Permenag Tentang PPKS Bukan Solusi Mengatasi Kekerasan Seksual Disatuan Pendidikan

Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah

Fungsi dan tujuan dari pendidikan adalah mencetak generasi yang cemerlang, generasi yang hebat, generasi yang super power. Sedangkan faktanya sistem pendidikan selama ini masih banyak mengandung kelemahan dan kekurangannya. Salah satunya di dunia pendidikan itu sendiri begitu marak terjadinya kasus kekerasa seksual. Kalau sudah seperti ini sistem pendidikan akan terlihat semakin terpuruk tidak akan mampu membuat negeri ini menjadi negeri yang maju, tidak akan bisa melahirkan generasi yang super power, generasi yang memimpin dunia.

Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada dunia pendidikan membuat pemerintah beberapa kali merevisi UU seperti saat ini, Kementrian Agama (Kemenag) memberikan peringatan atau sanksi kepada satuan pendidikan atau sekolah di bawah Kemenag jika tidak melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus kekerasan seksual di setiap lembaganya masing-masing.

Hal ini tercantum dalam pasal 19 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Beleid sudah ditandatangani Menag Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Oktober 2022. Dikutip (kompas.com, 14/10/22).

Dalam aturan, sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif, berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penghentian bantuan, pembekuan izin, hingga pencabutan tanda daftar satuan pendidikan.

Adapun pencegahan oleh satuan pendidikan berupa sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola. Sementara untuk penanganan, meliputi pelaporan, perlindungan. Selain dari itu PMA juga mengatur terkait dengan satuan pendidikan, seperti melakukan sosialisasi, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, penyusunan SOP pencegahan. Satuan pendidikan dapat berkoordinasi dengan Lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan orang tua peserta didik. (www.kemenga.co.id, 13/10/22).

Jadi, pernyataan diatas merupakan sebuah peringatan dan sanksi yang didapatkan oleh siapapun yang melakukan kekerasan seksual. Peringatan ini diberikan kepada setiap pimpinan pendidikan, guru, peserta didik, bahkan juga masyarakat. Tapi, Yakin nggak sih aturan-aturan itu mampu mengatasi kasus kekerasan seksual?

Coba kita lihat problematika sebelumnya, kekerasan terhadap anak nyatanya sering terjadi di depan mata meski sudah ada beragam regulasi dan kampanye untuk mencegah kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan seksual? Bukankah ada Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual terhadap Anak pada 2014 dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) pada 2016?

Akan tetapi, berbagai gerakan tersebut tidak mampu mengurangi kekerasan seksual. Begitu juga adanya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah direvisi dua kali tapi tidak mampu menghentikan kekerasan seksual meskipun ada pemberatan hukuman, denda rupiah yang berlipat, bahkan hukuman kebiri kimia.

Fakta ini membuktikan regulasi tidak mampu menjadi solusi. Banyak faktor yang berperan terhadap maraknya kekerasan di satuan pendidikan di bawah koordinasi Kemenag. PMA PPKS sudah pasti tidak akan mampu memberantas dengan tuntas.

Pemberantasannya tentu membutuhkan langkah yang komprehensif yang menyasar kepada akar masalah, dan tidak cukup hanya di lingkungan Kemenag saja. Walau berkali-kali merevisi UU atau membuat UU baru untuk mencegah kekerasan seksual tetap tidak akan mampu menuntaskan masalah ini, karena yang barus dipahami adalah akar dari problematika tersebut. Permasalahan terbesarnya adalah terletak pada sebuah ideologi yang di embannya, yakni ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Sebuah ideologi yang dimana UU-nya dibuat berdasarkan hawa nafsu dan akal manusia yang terbatas.

Sebuah UU yang mandul tidak bisa mengharapkan solusi yang hakiki, justru yang terjadi kedepannya akan muncul regulasi dan problem baru. Selama hawa nafsu menjadi panglima, liberalisasi perilaku menjadi napasnya, kekerasan akan selalu ada. Inilah jerat sekularisme.

Sistem kapitalisme berbeda dengan sistem Islam yang memliki berbagai mekanisme yang mampu memberantas kekerasan seksual secara tuntas. Semisal dengan diterapkan hukum rajam dan cambuk bagi yang melakukan pelecehan seksual.

Regulasi yang berasaskan akidah Islam akan mampu secara nyata mewujudkan perlindungan sejati. Selain dari itu tujuan dari pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai Ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.

Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan Islam. Metode penyampaian pelajaran disusun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut. Tujuan utama dari pendidikan itu sendiri membentuk pola aqliyah dan nafsiyah yang Islami. Selain dari itu juga setiap masyarakat dan guru semuanya wajib mempelajari dan memahami Islam secara totalitas. Sehingga jika aqidah yang mereka emban mampu melahirkan pola aqliyah dan nafsiyah yang Islami maka mustahil pelecahan atau kasus kekerasan seksual terjadi pada dunia pendidikan.

Selain dari itu akidah Islam juga mendorong seseorang untuk berperilaku baik terhadap sesama, termasuk terhadap perempuan dan anak. Berlaku baik adalah perintah Allah Taala. Salah satunya dalam QS Al-Baqarah: 195, “Dan berbuat baiklah. Sungguh Allah mencintai orang-or ang yang berbuat baik.”

Rasulullah Saw, juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim 3729).

Dunia pendidikan saat ini membutuhkan pemimpin negara yang akan menjadi perisai yang akan mewujudkan pelindungan secara nyata. Pemimpin yang mampu menutup semua celah yang bisa memicu segala kekerasan seksual.

Semua itu hanya akan terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiah karena hanya Khilafah yang mampu menerapkan aturan Allah secara kafah dalam kehidupan.

Wallahu'alam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post