DEMOKRASI: SISTEM RAMAH KORUPTOR

Oleh: Arbiah, S.Pd

"Tumpul ke atas, tajam ke bawah" hukum akan tumpul atau memihak kepada orang yang mempunyai jabatan dan berduit banyak, hukum akan tajam kepada orang yang miskin. Begitu kondisi hukum di negeri +62.

Hukum hanya diperoleh dari yang berduit, bagaimana tidak kasus korupsi yang menjamur di negeri ini di berikan remisi kepada para koruptor. Remisi koruptor jadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor itu menjadi lebih pendek karena dipotong remisi. Aturan remisi koruptor sendiri termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Indonesia Corruption Watch (ICW) tak habis pikir dengan 23 koruptor mendapat remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu semakin menunjukkan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa. (detikNews, 07/09/2022)

Miris bukan? Ada yang lebih miris lagi. Publik kini tengah menyoroti soal eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg. Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali menjadi caleg. (Beritasatu.com, 28/08/2022).

Indonesia sebagai sarang bagi tikus-tikus berdasi yang terus menjamur bagaimana tidak hukum pada negeri wakanda memberikan kelonggaran bagi para koruptor.

Koruptor dibebaskan bersyarat tanpa penjelasan cukup ke public, pemerintah berdalih ini sesuai aturan. Begitu pula mantan korupsi tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik ini makin menegaskan bahwa sistem demokrasi sangat ramah terhadap koruptor dan memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik.

Begitulah wajah asli demokrasi, sebab asas kebahagiaannya adalah asas manfaat. Maka asas manfaat yang di peroleh, mereka-mereka yang berdasi duduk di kursi jabatan tujuannya untuk meraih asas manfaat. Menggapai asas kebahagiaan mereka yaitu mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya agar mereka berfoya-foya dengan cara yang kotor mengisi perut-perut buncit mereka.

Sebab, tanpa mereka melakukan perbuatan mencuri itu, mereka tidak akan mampu mengembalikan modal-modal mereka yang digunakan ketika kampanye, membuat beliho, menyuap suara rakyat. Hal ini dibutuhkan biaya yang sangat besar bukan! bahkan mencapai milyaran. Ketika mereka menang dalam pemilu dan mereka dilantik menjadi DPR lah, MPR lah dll. Jalan yang mereka peroleh untuk mengembalikan modal mereka yang di gunakan adalah dengan jalan korupsi. Apalagi orang yang duduk di kursi jabatan tadi orang mencintai dunia maka dia akan melakukan segala sesuatu untuk meraih dunia.

Dan paling penting untuk mempermudah mereka melakukan aktivitas itu dan agar tidak ada orang yang mencegahnya ya tentu dengan menyediakan senjata terbaik mereka dengan membuat UUD yang meringankan hukuman bagi koruptor, bahkan memperbolehkan para koruptor untuk ikut lagi menjadi caleg.

Permasalahan koruptor di negeri wakanda tidak pernah berkurang malahan pergantian tahun semakin bertambah. Sebut saja pada 2018 1.053 perkara dan 1162 terdakwa. Pada 2019 terdapat 1.019 perkara dan 1.125 terdakwa. Terakhir pada 2020 terdapat 1.218 perkara dan 1.298 terdakwah. Dan bagaimana dengan data pada tahun 2021, 2022? Apakah makin berkurang atau malah bertambah.

Ya begitulah kondisinya, sebab Indonesia surga bagi para koruptor, kenapa tidak? Karena Indonesia adalah pabrik penghasil koruptor dengan hukum yang memihak kepada korup. Inilah pejabat-pejabat yang di hasilkan oleh demokrasi, yang asas manfaat sebagai kebutuhan mereka dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya sebagai asas kebahagiaan mereka yang tentunya tanpa memperhatikan halal haram yang masuk dalam perut mereka.

Dan hal ini berbeda dengan Islam, orang yang bertaqwa, mencintai akhirat di bandingkan dunia, mementingkan kebutuhan rakyat di bandingkan dirinya dll. Orang-orang yang seperti ini yang pastinya dihasilkan dari penerapan syariat Islam. Sebab meraih rida Allah SWT. sebagai asas kebahagiaannya. Jangankan untuk melakukan aktifitas korupsi aktivitas kecil yang mengantarkan kepada kemaksiatan saja tidak akan berani. Sebab mereka menanamkan di dalam diri mereka bahwa perbuatan itu akan di hisab oleh Allah SWT. di hari akhir kelak. Sebut saja khalifah Umar bin Khattab ketika beliau menjadi Amirul mukminin beliau adalah yang paling sederhana. Kisahnya ketika beliau hendak salat berjama'ah di masjid beliau menunggu bajunya terlebih dahulu kering sebab beliau hanya memiliki dua helai pakaian sehingga beliau terlambat untuk menunaikan solat berjamaah. Inilah salah satu gambaran kisah kehidupan sederhana khalifah Umar dan masih banyak lagi gambaran kehidupan pemimpin masa lalu. Kalau kita bandingkan dengan pemimpin dan para pejabat saat ini sangat jauh berbanding terbalik.

Alasannya kenapa bisa seperti itu? Jawaban adalah karena penerapan sistem yang berbeda yaitu kapitalisme dan Islam. Negara kita saat ini menerapkan sistem kapitalisme melahirkan pemimpin yang zalim sedang dulu yang di terapkan adalah Islam yang melahirkan pemimpin yang beriman dan bertakwa. Islam menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri dan begitu juga dengan pelaku korupsi maka hukumannya sama yaitu potong tangan sesuai berapa banyak harta yang di curi. Hukum ini diterapkan sesuai syariat Islam yang berfungsi sebagai pencegah atau Zawajir dengan hukuman ta'zir berupa tasyhir ( pewartaan), penyitaan harta, hukuman kurungan, hingga hukuman mati. Hukuman sanksi dalam Islam juga berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa.

Wallahualam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post