Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)
Penolakan keras masyarakat terhadap keputusan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) masih terus bergulir. Hampir tiap hari aksi demo dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat sebagai wujud penolakan terhadap keputusan tersebut. Tentu saja kenaikan harga BBM akan melahirkan efek domino yang dapat dipastikan semakin memberatkan hidup rakyat. Sebab, kenaikan BBM ini jelas akan berdampak besar bagi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Daya beli masyarakat bisa turun hingga memicu inflasi, sebagaimana pernah terjadi pada 1998 dan 2004. Banyak ekonom memprediksi kenaikan BBM dapat mendorong inflasi hingga 7%. Disisi lain, strategi pemulihan ekonomi yang ditawarkan tidak mampu menjadi solusi.
Dilansir dari detik.com pada Senin (5/9/2022), Dalam upaya pemulihan dan pencegahan, Bupati Bandung, Dadang Supriatna mendorong dan mengimbau kepada seluruh masyarakat agar memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami dengan tanaman kebutuhan pangan sehari-hari, dengan tujuan agar kebutuhan pangan bisa didapatkan dengan mudah. Kang DS juga mengingatkan kepada masyarakat maupun pihak lainnya untuk selalu hemat energi. Di samping itu, kata dia, Pemkab Bandung juga akan segera mengumpulkan PSM (Penggiat Sosial Masyarakat), maupun Puskesos untuk bisa mendata keluarga miskin. Hal ini untuk mendukung penyaluran bantuan kepada masyarakat kurang mampu. "Supaya dalam penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang berasal dari Presiden itu bisa disalurkan sesuai dengan peruntukannya dan titik fokusnya yang jelas dan termasuk mendata tenaga kerja," katanya.
Pemerintah telah mengeluarkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp600.000 untuk meredam dampak dari kenaikan harga BBM. Akan tetapi, Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menilai bahwa BLT BBM tersebut tidak cukup efektif meredam dampak kenaikan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM ini berdampak luas ke berbagai sektor perekonomian, mulai dari menaikkan inflasi, memangkas daya beli, menahan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, hingga meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Disisi lain BLT BBM yang disalurkan pemerintah hanya ke 20,6 juta rumah tangga dan hanya berlangsung 4 bulan dengan nilai yang relatif kecil. Sementara harga BBM pasca kenaikan tidak akan turun dalam waktu yang lebih lama. Kemampuan pemerintah menyalurkan BLT yang tepat sasaran pun masih perlu diperbaiki. Sebagai contoh, pada tahun 2021, 70 persen rumah tangga miskin tidak menerima bantuan sosial.
Tak bisa dipungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpendapatan rendah (low middle income country). Padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Namun sayangnya, penguasa yang ditugaskan mengelola potensi tersebut tidak mampu melakukannya dengan baik. Dari sisi pengelolaan BBM, penaikan harga BBM merupakan konsekuensi logis dari liberalisasi sektor hilir pengelolaan minyak dan gas (migas), setelah sebelumnya meliberalisasi sektor hulu.
Seperti dinyatakan dalam UU Migas No.22 Tahun 2001 yang merupakan pangkal liberalisasi migas, disebutkan dalam Pasal 9 bahwa kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir sebagaimana pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koprasi, usaha kecil dan badan usaha swasta.
Pertamina sebagai perusahaan plat merah pun harus bersaing dengan perusahaan migas asing. Berdasarkan pasal tersebut, negara hanya berperan sebagai regulator. Investor asing yang dulu hanya di hulu (eksplorasi) kemudian bisa di hilir membuka SPBU asing. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab apabila harga BBM masih rendah karena subsidi, maka perusahaan asing enggan masuk. Disinilah akar permasalahannya, dimana pemerintah salah dalam tata kelola kekayaan negara. Menaikkan harga BBM bersubsidi karena subsidi tersebut dianggap menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN ) hanyalah alasan semata. Sebab, faktanya yang lebih membebani APBN itu adalah pembayaran bunga dan cicilan utang yang pada tahun ini mendekati angka Rp700 triliun.
Dengan demikian, solusi yang ditawarkan pemerintah seperti melalui pemberian BLT BBM tidak akan mampu menyelesaikan kesulitan hidup yang dihadapi oleh rakyat. Selama liberalisasi pengelolaan sumber daya alam berlangsung, negara dan rakyat pasti akan terus dihadapkan dengan polemik ekonomi. Sehingga hakikatnya jalan pemulihan ekonomi yang tepat untuk dilakukan pemerintah adalah mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta (corporatebased management) menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management). Paradigma ini tidak dibangun secara asal-asalan akan tetapi sesuai sabda Nabi Muhammad saw. “Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud).
Dengan penguasaan sepenuhnya oleh negara, maka bisa didapat keuntungan sekaligus yakni sumber pemasukan dari APBN yang cukup besar untuk memenuhi berbagai kebutuhan negara. Disamping itu, negara akan mampu berlepas diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara. Hanya saja, pengelolaan kekayaan alam seperti ini hanya mungkin dilakukan dalam sistem yang benar dan adil, itulah sistem Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment