PROBLEMATIS!! DEMI HAK ANAK LONGGARKAN ATURAN SISWA HAMIL DI TENGAH BUDAYA PERGAULAN BEBAS

Oleh: Helmy Agnya

Pergaulan anak-anak remaja Indonesia makin bebas. Tentu ini tidak terlepas dari 3 peranan yang berpengaruh dalam pendidikan.

Sebagaimana dilansir dari KOMPAS.com, Siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jumapolo, Karanganyar yang mengalami kontraksi saat jam pelajaran, akhirnya melahirkan bayi dan dinikahkan.

Kapolsek Jumapolo AKP Hermawan menjelaskan, pihaknya turut mendampingi kasus siswi SMA tersebut. Berdasarkan pengakuan siswi itu, dirinya dihamili oleh pacarnya dari SMA yang berbeda.

Perkara tersebut kemudian diselesaikan secara kekeluargaan. "Kedua pihak menyepakati keduanya dinikahkan, usia keduanya belum genap 19 tahun sehingga harus menempuh dispensasi nikah dari PA Karanganyar," kata Hermawan, seperti dikutip dari Tribun Solo, Jumat (9/9/2022).

Namun justru menuai protes terkait siswa yang tengah hamil, tak lagi mendapatkan haknya sebagai seorang siswa, bahkan untuk kembali mengikuti ujian pun tak lagi diberi kesempatan.

Berpatokan pada pasal 32 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, maka setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak terkecuali para siswi yang tengah mengandung.

Namun pada kenyataannya, siswi hamil tidak lagi mendapatkan hak yang sama dengan pelajar lainnya. Mereka justru dikeluarkan sehingga tidak dapat mengikuti Ujian Nasional (UN). Hal ini melahirkan keprihatinan dari Psikolog Anak dan Pendidikan Karina Adistiana.

Wanita yang akrab disapa Anyi itu mengungkap, setiap sekolah hendaknya melihat kembali pasal 32 UUD 45 saat akan menjatuhkan sanksi kepada siswi hamil. "Sebetulnya kembali ke pendidikan sebagai hak semua orang, termasuk siswi hamil. Jadi hak mereka untuk ikut ujian, baik lulus atau tidak," kata Anyi, ketika berbincang dengan Okezone, Jumat (5/4/2013).

Oleh karena itu, katanya, sangat penting bagi pihak sekolah untuk memiliki aturan dan Standar Operasional Program (SOP) yang jelas menyangkut kasus pelajar hamil. Tidak hanya kasus kehamilan, sanksi atas pelanggaran lain yang dilakukan pelajar pun harus disosialisasikan sejak awal kepada siswa maupun orangtua.

"Peraturan harus disosialisakan kepada para orangtua dan siswa. Karena masih sering anak sekolah tidak mengetahui peraturan dan sanksi saat melanggar. Ada hak dan kewajiban yang seimbang antara sekolah dan siswa," papar Anyi.

Pergaulan bebas menjadi problem besar didunia pendidikan, kasus siswa melahirkan di sekolah sepatutnya menyadarkan bahwa kelonggaran aturan (untuk siswi hamil) atas nama hak anak justru membuka lebar siswa hamil di luar nikah.

Bahkan itu akan menjadi angin segar bagi remaja (pelaku maksiat). Bila dibuka peluangnya mereka untuk bisa sekolah kembali dalam keadaan hamil, serta menambah daftar panjang kerusakan yang dilakukan remaja. Sudah lah rusak, tambah merusak. Naudzubillah.

Problem sistemik tak cukup solusi dengan melakukan penyuluhan tentang seks bertanggung jawab, tapi harus menyeluruh mengubah kurikulum Pendidikan dan tata pergaulan.

Apa yang kemudian terjadi Ini, tidak terlepas dari kurang berperannya 3 unsur yang berpengaruh pada pendidikan. Yakni, keluarga/orang tua, masyarakat, dan negara.

Orang tua yang belum bisa optimal dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik, yang tentunya orang yang pertama membekali diri anak-anaknya dengan ilmu, khususnya ibu. Disebabkan sebagian besar masih kurang menjadi gardan terdepan sebagai seorang ibu, dan sangat terbatas waktu di rumah.

Juga kehidupan di masyarakat pun semakin individualis, sehingga tak lagi peka dan menganggap pergaulan bebas sebagai hal yang lumrah, maksiat didepan mata tidak lagi menjadi urusan, nastaghfirullah. Demikian pula, negara yang berperan penting dalam mengambil kebijakan proteksi terhadap generasi, tak lagi bergigih tatkala menghadapi serbuan budaya asing yang merusak generasi. Semua ini tidak terlepas dampak dari penerapan sistem yang rusak sekuler liberal. Yang meminggirkan aturan Ilahi, demi tereksistensinya nilai-nilai liberal yang serba permisif, hingga tidak lagi menghiraukan norma dan agama.

Namun hal ini masih bisa dilakukan orangtua, sebagai peletak utama pendidikan bagi anak atau remaja. Di tengah arusnya menghadapi gelombang pergaulan bebas, sekulerisme liberal. Pertama, tanamkan akidah yang kuat kepada anak-anaknya, agar kokoh keyakinan mereka kepada Allah Swt, Alquran dan RasulNya. Serta hari akhir yang terhujam kuat dalam jiwa mereka. Akidah yang kokohlah, yang melahirkan takwa, meyakini bahwa Allah Swt maha melihat yang selalu mengawasi disetiap perbuatan mereka. Dan sikap ketakwaan itu akan menjadi rem bagi anak atau remaja dalam menghadapi gempuran pergaulan bebas serta, kemaksiatan lainnya.

Kedua, memberikan pemahaman tentang syariat Islam terkait pergaulan dan batasannya. Harapannya akan terbentuk akhlak yang baik sebagai buah dari mentaati aturan Allah Swt. Di samping itu, terwujudnya sebuah benteng pertahanan pada anak dari pengaruh lingkungan yang merusak tatanan nilai syar’i yang sudah didapatkannya sejak kecil. Maka pemahaman ilmu Islam inilah yang dapat membantu mengarahkan diri mereka, agar tidak jatuh pada lumpur nista pergaulan bebas.

Ketiga, mencari lingkungan yang kondusif atau komunitas yang baik untuk anak-anak dengan pergaulan yang baik. Hal ini penting karena teman akan mempengaruhi pemikiran, pemahaman, dan juga perilaku anak. Apalagi, di usia remaja biasanya rasa ingin tahu sangat besar dan cenderung ikut-ikutan dengan gaya hidup atau lifestyle teman-teman mereka. Nah, kehidupan di lingkungan ini sangat penting juga bagi anak-anak atau bahkan saat remaja sekalipun menjadi kehati hatian bagi orangtua untuk mengontrol. Bukan masa bodoh terhadap pergaulan anaknya.

Keempat, orang tua perlu melek gadget dan iptek agar bisa memantau pergaulan anak-anak terutama di dunia maya. Dunia maya atau dunia digital sarat dengan konten-konten yang campur aduk, antara yang baik dan buruk, antara yang sopan dan pantas dengan yang porno atau vulgar. Oleh karena itu, orangtua perlu memantau akses dunia maya anak-anaknya. Apatahlagi, dunia saat ini diliputi dengan kehidupan yang serba online, gadget menjadi tontonan utama yang kemungkinan besar disitu akan menjadi tuntunan bagi anak, jika orangtua jauh dari pengontrolan tersebut.

Kelima, namun kembali lagi dengan berbagai upaya yang dilakukan untuk membentengi diri anak atau remaja saat ini, tentu sangatlah berat. Karena sebaik dan sekuat apapun sebuah keluarga menjaga dan membentengi anak dari pergaulan bebas, jika masyarakat dan negara tak punya andil dalam membentengi problem ini, maka tentu tidak bisa akan terselesaikan secara tuntas.

Hanya akan menjadi problem yang akan terus melahirkan kerusakan lainnya. Ketika masyarakat dan negara masih premisif dengan nilai-nilai liberal, bahkan memfasillitasi berkembangnya pergaulan bebas dengan tetap membuka tempat-tempat prostitusi, dan membiarkan beredarnya konten-konten yang merusak, maka penjagaan keluarga berpeluang akan tergerus nilai liberal ini.

Karenanya, sangat dibutuhkan upaya untuk menjadikan masyarakat dan negara sebagai pengemban nilai-nilai dan aturan Islam yang menjadi benteng pertahanan menjaga generasi menjadi optimal. Upaya ini tidak lain dilakukan dengan dakwah Islam, mengajak seluruh lapisan masyarakat termasuk para pemangku kebijakan, agar menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Termasuk juga dalam aturan sosialnya, dengan memberikan sanksi atau hukum yang tegas terhadap semua bentuk pelanggaran pergaulan. Terlebih, hukum uqubat dalam Islam berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa di akhirat dan bersifat zawajir atau memberikan efek jera bagi pelaku kemaksiatan agar tidak melakukan hal yang serupa.

Hanya saja segala upaya untuk memberhentikan segala kemaksiatan serta pergaulan bebas, itu hanya akan benar-benar tertuntaskan apabila sistemnya adalah dari Islam. Sebab, Islam solusi fundamental dari segala problem kerusakan yang terjadi saat ini. Sebuah institusi politik Islam, yaitu Khilafah Islamiah.

Wallahualam A'lam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post