KEKERASAN TERHADAP ANAK MEWABAH : BUkTI ILUSI KLA


Oleh : Shavia Ziyadatun Fahma
Mompreuner Peduli Ummat

Pada tahun-tahun sebelumnya KPPA memberikan penghargaan “Kabupaten/Kota Layak Anak”  kepada sejumlah 275 Kabupaten/Kota yang memenuhi indikator yang sudah ditetapkan. Tahun ini jumlah tersebut meningkat menjadi 320 Kabupaten/Kota. Namun sepertinya peningkatan jumlah kabupaten/kota yang menerima penghargaan ini tidak berbanding lurus dengan  kenyataan di lapangan. Kekerasan terhadap anak masih banyak diberitakan. Baru-baru ini polisi mulai melakukan gelar perkara pada kasus remaja putri berinisial NAT (15 tahun) yang disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. (Republika.co.id, 23/9/2022)
Sebelumya juga seperti yang dilansir Tempo.co.id (13/9/2022) bahwa Lembaga Save the Children  melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan terhadap anak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Le,mbaga kemanusiaan ini menyampaikan bahwa tingkat kekerasan terhadap anak di kawasan NTT terbilang cukup tinggi.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) pada artikel terbarunya  (14/9/2022) juga mengakui bahwa kekerasan terhadap anak di Indonesia masih sangat tinggi dan bahkan dalam kuruin waktu 3 tahun ini terus meningkat jumlahnya. Tahun 2019 tercatat sejumlah 8864 kekerasan terhadap anak, meningkat di tahun 2020 menjadi 11.278, dan di tahun 2021 jumlahnya menjadi 10.368.
Dari sejumlah fakta mewabahnya kekerasan terhadap anak ini, relevan kah dengan meningkatnya jumlah kabupaten/kota penerima penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak? Atau justru ini sebuah ilusi KLA?

ILUSI KLA
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya terwujudnya Kabupaten/Kota layak anak di era ini adalah sebuah ilusi, mengapa? Karena sistem yang ada tidak mendukung sama sekali keamanan anak, salah satu contohnya pada kasus NAT di atas, juga sistem saat ini tidak mampu mewujudkan kesejahteraan anak. Bagi pelaku kekerasan terhadap anak tidak ada hukum atau sanksi yang mampu mencegah dan membuat jera, sebab terhalang oleh HAM. Pelaku yang jelas jelas melakukan tindak kekerasn terhadap anak tetap terlindungi dengan alasan HAM ketika akan dipidana dengan tegas. 
Belum lagi liberalisme yang diusung saat ini, sangat menyuburkan kekerasan seksual, yang  sangat kerap terjadi pada anak. Pornografi dan pornoaksi yang m,enjadi pemicunya tidak mampu dihilangkan dengan alasan bahwa hal tersebut adalah bentuk kebebasan berekspresi.
Tak jarang di jaman serba sulit akibat kehidupan kapitalistik yang serba hitungan materi, anak pun bisa dijadikan aset bisnis yajng menggiurkan dengan memp[ekerjakan mereka, alhasil jkesejahteraan serta keamanan mereka sangat tidakl terjamin. Semua demi kepentingan dan manfaat materi. Apalagi bagi banyak keluarga yang tidak mampu, jika anak dianggap berpotensi menghasilkan pundi-pundi rupiah, maka ini menjadi peluang besar eksploitasi terhadap anak dengan mempekerjakan mereka.

Hanya Islam yang Memuliakan
Islam memandang bahwa anak adalah karunia yang mahal, lahir dengan fitrah (suci), dan sebagai amanah yang haruis dijaga dan dilindungi. Anak adalah aset bagi orang tua dan bangsa dalam mewujudkan generasi penerus. Sungguh Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap perlindungan anak-anak, meliputi fisik, psikis, ekonomi, pendidikan, hukum, dan sebagainya. Semua terwujud dalam memberikan hak hak baginya, seperti pengasuhan, menjaga kesehatannya, memilihkan teman dalam pergaulan, menghindarkan dari kekerasan, dan sebaginya.

Lantas siapa yang berperan? Yang pertama adalah keluarga, terutama ibu dan ayah yang selama 24 jam merawat dan menjaganya di lingkungan rumah. Ibu menjadi sekolah pertama bagi anak, dan ayah menjadi qowwam (penganggung jawab) baginya dalam memberikan pendiidkan. Sepernagkat panduan pengasuhan anak didmiliki oleh Islam. Ynag kedua, butuh peran negara dalam mewujudkan sistem yang kondusif dalam tumbuh kembang anak dan menyiapkan saran ayang memadai serta menjamin perlindungan keamanan dan kesejahteraan bagi anak. Meberikan sanksi hukum yang tegas serta memberi efek jera bagi pelaku kejahatan terhadap anak, sehingga penerapan hukum yang demikian juga kan menjadi alat preventif yang mencegah kejahatan terhadap anak.

Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan keshalihan anak. Dengan negara menerapkan syariat Islam  secara kaffah maka akan terbentuuk masyarakat yang shalih, dan kondisi yang demikian tentu akan sangat mendukung pembentukan karakter keshalihan anak. Negara tidak akan segan mengucurkan dana pendidikan untuk membangun sekolah, memfasilitasi segala sarana keilmuan untuk terwujud intelektualitas yang bertaqwa menuju negara yang maju serta terwujud peradaban yang gemilang. Sejarah telah membuktikan bagaimana pada masa Kekhalifahan Abbasiyah mampu terwujud wilayah layak anak. Yaitu pada masa tersebut banyak ulama tercetak, dan ilmuwan dengan segudang pengetahuan serta riset dan penemuannya yang bersinar di dunia. Mereka lahir dari sistem yang mendukung dan kondusif dari berbagai lini.

Demikianlah jika aturan atau syariat Allah diterapkan secara kaffah dan totalitas maka semua akan merasakan Rahmatan lil ‘alaminnya. Berharap dengan sistem kapitalisme dan liberalisme saat ini maka kesejahteraan, jaminan kemanan serta yang lainnya adalah sebuah ilusi semu.

Post a Comment

Previous Post Next Post