Perubahan pola seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan mulai diterapkan pada 2023, namun sejumlah pengamat pendidikan mengingatkan bahwa sistem baru itu harus diikuti perubahan pola mengajar guru yang mengutamakan pemahaman para siswa.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan akan menghapus tes mata pelajaran dalam seleksi bersama masuk perguruan tinggi (SBMPTN), dan menggantinya dengan tes skolastik yang menekankan pada kemampuan bernalar dan berpikir kritis.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengumumkan akan mengubah sistem penenerimaan mahasiswa baru melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Pemerintah berencana akan menghapus tes mata pelajaran atau tes kemampuan akademik (TKA) di SBMPTN.
Langkah perubahan SBMPTN dilakukan, karena materi TKA dalam SBMPTN dirasa sangat membebani peserta didik maupun guru. Dimana ujian dilakukan dengan menggunakan banyak materi dari banyak mata pelajaran yang secara tidak langsung memicu turunnya kualitas pembelajaran. Selain itu, banyak siswa yang harus melakukan bimbingan belajar (bimbel) di luar sekolah.
Perubahan syarat ini jelas berdampak pada kualitas input mahasiswa PTN, dengan pembelajaran berbasis kampus merdeka maka bisa dibayangkan bahwa output PTN makin jauh dari kualitas mumpuni sebabagai intelektual muda. Namun, pengamat pendidikan, Itje Chodijah, mengatakan bahwa kapasitas guru di Indonesia yang masih rendah menjadi tantangan terbesar dalam implementasi kebijakan itu.
Selama ini, guru-guru terbiasa mengajar dengan kurikulum yang padat karena para siswa ditargetkan mengikuti sistem seleksi perguruan tinggi dengan materi yang penuh hafalan.
Hal yang senada di lamsir dari sumber lain menanggapi kebijakan tersebut. Menanggapi rencana perubahan SBMPTN, Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Mohammad Nasih menuturkan bahwa hal tersebut perlu diperinci dan ditinjau ulang, terutama mengenai lintas jurusan. Menurutnya, peminatan sejak SLTA tetap perlu dipertimbangkan agar peserta didik dapat mengikuti perkuliahan dengan baik.
“Meskipun sesungguhnya tesnya adalah tes skolastik semata, tetapi di semua hal termasuk kemungkinan akan ada persyaratan tertentu di prodi-prodi tertentu itu,” kata Nasih seperti dikutip dari laman unair.ac.id.
Gagasan yang hendak dilaksanakan harusnya digodok matang terlebih dahulu, jangan sampai para generasi mejadi kelinci percobaan . Karena sungguh disayangkan potensi pemuda yang harusnya dilejitkan tapi dibingungkan dengan adanya aturan yg berubah ubah.
Hasil riset terbaru, praktik plagiarisme meningkat di kalangan mahasiswa selama pembelajaran daring (kompas.com, 12/7/2020). Berbagai bukti rusaknya integritas output pendidikan tinggi akibat kurikulum sekuler, tidak lantas menjadikan negara ini mengkaji ulang kurikulum, karena standar kompetensi kurikulum sekuler adalah terserap di dunia kerja meskipun miskin integritas.
Mahasiswa dididik untuk peduli dengan lingkungannya. Mereka dibekali idealisme yang tinggi. Tak mengherankan mereka berani turun ke jalan demi memperjuangkan sebuah kebenaran. Sayangnya, semua itu tak bernilai bagi sebagian orang. Dalam kondisi aksi di mana-mana, ancaman demi ancaman datang silih berganti.
Jika sistem yang ada berbau kapitalisme sekuler, maka pendidikan keluarga pun tak lepas dari pengaruh kapitalisme sekuler. Meski ada keluarga yang mendidik anaknya dan menjaga dari pengaruh sistem ini, mereka akan merasakan berat. Sebab, lingkungan dan kebijakan negara berlawanan dengan pemikiran mereka.
Sistem kapitalis yang menjadikan materi sebagai tujuan hidup akan mendidik anak (mahasiswa) menjadi pragmatis. Sekularisme yang membuang agama dari kehidupan akan membentuk pemikiran mereka tak mau memakai aturan Tuhan. Hasilnya, jika secara fitrah hati mereka terpanggil atas ketidakadilan yang terjadi, maka cara dan solusi yang mereka tuntut hanya sebatas pragmatis juga.
Post a Comment