Oleh Ummu Maryam
(Aktivis Dakwah Banua)
Kasus KDRT makin marak. Terlebih beberapa waktu lalu kasus ini dialami artis terkenal, sehingga semakin banyak pihak yang berkomentar.
Di antaranya ialah kaum feminis untuk menyerang syariat Islam, khususnya ayat yang membolehkan bagi suami untuk memukul istrinya. Juga soal apakah kasus ini harus dilaporkan, ataukah disembunyikan karena terkait aib suami? Akan tetapi, lagi-lagi hukum Islam yang dipersalahkan dan disudutkan.
KDRT bukanlah sesuatu yang bisa dilegalkan dengan dalih menegakkan nusyuz dan bahwasanya Islam secara mutlak melarang adanya KDRT. Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan setara di depan Allah Taala. Oleh karenanya, tindakan seorang istri yang segera melaporkan KDRT yang ia alami sudah tepat. Melaporkan KDRT juga bukan berarti membuka aib suami karena KDRT adalah tindakan kriminal yang harus mendapatkan hukuman setimpal. (Mubadalah, 30/09/2022).
Jika kita mencermati, pernyataan para pengusung feminisme tersebut tidak lepas dari pandangan mereka mendefinisikan KDRT. Dari sini sesungguhnya semua bermula. Inilah yang harus diwaspadai oleh umat Islam. Selain itu, ada upaya mereka untuk menyerang syariat Islam, yakni dengan menyerang QS An-Nisa: 34. Mereka menilai bahwa Islam melegalkan kekerasan dengan dalih menegakkan nusyuz. Padahal, Islam tidak membolehkan tindakan kekerasan kepada siapa pun, termasuk dalam kehidupan rumah tangga.
Demikian juga tentang kekerasan yang dinilai legal dengan dalih menegakkan nusyuz, tentu hal tersebut tidak dibenarkan Islam. Inilah yang akan kita buktikan, benarkah apa yang mereka tuduhkan terhadap Islam?
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan pada perempuan, baik secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu. Juga berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Sering kali, kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender. (daldukkbpppa.go.id).
KDRT adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang sebagiannya menimpa perempuan. Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. (daldukkbpppa.go.id).
Jika kita melihat definisi “kekerasan” versi kaum feminis di atas, tampak jelas mereka menggeneralisasi makna kekerasan itu sendiri, tidak menilai munculnya kekerasan itu entah akibat kesalahan pihak perempuan atau bukan.
Alih-alih menjadikan syariat Islam sebagai rujukan, mereka justru menyudutkan ajaran Islam. Dari sisi ini saja sangat jelas bahwa kita, sebagai Muslim, tidak boleh mengikuti definisi KDRT perspektif gender atau versi para pengusung feminisme.
Dalam Islam, tindakan seorang suami memukul istri karena pembangkangannya terhadap suami; ataupun ayah memukul anaknya yang sudah berusia 10 tahun, tetapi belum mau salat; tidaklah terkategori kekerasan karena syariat Islam membolehkan memukulnya, hanya saja dengan pukulan ringan dan tidak membekas.
Kaum feminis menuduh bahwa QS An-Nisa: 34 sebagai ayat yang membolehkan KDRT karena di dalamnya membolehkan suami untuk memukul istrinya. Tentu saja hal ini tidak benar. Islam justru memerintahkan suami untuk bergaul secara makruf dan tidak boleh menyakiti istrinya karena kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan.
Ini sebagaimana dijelaskan dalam beberapa nash, di antaranya QS an-Nisa: 19 dan beberapa hadis.
Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadis lainnya disebutkan, “Sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul istrinya) bukan orang yang baik di antara kamu.” (HR Abu Dawud)
Sedangkan kebolehan suami memukul istri adalah pada situasi tertentu, yaitu ketika istri nusyuz (membangkang terhadap suaminya), itu pun dengan syarat-syarat tertentu. Dapat dikatakan bahwa ayat ini kekhususan dari keumuman larangan memukul istri.
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” (TQS an-Nisa: 34)
Nusyuz adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak melakukan kewajiban atau melakukan keharaman (semisal tabaruj), seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti ia telah melakukan tindakan nusyuz. Jika seorang istri melakukan nusyuz, suami berhak untuk mendidik istrinya dengan memberikan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah Taala.
QS An-Nisa: 34 ini menjelaskan urutan atau tertib bagaimana suami memberikan pendidikan kepada istrinya. Tahap pertama adalah memberi nasihat. Kalau dinasihati tetap tidak patuh, maka ia sampaikan tahapan kedua. Tahapan kedua adalah memisahkan diri dari istri di tempat tidur, artinya tidak menggauli istri dan tidak tidur bersama istri, tetapi tidak boleh mendiamkannya. Kalau tetap tidak berubah, tahapan ketiga adalah dengan memukulnya dengan pukulan ringan, maksudnya pukulan yang tidak membekas sebagai ta’dib (pendidikan).
Terkait sanksi tahap ketiga ini, kaum feminis (terutama feminis Muslim) mempermasalahkannya dan menilainya sebagai tindakan KDRT. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Tidak mungkin Allah menzalimi hamba-Nya.
Dalam QS An-Nisa: 34, tidak diragukan lagi, Allah memang membolehkan suami memukul istrinya. Akan tetapi, ada tata cara secara syar’i, yaitu pukulan ringan, bukan pukulan keras atau brutal atau yang membahayakan.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab An-Nizhamul Ijtima’i fil Islam menyatakan bahwa “pemukulan” di sini, yang dilakukan oleh suami kepada istrinya, wajib merupakan pukulan ringan dan yang tidak menimbulkan bekas. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengatakan bahwa lafaz “dharaba” adalah simbol mengenai larangan melanggar aturan, yang apabila dilanggar, suami boleh menegakkan aturan, seperti memukul istri dengan kayu siwak pada bahu sebanyak tiga kali.
Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa pukulan dari suami kepada istri tidak boleh menimbulkan luka. Tidak boleh sampai mematahkan tulang atau sampai merusak atau mengubah daging tubuh. Misalnya, sampai memar atau tersayat lecet merah. Apalagi sampai mematahkan tulang, jelas tidak boleh. Selain itu, pukulan itu harus dilakukan pada anggota tubuh yang aman, misalnya bukan pada anggota tubuh yang rawan atau membahayakan, seperti di perut. Kemudian, kalau menggunakan alat, tidak boleh alat besar semisal cambuk atau tongkat, melainkan yang kecil, seperti siwak atau sikat gigi.
Dari seluruh penjelasan nash dan pendapat ulama, sesungguhnya tidak benar tuduhan kaum feminis bahwa QS An-Nisa: 34 merupakan pelegalan adanya KDRT dalam Islam. Di samping banyak nas yang menjelaskan keharusan bergaul makruf dan larangan menyakiti istri, ayat ini sebenarnya berkaitan dengan kondisi khusus, yaitu adanya nusyuz yang dilakukan istri.
Lebih dari itu, pada prinsipnya, pukulan suami kepada istri tidak untuk melukai atau menyakiti, melainkan bertujuan untuk memberi pelajaran. Bukan pula sembarang pukulan, melainkan pukulan yang tidak membekas dan bukan di tempat yang rawan.
Pukulan ini pun menjadi langkah ketiga ketika langkah kedua tidak berhasil, yaitu tidak dapat memperbaiki sikap istri yang menunjukkan gejala-gejala nusyuz atau tidak taat suami dalam urusan hak dan kewajiban pasutri. Namun, apabila istri kembali taat, serta meninggalkan dan tidak melakukan dosa, seorang suami tidak boleh mencari-cari kesalahannya dan tidak boleh mengganggunya.
Dalam sebuah hubungan keluarga, khususnya hubungan pasutri, selalu ada kurang dan lebihnya di mata pasangan masing-masing, baik di mata sang istri maupun suami. Kekurangan maupun kelebihan ini tentu saja tidak lepas dari manusia sebagai makhluk yang telah Allah ciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing. Oleh karenanya, pada dasarnya Islam melarang pasutri untuk membuka aib pasangannya.
Dari Abu Sa’id al-Kudriy, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah Swt. pada hari kiamat adalah seorang pria yang menuaikan hajatnya kepada seorang wanita (istrinya) dan ia menunaikan hajatnya kepada pria tersebut (suaminya) kemudian pria tersebut menyebarkan rahasianya.” (HR Muslim)
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa segala bentuk kekurangan dan aib pasangan merupakan rahasia besar antara pasutri yang mutlak dijaga dari pandangan atau pendengaran orang lain.
Menjaga rahasia mengenai aib atau kekurangan pasangan adalah amanah dari Rasulullah saw. Tidak salah jika Rasulullah mengatakan, ” … seburuk-buruk manusia,” kepada mereka yang suka membeberkan rahasia atau aib pasangannya kepada orang lain. Ini karena mereka telah menghianati pasangannya dan menghianati amanah Rasulullah saw.
Ketika dua orang telah menikah, keduanya telah menjadi satu bagian. Mereka bagaikan pakaian bagi satu sama lain dan fungsi utama pakaian adalah menutup aurat. Artinya, masing-masing harus berusaha menutupi aib pasangannya dan pantang mengungkapkannya kepada orang lain, meski keluarga sendiri.
Mengumbar aib keluarga adalah salah satu perbuatan tercela. Pelakunya tentu tidak akan mendapatkan kebaikan sedikit pun dari Allah Taala, baik di dunia maupun akhirat. Akan tetapi, bagaimana dengan kasus KDRT?
Imam An-Nawawi dalam karyanya, Al-Adzkar li An-Nawawi, menyebutkan ada beberapa kondisi seseorang diperbolehkan membuka aib orang lain, termasuk pasangan. Di antaranya ketika melaporkan sebuah kezaliman dan dalam rangka untuk menghentikan kezaliman itu (amar makruf nahi mungkar).
Dengan demikian, dalam Islam, seseorang yang dizalimi bisa melaporkannya kepada penguasa, polisi, atau hakim. Terlebih jika kezaliman itu membahayakan istri atau bahkan telah mengancam jiwa.
Telah nyata di hadapan kita, banyak pihak yang hendak mengelabui umat Islam dengan mencari-cari kesalahan hukum Islam, bahkan menggunakan ayat Al-Qur’an atau hadis yang mereka takwilkan sendiri tanpa mengindahkan aturan-aturan-Nya. Oleh sebab itu, umat Islam harus selalu waspada terhadap mereka.
Di sinilah pentingnya bagi umat Islam untuk memahami hukum-hukum Islam dengan benar dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Islam memiliki aturan lengkap dan terperinci tentang segala hal, termasuk perihal KDRT. Seorang suami tidak boleh semena-mena memukul istrinya, kecuali pada situasi yang dibenarkan syara, yaitu tatkala istri membangkang terhadap suaminya.
Benarlah, hanya sistem Islam yang sungguh-sungguh menuntaskan masalah ini hingga ke akarnya. Termasuk masalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Wallahu a'lam bishawab.
Post a Comment