Bagaimana Islam Memandang BBM


Oleh : Fina Fauziah
 ( Aktivis Muslimah & Pegiat Literasi )

JAKARTA, KOMPAS.TV- Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus memperkirakan, tingkat kemiskinan akan mencapai 10,3 persen pada September 2022 karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).“Setelah dianalisis, potensi kemiskinan itu bisa melebihi tingkat kemiskinan di saat pandemi COVID-19, mungkin bisa mencapai 10,3 persen di September 2022 sehingga harus ditambah bantuan sosialnya,” kata Ahmad Heri seperti dikutip dari Antara, Rabu (21/9/2022). Ia menjelaskan, kenaikan harga BBM akan membuat inflasi secara tahunan pada September 2022 mencapai 1,86 persen dan inflasi tahunan sepanjang 2022 mencapai 7,7 persen. Kenaikan BBM juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. “Pertumbuhan ekonomi juga akan berkurang minus 0,02 persen dengan kenaikan harga BBM, dengan konsumsi rumah tangga berkurang 0,65 persen dan investasi 1,7 persen,” ujarnya. Kemudian, pendapatan riil masyarakat di pedesaan bisa menurun 1,28 persen sampai 1,63 persen akibat kenaikan harga BBM, sementara pendapatan riil masyarakat di perkotaan bisa menurun 1,15 persen sampai 2,58 persen.

Jika mau jujur, utang negaralah yang jadi beban bukan subsidi BBM. Maka, subsidi BBM ini adalah hak rakyat dan tidak boleh dijadikan beban. Utang negara membengkak itu siapa yang menikmati? Dilansir dari djppr.kemenkeu.go.id, utang dilakukan adalah pembelanjaan yang tidak bisa ditunda, seperti fasilitas kesehatan, ketahanan pangan, belanja infrastruktur dan pendidikan. Mengkritisi soal belanja infrastruktur, seharusnya pemerintah juga berkaca ketika akan membangun infrastruktur. Banyaknya infrastruktur yang dibangun dan berakhir mangkrak alias belum ada kelanjutannya lagi. Ini harus jadi koreksi penguasa, jangan genjot infrastruktur kalau ternyata hasil dari utang. Sudah saatnya pemerintah memikirkan pembiayaan sektor publik dengan mandiri. mengurusi rakyat dan meringankan bebannya adalah kewajiban negara. Negara ada untuk mengurusi urusan umat, bukan untuk berbisnis dengan umat. Sekalipun seperti listrik, BBM, dan lain-lain memungut biaya, seharusnya biaya itu akan dikembalikan pada rakyat dengan makin berkualitasnya fasilitas-fasilitas umum. Lalu, untuk apa negara ada, jika mereka menganggap rakyat adalah beban? Mereka digaji dari uang rakyat untuk mengurusi urusan rakyat, tetapi mengapa menganggap rakyat beban? Inilah paradigma kapitalisme sekuler yang rusak.

Islam memandang bahwa kebutuhan akan bahan bakar minyak adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara karena berpijak pada hadis dari Rasulullah SAW berikut :

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Hadis tersebut menyatakan bahwa ketiga unsur itu merupakan milik kaum Muslim sehingga tidak boleh dimiliki oleh individu. Pengelolaan ketiganya diserahkan pada negara yang hasilnya diberikan untuk kemaslahatan kaum Muslim. BBM sendiri merupakan bagian dari unsur api yang termasuk dalam hadits tersebut, maka memfasilitasinya dengan harga murah bahkan gratis merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara.  Negara tidak boleh mengkomersilkannya untuk kepentingan negara apalagi untuk individu-individu pejabat dalam pemerintahan.Adapun, terkait penentuan harga BBM yang selalu dikaitkan dengan harga internasional, sejatinya negara Islam sistem ekonominya berdiri secara independen tidak berada di bawah bayang-bayang negara lain sehingga memiliki kemandirian dalam ekonomi.Potensi untuk menjadi negara mandiri secara ekonomi dan politik sebenarnya dimiliki oleh Indonesia tinggal memiliki political will untuk berani terlepas dari cengkraman negara lain dengan melepaskan ikatan sistem kapitalisme menuju sistem Islam yang notabenenya Islam ini menjadi agama mayoritas di negeri ini. 

Post a Comment

Previous Post Next Post