Pegiat Literasi
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana di gedung DPR
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam, wahai sahabat
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu setuju
Penggalan lagu yang dipopulerkan oleh Iwan Fals berjudul Surat Buat Wakil Rakyat dalam album Wakil Rakyat meledak di pasaran tahun 1987. Lagu ini menjadi booming karena dianggap cukup mempresentasikan kondisi sosial politik pada saat itu.
Saat ini harapan rakyat terhadap wakilnya pun masih sama. Keberpihakan pada rakyat. Mampu menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota dewan semakin menurun. Hal ini dikarenakan lahirnya sejumlah RUU kontroversi oleh anggota dewan pada masa sebelumnya. Adanya kasus korupsi yang menimpa anggota dewan. Serta kebijakan-kebijakan lain yang tidak memihak rakyat.
Perilaku anggota dewan yang dianggap tidak terpuji juga ditunjukkan dengan tidak menanggapi para pendemo kenaikan harga BBM di luar gedung DPR. Seharusnya ketua DPR atau yang mewakili mau menemui perwakilan pendemo untuk mendengarkan apa yang mereka perjuangkan. Mereka malah merayakan hari ulang tahun ketua DPR dengan bernyanyi bersama di tengah perjuangan rakyat menentang kenaikan harga BBM. Ketua DPR juga beberapa kali kedapatan mematikan mikrofon saat salah satu anggota dewan memberikan komentar yang kontra.
Ironi, melihat bagaimana sikap anggota dewan yang tampak tidak serius dalam menjalankan amanahnya. Jangankan berkomitmen untuk menyampaikan aspirasi rakyat, sekedar bertemu dengan rakyat saja mereka tidak mau. Lalu aspirasi siapa yang akan mereka perjuangkan?
Inilah wajah demokrasi yang sesungguhnya. Sistem politik yang lahir dari ideologi kapitalis dan berasaskan sekulerisme, di mana agama dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga perilaku politiknya tidak mengenal standar halal-haram. Segala hal akan digunakan untuk meraih kursi kekuasaan. Praktik transaksional pun tak terelakkan karena biaya kontestasi politik yang sangat mahal. Tidak ada makan siang gratis. Kebijakan, aturan dan undang-undang titipan menjadi harga yang pantas untuk balas budi kepada penyokong biaya kampanye.
Maka tak heran jika anggota dewan lalai, tidak peka dan tidak memiliki empati pada rakyat. Mereka sibuk mencari materi untuk mempertahankan eksistensi. Bahkan rakyat pun dijadikan obyek untuk mendapatkan keuntungan. Hubungan yang terjalin bagaikan pedagang dan pembeli.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, di mana segala kegiatan politik terikat dengan hukum syarak. Maka segala bentuk kritik atau muhasabah kepada pemimpin menjadi dakwah utama agar pemimpin tidak terjerumus kepada keharaman karena menyalahi syariat. Pemimpin pun akan sepenuhnya menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya demi tercapainya kesejahteraan rakyat sebagai wujud rasa takutnya kepada sang Maha Pengatur. Sungguh dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh maka akan terwujud rahmat bagi seluruh alam.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment