Oleh : Leny Agustin S.Pd
(Aktivis Muslimah)
Korban kekerasan seksual pada anak terus meningkat. Kasus penyekapan dan eksploitasi seksual anak di bawah umur mencuat ketika remaja putri berinisial NAT (15 tahun) mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. Sebelumnya, korban NAT tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh terlapor berinisalial EMT adalah pekerja seks komersial (PSK). Selama 1,5 tahun itu ia menghasilkan uang sebagai pemuas nafsu para pria hidung belang. (Republika, 19/9/22).
Di Sumba, Lembaga Save the Children melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan terhadap anak dan 28 kasus kekerasan terhadap perempuan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lembaga kemanusiaan itu menyatakan bahwa tingkat kekerasan terhadap anak dan perempuan di kawasan NTT cukup tinggi.
Menurut Manager Save and Children wilayah Sumba, David Walla saat workshop jurnalis sahabat anak NTT "Kasus kekerasan terhadap anak didominasi kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan," (Tempo, 13/9/22).
Program Kota Layak Anak (KLA) Mandul?
Pada tahun 2021, telah lahir Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Adapun Kota Layak Anak (KLA) adalah Suatu pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak.
Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Namun sangat kontradiktif dengan realita, kekerasan terhadap anak tak kunjung turun malah makin beragam modus dan makin banyak korban. Hal ini mengindikasikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan kemandulan program KLA untuk memberi jaminan sistem dan lingkungan yang dibutuhkan anak.
Adanya Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 15/07/2022 lalu sepertinya juga sekadar memberi harapan palsu.
Perlindungan anak di Indonesia masih sebatas cita-cita jika masih bertengger pada sistem sekular yang bertumpu pada materi dan pemuasan hawa nafsu. Individu memiliki ketakwaan rendah yang berakibat menipisnya rasa malu ketika melakukan pelanggaran hukum syara'.
Penjaminan Kesejahteraan Anak Secara Sistemik
Perlindungan terhadap anak dapat dimaksimalkan ketika semua lini bekerja sebagaimana mestinya. Memenuhi hak-hak anak sesuai fitnahnya seperti menjamin nafkah bagi setiap warga negara termasuk anak-anak yang masih memiliki orang tua lengkap ataupun yatim, menjamin ketakwaan individu dan memastikan bahwa masyarakat terikat dengan hukum syariah agar timbul rasa takut melakukan sesuatu yang berujung dosa.
Pengaturan informasi harus dibatasi agar sesuatu yang batil seperti pornografi bisa dicounter bahkan dihapus agar tidak mencemari pemikiran anak maupun masyarakat sehingga menimbulkan kemudharatan. Termasuk di dalamnya mengatur hubungan pria & wanita agar sistem pergaulan tidak membuka peluang mengumbar syahwat. Begitupula pendidikan, standar anak-anak di Indonesia rentan usia 0-18 tahun. Fungsi pendidikan jika dikembalikan sebagaimana mestinya digunakan untuk meningkatkan ketakwaan individu, menanamkan kepribadian islami yang bertakwa kepada Illahi robbi. Wallahu 'alam bis shawab
Post a Comment