Oleh: Anindita Ekaning Saputri
Alumnus UHAMKA
Dikutip dari news.detik.com, Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof. Karomani tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait suap saat berada di Bandung, Jawa Barat pada Sabtu (20/8/22) dini hari WIB. KPK langsung menahan rektor Unila tersebut bersama 3 tersangka lainnya lantaran kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru (maba) di Universitas Lampung pada 2022 ini.
Dilansir dari Kompas.com, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan bahwa kejadian rektor yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pelajaran untuk melakukan perbaikan. Namun, mirisnya petinggi kampus tersebut terkena OTT saat mengikuti program pembangunan karakter. Hal ini membuktikan kegagalan pembentukan karakter anti korupsi sekalipun terjadi di kampus yang dianggap pusat para intelektual.
Dikutip dari cnnindonesia.com, hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap negara merugi Rp1,6 triliun dari korupsi yang terjadi di sektor pendidikan selama kurun waktu September 2016-September 2021. Peneliti ICW, Dewi Anggraeni pun mengatakan terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak oleh aparat penegak hukum dalam 4 tahun terakhir ini.
Ini mengharuskan adanya evaluasi pada sistem pendidikan sekuler saat ini agar bisa membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Sementara ketika kita melihat kenyataannya, para petinggi atau lulusan perguruan tinggi justru banyak yang terlibat korupsi. Padahal kita sudah mengetahui bahwa penerapan sistem pendidikan erat kaitannya dengan sistem pemerintahan negara. Jika negara masih menggunakan sistem pemerintahan demokrasi kapitalistik, maka output/luaran dari pendidikannya tentu melahirkan lulusan yang memiliki mental demikian.
Tak ada jaminan bahwa gelar akademik tinggi mampu menghadapi tekanan korupsi secara sistemis, tingginya angka korupsi tidak hanya disebabkan karena faktor ekonomi namun ada motif lain yakni kerakusan ingin menguasai hak orang lain. Apalagi hingga saat ini, penguasa dalam sistem demokrasi ini masih sangat “ramah/baik” dengan para koruptor. Kita bisa lihat bahwa aturan hukum yang ada hari ini teramat sangat longgar.
Pendidikan saat ini selalu terarah pada kepentingan dagang atau bahkan kepentingan politik, dan budaya belajar pun bergeser menjadi budaya materialistis, karakter pembelajaran yang terbangun pun akan melahirkan generasi yang sekuler; hedonis; materialis; individualis; bahkan pragmatis. Sehingga wajar sekali, jika hari ini banyak kita temui orang yang berpendidikan tinggi namun memiliki akhlak minimalis.
Pun banyak yang beranggapan bahwa tindakan korupsi salah satu jalan yang benar untuk mendapatkan materi. Dari sini kita bisa mengerti bahwa untuk membentuk atau menjadikan seseorang anti korupsi tidaklah dibangun dengan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan yang masih sekuler dan dalam waktu yang bersamaan hal ini tidak diiringi dengan perubahan sistem kapitalisme yang menjadi akar masalah dari semua ini.
Hanya sistem Islamlah yang mampu memberantas korupsi hingga pada akarnya, karena sistem pendidikan dalam Islam bertujuan membangun kepribadian Islam dan menguasai IPTEK. Dan pendidikan Islam akan melahirkan peserta didik yang keimanannya kokoh dan pemahaman Islam yang mendalam, sehingga tidak mudah tergerus pemikiran rusak hari ini. Oleh karenanya akan tegak amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat yang akan melakukan kontrol dan juga muhasabah terhadap pemerintahan yang berlangsung.
Pendidikan Islam adalah sistem dari supra sistem Islam dan khalifah bertanggung jawab untuk menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjamin pelaksanaanya. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari & Muslim). Hal tersebutlah yang menjadi dasar aspek untuk mencegah lahirnya para koruptor di institusi pemerintahan termasuk institusi pendidikan.
Selain itu, sistem Islam akan membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksaan Keuangan, untuk memastikan tidak ada kecurangan yang dilakukan para pejabat. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya menyebutkan “Untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan.”
Sistem Islam akan memberi gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan para pegawainya di pemerintahan bahkan bidang lainnya, sehingga tidak ada yang merasa kekurangan dan melakukan korupsi. Gaji yang mereka dapat akan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Di samping itu, dalam sistem Islam, biaya hidup sangat murah karena politik ekonomi negara sudah menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat.
Dan jika masih ditemukan adanya korupsi maka akan diberlakukan sanksi yang keras, yang benar-benar membuat jera dan memutus rantai akan terjadinya perilaku yang sama di kemudian hari. Hal ini diberlakukan karena sistem Islam menerapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukum yang bersumber dari syariat Islam pun bersifat keras, bisa dalam bentuk publikasi; stigmatisasi; peringatan; penyitaan harta; pengasingan; cambuk hingga hukum mati. Tentu solusi yang ditawarkan sistem Islam ini adalah solusi tuntas yang mampu mencabut korupsi hingga ke akarnya.[]
Post a Comment