Aktivis Muslimah Kaffah
Hidup bebas pajak memang sepertinya hanya ilusi dalam kapitalisme. Karna faktanya wajib pajak semakin menggila di segala sektor, menambah berat beban hidup rakyat yang saat ini sangat jauh dari kata sejahtera. Wajib pajak ini sama saja dengan membebankan rakyat untuk menanggung devisa negara yang kian defisit yang sebenarnya akibat dari kesalahan pengelolaan APBN negara.
Bagaimana tidak, sebenarnya APBN tidak akan mengalami defisit jika keuangan negara dari aspek pendapatan dan pengeluarannya dikelola dengan baik. Terutama jika aset-aset negara dan BUMN saat ini tidak banyak diprivatisasi dan sumber daya alam tidak dikuasai asing ini tentu akan sangat membantu pendapatan negara. Bahkan kas negara akan mengalami surplus jika pengelolaannya tidak ada intervensi asing di dalamnya
Adanya fakta demikian, peribahasa mengatakan rakyat negeri ini "sudah jatuh, tertimpa tangga pula", menggambarkan kondisi rakyat saat ini di tengah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup ditambah mereka harus menanggung beban dan masalah finansial negara. Inilah faktanya sistem pengaturan ekonomi kapitalis saat ini yang tidak menjamin dan mengutamakan terpenuhinya kebutuhan hidup dan pelayanan terhadap kemaslahatan umat.
Seharusnya pemerintah berempati melihat kondisi masyarakat hari ini. Alih-alih berempati. Pemerintah malah menerapkan aturan yang memastikan masyarakat tidak lolos dari jerat pajak. Dengan terintegritasnya NIK menjadi NPWP. Deretan pajak saat ini bertambah lagi, pasca adanya kebijakan pemerintah secara resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh (ekonomi.bisnis.com).
Dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kini sudah aktif berjalan. Menurut mereka, tujuannya adalah untuk mempermudah administrasi wajib pajak dalam melakukan transaksi pelayanan menetap dan wajib pajak instansi pemerintah. Kebijakan ini dinilai dapat mempermudah kedua belah pihak secara administrasi, baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
Dilansir dari (ekonomi.bisnis.com;24/07/2022), masyarakat tidak perlu lagi mencatat begitu banyak nomor identitas sedangkan pemerintah akan mudah dalam memberikan pelayanan masyarakat. Merespon dari kebijakan pemerintah ini, tagar #stopbayarpajak ramai diperbincangkan di media sosial yang merefleksikan beratnya beban rakyat yang semakin menghimpit dengan beragam pajak. Sayangnya keluhan beban pajak yang disuarakan rakyat malah diancam pidana maupun sanksi moral.
Ramai seruan stop bayar pajak akhir-akhir ini. Seruan tersebut sejatinya merefleksikan beban berat rakyat yang semakin menghimpit dengan adanya beragam pajak. Di dalam sistem kapitalisme, pajak telah dijadikan sebagai sumber utama pemasukan negara selain utang. Mirisnya, hingga hari ini rakyat tidak merasakan dampak positif pengelolaan pajak.
Hal yang harus menjadi perhatian adalah seruan #stopbayarpajak merefleksikan beratnya beban rakyat yang semakin terimpit dengan beragam pajak. Sebab pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara selain utang. Alih-alih didengarkan oleh para penguasa, malah diancam pidana maupun sanksi moral. Tentu saja rakyat hanya dapat bersuara seperti halnya semut yang diinjak pun dapat menggigit, rakyat pun bisa dan seharusnya didengarkan ketika bereaksi, bukan justru diancam apalagi diusir dari Tanah Air tempatnya tinggal.
Alih-alih dirasakan oleh rakyat, penguasa malah diancam pidana maupun sanksi moral jika telat atau tidak membayak pajak. Saat rakyat menyuarakan keinginan bebas beban pajak, pemerintah malah menerapkan aturan yang memastikan tidak ada rakyat yang lolos dari jerat pajak. Karena kartu identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak.
Sangat wajar dalam sistem kapitalisme semua lapisan masyarakat terjerat pajak. Sistem ini menjadikan sistem pajak sebagai sumber pendapatan negara selain utang luar negeri. Walau katanya sistem pajak lebih baik menjadi sumber pendapatan negara ketimbang utang luar negeri. Sebagaimana yang dilansir news.dtcc.co.id, pembangunan bangsa yang sebagian besar didanai pajak akan menentukan seberapa besar modal yang akan “diterima” generasi mendatang. Sebaliknya, ketika keberlangsungan bangsa terpaksa didanai utang, beban tersebut jugalah yang “diwariskan” untuk nantinya dibayar.
Kebijakan yang ditetapkan menggambarkan rezim sekuler kapitalisme adalah rezim pemalak bukan pemberi riayah dan solusi bagi rakyat. Padahal Indonesia adalah negeri dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah tapi pemasukan negara malah bergantung pada pajak dan utang. Indonesia memiliki cadangan gas alam sekitar 2,8 triliun meter kubik, sebagai produksi batu bara terbesar ketiga dengan produksi sebanyak 281,7 ton, potensi pada hutan mencapai 99,6 juta hektar, potensi sumber daya perikanan di Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun
Indonesia merupakan produsen batubara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India dengan produksi lebih dari 614 juta ton pada tahun 2021. Selain pertambangan, Indonesia memiliki kekayaan alam berupa lautan. Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga setelah China dan Peru untuk perikanan tangkap laut terbesar dunia. Dengan potensi ikan tangkap di Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun. Namun, sayang seribu sayang kekayaan alam yang melimpah ini tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, justru lari keluar negeri karena sejatinya kekayaan alam itu dikuasai oleh korporasi asing hingga rakyat hanya bisa gigit jari.
Seolah-olah sumber pendapatan negara tidak terlepas dari dua hal ini, utang luar negeri dan pajak. Padahal, kalau saja sumber-sumber daya alam Indonesia yang melimpah ruah dikelola oleh negara dan hasilnya dibagikan pada masyarakat, tentu negara tidak perlu berutang dan memungut pajak. Namun karena kesalahannya sudah sistemis, sangat sulit mencapainya. Sebab dalam sistem kapitalisme kebebasan berkepemilikan dibolehkan. Artinya selama memiliki uang, seseorang berhak memiliki apa saja walaupun statusnya kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, pertambangan. Walhasil stop membayar pajak hanya sekadar ilusi.
Hal ini berbeda dengan Islam, di mana Islam adalah sebuah sistem hidup. Sehingga, mampu menyelesaikan permasalahan pajak dengan pendekatan sistemis. Sistem Islam yakni khilafah mampu membiayai negara tanpa pajak dan tanpa utang. Sebab, khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Di mana khilafah memiliki pos-pos pemasukan negara, yaitu pos fa'i dan kharaj (ghanimah, kharaj, fa'i, dharibah); pos kepemilikan umum (migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, hutan, padang rumput dan tempat khusus); dan pos sedekah (zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak).
Inilah yang menjadi sumber pemasukan negara khilafah sehingga mampu membangun negara tanpa terlilit utang. Selain itu, khilafah juga menerapkan pembagian kepemilikan sesuai dengan syariat yaitu kepemilikan umum, negara, dan individu. Tambang yang memiliki deposit besar merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh diberlakukan privatisasi apalagi sampai diserahkan kepada asing.
Adapun berkaitan dengan pungutan terhadap rakyat seperti pajak atau dharibah, maka ini hanya akan dilakukan ketika Baitul Mal mengalami krisis atau kekosongan, dan ini sifatnya isidental, tidak setiap saat dan terus menerus, dan hanya berlaku kepada individu muslim dikalangan orang-orang kaya saja, bukan seluruh warga daulah. Karna kedudukan pajak dalam Islam jelas seperti disabdakan Rasulullah SAW, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai/pajak" [HR Ahmad, ad-Darimi dan Abu Ubaidah].
Sehingga demikianlah peran negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah menjalankan amanah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tidak seperti saat ini, kezaliman terus-menerus terjadi, pungutan semakin beragam, penguasa hanya berperan sebagai regulator yang akan melanggengkan hegemoni kaum kapitalis.
Sistem politik ekonomi Islam ini hanya bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah minhajin nubuwwah bukan dalam sistem demokrasi kapitalis. Dan tentu saja telah terbukti melahirkan kesejahteraan, keadilan sosial bagi umat serja kemakmuran negara sampai berhasil menjadi Adidaya dunia yang kuat selama 13 abad lamanya
Post a Comment