Lip Service Kesejahteraan Ekonomi Bahari



Oleh: Ummu 'Alsiyah 

(Aktivis Muslimah)


Pada COP26 2021 lalu, Indonesia bersama negara-negara Archipelagic and Island States (AIS) Forum menyerukan pentingnya keterkaitan antara laut dan perubahan iklim. Perihal ini, negara-negara kepulauan dan negara-negara pulau kecil pun ditargetkan dapat menjadi bagian dari solusi global.


Program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengusung lima program Ekonomi Biru pada tata kelola sektor kelautan dan perikanan Indonesia, mendapat apresiasi dari Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Pujian tersebut disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal ASEAN Dato Lim Jock Hoi dalam surat resminya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta beberapa waktu lalu (insidepontianak.com 23/09/2022).


Pujian ini tampaknya hanya lip servis terhadap Indonesia, pasalnya Indonesia dan ASEAN tidak menuju perbaikan hakiki, namun hanya mengikuti arah program asing. Para kapital (pemodal) dan asing yang justru meraih banyak keuntungan, apalagi Asean dan Indonesia punya nilai strategis wilayah yang dikelilingi laut dan potensi kelautan yang besar.


Visi besar Poros Maritim Dunia tampaknya tidak akan lebih dari sekadar bumper ekonomi bagi G20. Kita ketahui, G20 sendiri dicanangkan sebagai katalis pemulihan ekonomi global yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Kita bisa mengukur, sejauh ini ekonomi negeri kita makin liberal. Kapitalisme dengan jejaring oligarki di dalam negeri telah begitu serampangan “mengendalikan” arah ekonomi negara ini atas nama kepentingan mereka sendiri, alih-alih atas nama rakyat.


Walhasil, di tingkat lokal tentu tidak akan jauh-jauh dari penciptaan berbagai proyek ekonomi yang akan menjadi hajatan oligarki. Labelnya saja yang tampak mentereng dengan istilah Poros Maritim Dunia, tetapi sejatinya polanya tiada beda dengan pesanan asing yang diinfiltrasikan untuk dilaksanakan di negeri ini dengan rezim penguasa sebagai fasilitatornya.


Sebagai negeri muslim, hal tersebut tentu tidak layak terjadi di Indonesia. Oleh karenanya, negeri ini membutuhkan kedaulatan hakiki yang bersumber dari ideologi sahih untuk menentukan arahnya sendiri. Bumi ini milik Allah, laut milik Allah, Indonesia pun milik Allah. Sangat tidak layak jika aturan yang diterapkan di negeri ini ternyata bukan aturan Allah.


Sungguh, janganlah kita hanya berbusa-busa soal blue economy jika realisasi dari konsep tersebut masih mengikuti arah pandang kapitalisme. Kemiskinan yang melanda masyarakat pesisir, ketika pada saat yang sama potensi bahari begitu besar, adalah ironi kronis yang sulit disembuhkan.


Rasulullah saw. Bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Laut, menurut hadis di atas termasuk ke dalam kategori air. Laut beserta seluruh potensi bahari dalam Islam adalah sumber daya kepemilikan umum (milik rakyat). Pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab penguasa negara untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat secara luas selaku pemilik potensi bahari tersebut. Negara semestinya berperan mewakili rakyatnya untuk mengelola potensi bahari sehingga tidak boleh terjadi privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun para pemodal komersial.


Dengan demikian, sangat penting untuk mengembalikan fungsi laut sebagai wujud pemeliharaan karunia Allah SWT. Jelas sekali, mengelola alam sebagaimana perintah Allah adalah mandat penciptaan dan amanah atas nama keimanan. Maka tidak semestinya pemanfaatan potensi bahari condong pada konsep dari selain Islam. Wallahu'alam bi shawab.


Post a Comment

Previous Post Next Post