin itu apa? Apakah tugasnya berpidato contek di kertas, tugasnya matikan mic ketika rapat, atau tugas melegalkan UU malam-malam.
Dan sangat jelas bahwa tabiat pemimpin berkedok politik pencitraan yang lahir dari demokrasi, dimana menciptakan penguasa yang hanya mementingkan pencitraan untuk mempertahankan kekuasaannya, bukan menyelesaikan masalah dari akarnya dengan solusi yang sahih. Wajar pemimpin saat ini hanya mengejar pencapaian penghargaan. Ketika label penghargaan itu di dapatkan maka kondisi masyarakat akan baik-baik saja tetapi nyatanya itu hanyalah penghargaan yang tidak dibarengi dengan tindakan yang nyata. Inilah watak asli demokrasi pencitraan sebagai senjata yang mematikan. Kenapa bisa seperti itu karena dengan pencitraan penguasa bisa seenaknya melakukan berbagai tindakan yang baik kelihatannya tetapi faktanya masyarakat lah yang merasakan kesengsaraan. Demokrasi memang seperti itu membunuh tanpa menyentuh. Benar sekali membunuh masyarakat dengan mudah dengan kebijakan-kebijakanya, pencitraannya, dengan janji-janjinya.
Ini dampaknya ketika problematika tidak di sandarkan kepada hukum yang shohih ujung-ujungnya tidak akan pernah selesai-selesai bahkan akan menimbulkan permasalahan baru dan makin rumit plus puyeng. Untuk itu kita butuh solusi sistemik yang berasal dari sistem yang sahih, tidak lain adalah syariat Islam.
Karena hanya dalam naungan Islam perlindungan anak dapat diwujudkan. Sebab, Islam memiliki mekanisme berlapis-lapis dalam menjaga keselamatan anak dan mewujudkan perlindungan secara nyata.
Islam mewajibkan anak yang belum balig berada dalam pengasuhan orang tuanya yang hidup sejahtera. Islam juga mewajibkan orang tua untuk melakukan pengasuhan yang baik sesuai tuntunan Islam, juga pengasuhan yang lemah lembut yang menjaga fisik dan mental anak.
Islam memang membolehkan memukul anak ketika anak tidak salat tatkala berusia 10 tahun. Akan tetapi, hal ini untuk membangun kesadaran anak akan kewajiban salat. Selain itu, pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik dan membawa perbaikan, bukan pukulan menyakitkan dan menimbulkan luka, apalagi membawa celaka pada anak. Pukulan juga tidak diarahkan ke wajah atau tempat yang membahayakan, apalagi mematikan.
Ketika terjadi kekerasan terhadap anak sampai membunuh maka penguasa akan memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan yaitu sanksi qishas. Yang fungsinya sebagai pencegah atau Zawajir dengan hukuman ta'zir berupa tasyhir ( pewartaan), penyitaan harta, hukuman kurungan, hingga hukuman mati. Hukuman sanksi dalam Islam juga berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa. Sanksi dalam Islam akan memberikan hukum jera kepada pelaku dan ketika pun di laksanakan sanksi tersebut itu di lakukan di depan umum yang disaksikan oleh masyarakat sehingga akan memberikan hukuman jera baik kepada pelaku atau kepada masyarakat lain sehingga mereka tidak akan berniat apalagi melakukan perbuatan maksiat tersebut. Dan sebagai jawabir/penghapus dosa yang kita lakukan. Sanksi dalam Islam tidak akan menimbulkan masalah apalagi kerugian bagi rakyatnya.
Islam juga menetapkan adanya keimanan kepada Allah dan Hari Akhir sehingga setiap individu menyadari adanya pertanggungjawaban kepada Allah. Dengan ketakwaan yang kuat, semua individu (termasuk orang tua) akan senantiasa memberikan perlindungan terbaik bagi anak.
Ketakwaan ini pula yang membuat penguasa membuat dan menerapkan aturan yang memastikan semua anak terhindar dari segala bentuk kekerasan, serta melindungi dari berbagai ancaman. Walhasil, penerapan syariat Islam kafah dalam naungan Khilafah adalah jaminan perlindungan anak secara hakiki dalam kehidupan.
Wallahu'alam Bishawwab.
Post a Comment