'September berduka', itulah ungkapan yang tepat untuk kondisi keadilan Negara Indonesia saat ini. Bagaimana tidak sebanyak 23 narapidana kasus korupsi bebas dari penjara, para koruptor itu menghirup udara bebas setelah menerima program pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Dilansir dari tempo.co, Sabtu 10/09/2022, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Omar Syarief Hiariej, menyatakan bahwa pembebasan bersyarat, remisi, asimilasi, dan hak-hak terpidana yang merujuk kepada UU Nomor 22/2022, itu sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ke-23 nama itu, di antaranya Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari bebas dari Lapas Kelas IIA Tangerang. Bersamaan dengannya ada mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Selain itu, ada juga Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Mantan Gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli, serta Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang bebas dari Lapas Kelas I Sukamiskin. Padahal napi-napi koruptor ini bukan justice collaborator.
Dan tidak cukup hanya kebebasan dari penjara saja yang didapatkan para mantan napi koruptor. Mantan napi koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang mantan koruptor untuk kembali menjadi caleg.
Inilah konsekuensi dari penerapan sistem sekuler demokrasi, sistem yang membuat agama dipisahkan dari kehidupan, kedaulatan hukum diletakkan ditangan manusia, sehingga hukum yang diterapkan saat ini merupakan hasil dari akal manusia. Padahal akal manusia itu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, akal manusia tidak mampu menjangkau sesuatu yang tidak diinderanya, yang dimana akal manusia kadang menilai sesuatu merupakan kebaikan padahal sesuatu itu keburukan dan sebaliknya.
Mantan korupsi tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik, menegaskan bahwa sistem demokrasi sangat ramah terhadap koruptor, pemerintah sudah tidak memiliki legitimasi untuk mengetaskan dengan serius pemberantasan korupsi justru memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik, padahal jelas mereka orang yang tidak mampu menjaga amanah jabatannya.
Dan hal ini tentu berbeda dengan sistem yang diterapkan oleh Institusi Khilafah, dalam Islam kedaulatan hukum ada ditangan As Syar'i,
اِÙ†ِ الۡØُÙƒۡÙ…ُ اِÙ„َّا Ù„ِÙ„ّٰÙ‡ِؕ
"Keputusan itu hanyalah milik Allah." (QS. Yusuf ayat 40)
Maka ketika syariah telah menetapkan suatu perbuatan itu tercela, sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Artinya sistem sanksi Islam tidak melihat besar kecilnya sebuah kejahatan. Dan syariah telah menetapkan suatu perbuatan tercela sebagai dosa (dzunub) harus dikenai sanksi (uqubat), jadi dosa itu subtansinya adalah kejahatan. Sistem hukum dalam Islam yang berfungsi sebagai penebus dosa dan memberikan efek jera mampu menghalangi orang lain untuk tidak mengikuti jejak kemaksiatan orang lain.
Untuk itu, dalam menangani kasus korupsi Islam memberikan sejumlah sanksi yang berefek jera sesuai hasil ijtihad Khalifah, hukuman takzir bagi koruptor bisa berbentuk publikasi tindak korupsi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati sesuai pertimbangan harta yang dikorupsi.
Dalam melakukan penyelidikan, Khalifah melakukan penghitungan harta para pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada penambahan harta, negara akan melakukan verifikasi untuk mengetahui penambahan harta itu bersifat syar’i atau tidak. Dengan demikian, seluruh elemen negara berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi. Demikianlah Islam menjaga harta umat agar tidak disalahgunakan oleh pejabat yang tidak amanah. Wallahu'alam
Post a Comment