Oleh: Endah Nursari
(Ummahat Peduli Umat)
Menjelang tahun politik, aparat penegak hukum meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan teroris. Hal ini tampak dari tindakan Sensus 88 Antiteror Polri yang baru saja menangkap 13 tersangka teroris di wilayah Nanggro Aceh Darussalam(NAD). Diketahui 11 diantaranya adalah jaringan Jamaah Islam (JI) dan 2 orang Jaringan Jamaah Ansharut Daulah(JAD).(Detik,22/07/2022)
Menurut pengamat politik Universitas Malikukussaleh, Al-Chaidar, tahun-tahun sekarang sangat berbahaya. Pada tahun politik, sumber daya kepolisian sudah tergerus ke banyak isu persiapan pemilu sehingga dikhawatirkan polisi lengah dan para teroris tidak terpegang. Jadi harus meningkatkan kewaspadaan karena agar riskan. (kompas,24/07/2022)
Isu terorisme sepertinya masih laku keras di negeri kaum muslim ini. Seolah tidak kehabisan para aktor, selalu saja ada pemainnya. Terlebih lagi pemerintah Jokowi berkomitmen memberantas terorisme hingga ke akar dan turut serta dalam perang melawan terorisme bersama negeri kampiun demokrasi (Amerika Serikat).
Namun, benarkah serangan terorisme berbahaya dan perlu diantisipasi jelang tahun politik? Adakah sesuatu yang dituju dibalik penggiringan isu terorisme?
Menjadi tanda tanya bagi publik mengingat suara umat muslim sangat dibutuhkan dalam pesta demokrasi (pemilu) saat tahun politik. Lagi pula apa kaitannya dengan perjuangan kelompok Islam?
Ada asumsi bahwa pemicu terorisme adalah radikalisme atau paham radikal. Bahkan ,ada yang mengatakan, "Radicalsm is only one step short of terrorism" (radikalisme hanya selangkah dari terorisme).
Artinya radikalisme dan terorisme dipandang berhubungan erat.
Radikalisme juga dikaitkan dengan paham keagamaan yang dituding radikal. Sebelumnya, publik memahami bahwa perang melawan terorisme berarti perang terhadap Islam. Sekarang publik turut memandang bahwa radikalisme terkait dengan "Islam radikal".
Sederhananya, ada opini yang dibangun ditengah publik bahwa Islam merupakan paham"radikal" yang berpotensi melahirkan aksi terorisme sampai saat inipun publik masih tetap menyaksikan/membaca berita terkait penangkapan semua teroris dan semua pelakunya ditetapkan sebagai tersangka.
Terkait bukti dan lain sebagainya, menyusul belakangan setelah penangkapan dan penetapan tersebut. Padahal terorisme sendiri masih menjadi tanda tanya besar bagi umat Islam. Siapa sebenarnya pelaku terorisme? Apa motif dibalik aksi tersebut?
Aparat penegak hukum menyatakan bahwa pelakunya datang dari kelompok Islam. Akan tetapi, pihak di balik pelaku tersebut masih sangat kabur dan gelap.
Ada hal menarik untuk kita ungkap. Santernya isu terorisme dan penangkapan kerap terjadi jelang tahun politik. Seolah ingin mengiring suatu persepsi bahwa kelompok Islam yang ingin menegakan Syariat bukanlah pilihan bagi publik, khususnya saat kontestasi politik 2024 nanti.
Para elit politik dan oligarki sadar, geliat perjuangan Islam sangat mengancam posisi mereka dalam kekuasaan. Ketua Forum Akademisi Muslim Indonesia(FAMI) Dr.M Kusman Sadik berpendapat umat Islam hanya menjadi tertuduh dengan adanya isu terorisme. Tujuan isu tersebut untuk menyerang umat Islam/mengekang umat Islam agar tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik (Al-Wa'ie)
Seperti saat Pilkada DKI lalu, "haram pemimpin kafir" menjadi isu terbesar. Isu tersebut semakin santer seiring adanya penistaan terhadap QS Al-Maidah:51. Kondisi ini pula yang kemudian melahirkan aksi 212 yang sangat fenomenal.
Semua ini tentu menyebabkan pemangku kekuasaan dan oligarki ketar ketir terhadap perjuangan Islam. Wajar jika mereka berupaya jangan sampai umat mengarahkan pandangannya pada kelompok Islam (yang memperjuangkan tegaknya Syariat) saat tahun politik. Bisa-bisa mereka tidak lagi meraih tampuk kekuasaan dan kepentingan untuk menguasai hajat hidup publik.
Waspadai "teroris" Politik dalam Demokrasi.
Makna"teror" ialah segala bentuk kegiatan dengan cara ancaman, pemerasan, agitasi, fitnah, dan lain sebagainya. Kalau kita tarik pada ranah pertempuran politik dalam demokrasi, kita akan menjumpai politik yang tidak lagi menggunakan etika dan akal sehat.
Terjadi politik pembunuhan karakter, politik uang, politik dagang sapi, politik suap, politik kambing hitam, atau pun politik pelenyap suara.
Dalam konteks komunikasi politik pun terhadap terorisme politik berupa penggunaan kekerasan dalam menghadapi lawan politik.
Kerap terjadi nalar politik adu domba yang merupakan teror politik yang harus diwaspadai hingga saat ini. Para politisinya pun sering melakukan "terorisme politik" seperti menguras uang rakyat (korupsi) menipu harapan berjuta rakyat setelah menjadi penguasa bahkan memanipulasi jumlah warga miskin dan politisi agama demi tujuan hidup pragmatis.
Kemudian mereka menutup berbagai kerusakan politik dan politisi dalam demokrasi dengan menggiring isu terorisme pada kelompok Islam.
Menggiring terorisme untuk menjegal Islam tidak akan mempan. Perjuangan penegakan Syariat dilakukan dengan dakwah bil hikmah, bukan aksi teror yang membuat kerusakan di mana-mana.
Ini adalah proses perjuangan yang bersifat edukatif dan argumentatif.
Tuduhan mereka terhadap perjuangan Islam dengan mengidentikan aksi teror merupakan wujud perang pemikiran yang sengaja digencarkan musuh-musuh Islam (Barat dan antek-anteknya). Barat paham ketika Khilafah eksis dan menerapkan Syariat Islam Kaffah akan menjadi momok menakutkan bagi mereka. Akhirnya muncul upaya menghalangi tegaknya Syariat dengan berbagai tuduhan dan istilah yang memonsterisasi dan menstigma agama Islam.
Ada beberapa upaya yang harus umat Islam lakukan. Pertama, berdakwah menjelaskan ajaran Islam. Jelaskan bahwa penegakan Syariat dilakukan dengan cara yang sesuai metode dakwah Rasulullah SAW, bukan dengan aksi terorisme.
Kedua, jelaskan ke tengah umat bahwa ancaman sebenarnya ialah kapitalisme. Sistem ini membuat berbagai kerusakan di segala bidang kehidupan bahkan menjadikan kesenjangan global mencapai titik ekstrem yakni 1% orang kaya di dunia ini memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan seluruh penduduk dunia.
Ketiga, sadarkan umat untuk peduli terhadap negeri dengan memilih sistem shohih dan pemimpin amanah. Yakni sistem Islam dan pemimpin amanah yang menerapkan Islam secara Kaffah.
Hanya Islam yang bisa menyelamatkan negeri ini dari kehancuran dan berbagai kerusakan.
Allah berfirman, "Kitab Al-Qur'an tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa."(QS Al- Baworoh:2)
Sistem Islam menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum dalam kehidupan. Tentu kita tidak boleh meragukannya dan wajib memperjuangkannya agar hukum-hukum Allah bisa diterapkan di semua lini kehidupan.
Wallahu a'lam bishawwab.
Post a Comment