Pajak Melilit, Rakyat Tak Bisa Berkelit



Oleh: Endah Nursari 
(Ummahat Peduli Umat)

Fokus Chris Gardner termangu.
Nasibnya sungguh malang. Bisnisnya gagal, rumah tangganya karam, dan tidak punya tempat tinggal. Sedikit dolar dari hasil menjual dagangannya ternyata langsung dipotong dari rekening banknya untuk membayar pajak tanpa meminta persetujuannya. Uangnya pun habis tidak bersisa. 

Itulah cuplikan Film The Porsuit of Happiness yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Kejamnya penerapan pajak telah membuat kondisi Chris bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga.
Memang kisah Chris terjadi di Amerika bukan di Indonesia. Namun, jeritan kesedihan rakyat karena tekanan pajak juga membahana di Nusantara hingga muncul seruan #StopBayarPajak. 

Tagar ini viral di medsos beberapa waktu lalu. Viralnya seruan untuk berhenti membayar pajak adalah cermin kondisi  masyarakat yang terbebani dengan pungutan ini. 

Kondisi ekonomi masyarakat sudah berat sejak dihajar pandemi. Belum juga pulih, kini harga bahan pokok melejit. Beratnya beban membuat rakyat kian menjerit.
Ditambah lagi pada April lalu tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10%menjadi 11%. Meski tidak berlaku untuk semua komoditas, nyatanya kenaikan PPN mengerek harga berbagai barang.

Artinya pengeluaran bertambah sedangkan gaji "segitu-gitunya" saja. Dengan kondisi demikian, wajar seruan untuk berhenti membayar pajak bergaung di dunia maya. Ditambah banyak korupsi terjadi membuat rakyat makin skeptis terhadap penggunaan dana pajak.
Sayangnya, gaung seruan #StopBayarPajak tidak berlangsung lama.

Suaranya kini tidak lagi terdengar sebab pemerintah telah menegaskan bahwa pajak wajib dibayar rakyat. Menteri keuangan Sri Mulyani menyatakan mereka yang menyampaikan hastag tidak bayar pajak berarti  tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin melihat Indonesia bagus. (kontan,19/07/2022).

Demikianlah kekuatan sebuah sistem.Ketika sistem sudah mewajibkan sesuatu, rakyat terpaksa taat. Begitu pula ketika sistem mewajibkan pajak, rakyat pun tidak bisa menolak. Meski berat dan mencekik, rakyat terpaksa bayar juga jika menolak sanksi siap menanti.

Kini pemerintah getol menggenjot pemasukan pajak. Salah satu strateginya memperluas basis pajak. Pemerintah telah meresmikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP). Kebijakan ini berlaku mulai 14/07/2022 dan berlaku penuh pada 01/01/2024. Pemerintah memang menyatakan bahwa tidak semua orang yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak melainkan hanya yang mempunyai penghasilan diatas PTKP (penghasilan tidak kena pajak). 

Namun, dengan kebijakan ini tampak jelas bahwa strategi sapu bersih tengah dilakukan. Tidak ada celah bagi rakyat untuk tidak dipajaki. Bahkan emak-emak berdaster yang banyak menjadi penjual olshop (toko daring) pun bisa "tersapu" kebijakan ini.

Inilah yang terjadi ketika negara menganut sistem ekonomi kapitalisme. Pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Di sisi lain kekayaan alam yang Allah SWT berikan secara gratis untuk dinikmati umat justru banyak diserahkan ke asing dengan nilai yang sangat murah .
Memang cara paling mudah untuk mendapatkan pemasukan negara adalah dengan pajak. Tinggal memungut saja dari rakyat. Rakyat pun tidak bisa berkutik karena aturan mengikat secara ketat. Jika menolak tinggal kenakan sanksi. Rakyat pun jadi serba salah. 

Bayar pajak bikin kantong kempes, tidak bayar pajak akan dihukum. Ibarat buah simalakama.
Sekali lagi pajak, memang instrumen paling mudah sebagai penerimaan negara. Berbeda dengan pengelolaan kekayaan alam, pemerintah harus berfikir dan berusaha keras untuk mengekploitasi dari perut bumi lantas mengolahnya menjadi produk jadi. Mengurusi tambang dari hulu ke hilir tentu bukan perkara mudah. Oleh karenanya pemerintah mengambil "jalan ninja" yakni menggenjot pajak. Mudah, cepat, dan pasti jumlahnya.

Pertanyaannya sampai kapan rakyat seperti ini? Mirisnya ya selamanya. Selamanya rakyat akan dikejar pajak! Ibaratnya mau nyemplung sumur pun akan tetap dikejar. Ini karena pajak sudah menjadi penerimaan andalan dan akan terus menjadi andalan. 

Kalau bisa tiap tahun targetnya terus ditingkatkan 
Dalam kapitalisme, pajak berlaku selamanya alias permanen. Selamanya rakyat akan dipajaki bahkan subjek dan objek pajak akan  terus diperluas hingga tidak ada satu celah pun yang lolos dari pajak.
Kalau begini, kejadian yang dialami Chris tadi bukanlah tidak mungkin terjadi di sini yaitu ketika pajak langsung dipotong (didebit) dari rekening wajib pajak. Rakyat benar-benar tidak bisa berkelit dari pajak. Meski seseorang sedang ditimpa musibah, sedang bangkrut, ia dan keluarganya sedang sakit maupun kondisi beraneka lainnya, tidak ada jalan lain pajak tetap harus dibayar.

Benar-benar Zalim! Ironisnya itulah konsep pajak dalam sistem Kapitalisme yang jelas berbeda dengan konsep Islam.
Sistem ekonomi Islam tidak mengenal pajak sebagaimana kapitalisme. Memang ada istilah "dharibah" dalam Islam yang sering diartikan "pajak". Akan tetapi konsepnya sangat berbeda dengan pajak dalam kapitalisme sehingga tidak bisa menyamakannya.

Dharibah tidak diberlakukan secara permanen melainkan temporal. Saat kas negara Khilafah sedang kosong sedangkan ada kebutuhan darurat dan wajib ditunaikan, barulah dharibah dipungut. Ketika kas negara tidak kosong tidak ada pungutan dharibah.

Kapitalisme menjadikan semua warga negara pemilik NIK menjadi wajib pajak dan calon wajib pajak. Sementara itu Islam menetapkan dharibah hanya dipungut dari warga negara muslim yang kaya. Standar "kaya" dalam Islam sendiri sangat tinggi, yakni telah terpenuhi semua kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan juga memiliki harta simpanan dalam jumlah yang mencukupi.

Ini tentu berbeda dengan standar wajib pajak orang pribadi dalam kapitalisme yang menetapkan PTKP adalah sebesar Rp 54 juta/tahun atau Rp 4,5 juta perbulan.

Artinya dalam Islam pungutan dharibah terjadi secara adil karena hanya pada orang kaya. Fakir miskin tidak dipungut bahkan justru mendapatkan santunan dari negara. Negara tidak berlaku sebagai tukang pajak yang memakai apa saja yang dipajaki.
Tatkala kas negara sudah terisi dan kebutuhan yang darurat dan wajib sudah terpenuhi, pemungutan dharibah akan dihentikan. 

Jadi, dharibah tidak dipungut secara terus menerus seperti di sistem sekarang. Lebih dari itu semua, Khilafah tidak mengandalkan penerimaan negara dari dharibah. Negara akan bekerja keras mengelola SDA dengan kekuatan sendiri tidak menyerahkan kepada swasta. Dengan demikian hasilnya cukup untuk kemakmuran seluruh rakyat. 

Inilah bedanya Khilafah dengan Kapitalisme. Khilafah menyejahterakan, sedangkan kapitalisme justru menyengsarakan dan mencekik rakyat dengan pajak. Semestinya ini menjadi penguat kita untuk memenuhi seruan agar hidup dengan aturan-Nya.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Anfal:24 "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan sesungguhnya kepadaNyalah kita akan dikumpulkan."

Sekali lagi semoga umat semakin paham dan cerdas dan bersegera meninggalkan sistem kufur Kapitalis Liberalis dan segera beralih kepada sistem shahih Syariat Islam Kaffah dalam institusi Daulah agar Islam Rahmatan Lil A'lamin segera terwujud .

Wallahu alam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post