Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.,
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri, memotivasi tenaga kerja Indonesia berjuang menjadi pekerja migran di negara lain, namun yang sangat menyedihkan pekerja Indonesia malah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Menurut keterangan Migrant CARE, para korban berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang dijanjikan oleh agen yang berada di Kamboja, akan dipekerjakan sebagai operator, marketing dan customer service dengan gaji US$1000-1500, atau sekitar Rp15-22 juta. Faktanya mereka hanya menerima US$500 atau sekitar Rp7 juta.
Jika para pekerja migran Indonesia (PMI) ini mengundurkan diri maka harus membayar denda sebesar US$ 2000-11000, atau Rp 30-163 juta. Jika tidak mampu, mereka dijual dengan harga yang beragam, salah satunya dijual seharga US$2000 atau Rp30 juta dari perusahaan satu ke perusahaan lain karena beberapa sebab. Mereka juga dipekerjakan tanpa kontrak dan jam kerja yang panjang. Sungguh sangat menyedihkan rakyat yang tinggal di negara gemah ripah loh jinawi yang memiliki sumber daya alam melimpah harus mengalami hal seperti ini.
Ternyata, kejadian ini sempat menjadi pembahasaan saat memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Se dunia (World Day AgainstTrafficking In Person) 31 Juli 2022. Serikat buruh migran Indoensia (SBMI) berharap momentum ini dapat membangun kesadaran kritis masyarakat dan merefleksikan kerentanan pekerja migran Indonesia menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Bila melihat data 2020-2021, jumlah penempatan pekerja migran menurun, tetapi angka kasus pengaduan TPPO meningkat.
Sedangkan data catatan akhir tahun SBMI, pada 2021 saja ada 159 PMI yang menjadi korban perdagangan orang. Selain terjadinya TPPO, pemerintah juga harus disibukkan dengan upaya pembebasan 60 WNI yang mengalami kasus penyekapan di Kamboja. Miris tentunya nasib pekerja migran ini. Jika kita perhatikan kasus di atas, sebenarnya masih sangat besar minat dan dorongan masyarakat mencari pekerjaan di luar negeri meskipun risiko keselamatan dan nyawa terancam.
Memang, mencari penghidupan suatu kewajiban, tapi bekerja di luar negeri dan harus mengalami penganiayaan dan bekerja tanpa perlindungan negara itu hal yang sangat mengenaskan. Inilah nasih tenaga kerja Indonesia dalam sistem kapitalis. Sudah seharusnya hal ini menjadi pemikiran yang utuh dari semua pihak, karena kasus trafiking tidak cukup diselesaikan dengan usaha pembebasan ataupun penyelamatan yang dilakukan pemerintah.
Tapi perlindungan total untuk masyarakat hanya bisa dilakukan pemerintah bila di dalam negeri tersedia cukup lapangan kerja, kemudahan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu. Sehingga rakyat tidak perlu terpaksa mencari kerja di luar negeri. Bagi rakyat yang ingin berkarier di luar negeri maka pilihan tersebut harus diiringi tiadanya madharat dan pemberian jaminan perlindungan oleh negara. Namun, dalam sistem kapitalis bisakah itu semua terwujud?[]
Post a Comment