Oleh: Endah Nursari
(Ummahat Peduli Umat)
Banyak jurnalis mengatakan fenomena Citayam adalah fenomena kembalinya kota kepada warga. Banyak pula yang mengidentikan gerakan Citayam sebagai gerakan anti mainstream(arus utama) seolah-olah member ruang kepada kelompok yang termarjinalkan.
Merespon fenomena Citayam ini, ahli geostrategi dari Institut Muslimah Kenegarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara mengatakan harus melihat dari perspektif Islam. Kita tidak bisa melihat dari perspektif itu saja. kita harus mencoba melihatnya bagaimana dengan perspektif Islam," tuturnya dalam acara Rubrik Muslimah Negarawan:Pemuda Citayam: Bergaya atau Tak Berdaya? Senin (25/07/2022) melalui kanal Peradaban Islam.Id.
Fenomena Citayam adalah buah dari pembangunan kapitalistik yang berporos pada materi tidak memperhatikan pembangunan manusia.
Pembangunan kapitalistik membuat kerusakan di tengah masyarakat. Kualitas manusianya sekuler, individualistik, konsumtif, liberal, oportunis, dan hedonis. Pembangunan perkotaan yang kapitalistik melahirkan kesenjangan serta tidak punya mekanisme untuk menghapus kesenjangan itu. Kapitalisme memaksa manusia berkumpul dan hidup di perkotaan agar bisa mengakses sumber-sumber kehidupan di zona-zona pusat pertumbuhan ekonomi.
Maka, kerusakan yang paling nampak adalah konsumerisme serta liberalisasi keluarga muslim melalui industri gaya hidup.
Di sisi lain, aktor pembangunan, modal-modal pembangunan kebanyakan dari investor swasta, gratifikasi, suap, korupsi yang menjadi budaya.
Pemda atau Pemkot hanya meregulasi, memberi izin. Pada proses pemberian izin itulah sering ada transaksional, gratifikasi, upeti yang disetorkan (suap menyuap). Wajar kalau tidak ada keberkahan karena modal pembangunannya ribawi. Aktor pembangunannya dilingkupi budaya suap-menyuap, gratifikasi untuk memuluskan proyek, perputaran hartanya pun perputaran yang haram.
Kemacetan, kesemrawutan, banjir akhirnya terjadi. Dan yang lebih berbahaya yaitu kerusakan aspek mental, narkoba, pergaulan bebas, LGBT dll.
Berbeda dengan Islam, bangunan masyarakat dalam Islam berbeda dengan Kapitalisme. Dalam Islam, Rasul mencontohkan sebelum membangun secara fisik yang dibangun mental. Sebelum membangun peradaban yang megah, kota dengan kecanggihan dan kemajuan teknologi, yang dibangun adalah masyarakat dulu.
Sebagaimana dikatakan dalam hadits Al-Madinatu kal-kir," Rasulullah menggambarkan kota Madinah itu sebagai tungku api, yang membersihkan dari kotoran-kotoran masyarakat karena asas peradaban Islam, masyarakat Islam adalah ketaqwaan kepada Allah (akidah Islam).
Gambaran kehidupan Islam adalah menggabungkan materi dan ruh. Iman kepada Allah sebagai ruh yang terwujud dalam perbuatan-perbuatan taqwa di tengah masyarakat. Makna kebahagiaan adalah Ridha Allah.
Mengutip pendapat Imam Al- Mawardi agar kita bisa membangun dunia termasuk membangun perkotaan, masyarakat urban yang beradab wajib menanamkan 6 kaidah pokok.
Pertama,agama yang dianut (agama resmi negara); kedua,pemimpin yang berdaulat; ketiga, keadilan sosial bagi seluruh rakyat; keempat, keamanan dan ketentraman masyarakat; kelima, negeri yang subur; keenam, cita-cita yang luhur.
Kalau agama sejak awal sudah diabaikan, tidak hadir pada ruang-ruang publik, tidak hadir dalam ruang-ruang perkotaan, termasuk tidak hadir ketika generasi mudanya butuh diakui, butuh untuk dibesarkan, butuh untuk diberi apresiasi, ini yang akan menjadi persoalan.
Dakwah Islam tidak semata-mata membuat seseorang hijrah secara individual, tetapi dakwah Islam juga harus memberi sentuhan pada isu-isu yang lebih makro, hijrah peradaban, hijrah perkotaan, bagaimana masyarakat muslim perkotaan mengenal pembangunan perkotaan yang baik dan benar sesuai arahan Islam.
Para da'i dan Daiyah perkotaan harus bisa merespon ini di segala sisinya, bagaimana berkomitmen mengembalikan kehidupan Islam ini tergambar di benak masyarakat perkotaan, generasi perkotaan membangun mental mereka, membangun cita-cita mereka.
Penggabungan materi dan ruh ini seharusnya mengisi ruang-ruang publik menjadi inspirasi utama buat anak-anak di Citayam dalam mengekspresikan dirinya, mengekspresikan keimanan nya, mengekspresikan ketaatannya kepada Allah, bukan sekedar eksistensi dan aktualisasi.
Pengemban dakwah di perkotaan harus mampu menangkap tantangan ini. Para da'i harus betul-betul menguasai Medan dakwah, melakukan observasi Medan dakwah sehingga memiliki pemahaman utuh pada peristiwa. Materi dakwah dikaitkan dengan Al-Qur'an dan hadits tentang ruang hidup perkotaan dan tantangan generasi.
Sekali lagi umat harus paham agar generasi muda menjadi harapan bangsa sesungguhnya. Perlu adanya negara yang mengarahkan para pemuda dengan Islam Kaffah sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam sebuah institusi Daulah Islam Khilafatan ala Minhajjin Nubuwwah.
Wallahu alam bishawwab.
Post a Comment